Perjalanan kami sore
itu dimulai dengan adegan semacam Rangga-Cinta di film “Ada Apa dengan Cinta?”.
Bedanya, lokasi kejar-kejarannya bukan di Bandara, melainkan di Stasiun Gubeng
Surabaya. Bedanya lagi, aku dan temanku tidak sedang mengejar pacar atau
gebetan, tetapi mengejar waktu keberangkatan kereta.
Peserta perjalanan
Goes to Jember kali ini berjumlah empat orang, aku dan tiga orang temanku
(Zahro, Nurma, dan Sulis). Aku dan Zahro sudah berencana pergi ke Jember untuk
menghadiri acara diesnatalis organisasi Mapala (mahasisawa pencinta alam) Politeknik
Jember a.k.a. BEKISAR, jadi kami sudah membeli tiket kereta dua hari sebelum
keberangkatan. Lucunya, beberapa jam sebelum keberangkatan, aku dan Zahro
berhasil menghasut Nurma dan Sulis untuk bergabung bersama kami: Goes to
Jember.
Maka di hari
keberangkatan, Zahro dan Nurma berangkat ke stasiun lebih awal untuk membeli
dua tiket tambahan. Sedangkan aku dan Sulis masih harus melakukan beberapa hal
di kampus.
Jam keberangkatan
kereta yang tertera pada tiket waktu itu adalah pukul 13.50. Perjalanan dengan
motor dari kampus ke stasiun membutuhkan waktu paling tidak lima belas menit.
Sedangkan, aku dan Sulis baru saja menyelesaikan urusan kami pukul 13.35. Pas,
lima belas menit. Tapi sayangnya masih kepotong dengan waktu sholat yang
mungkin lebih dari lima menit. Jadi, aku dan Sulis hanya punya waktu kurang
dari sepuluh menit untuk bisa sampai ke stasiun. Alhasil, kami harus ngebut gak karu-karuan di jalan.
Di tengah kebut-kebutan
itu, Zahro menelepon, “Mbak, nanti kalau kereta nya udah berangkat, kamu sama
Mbak Sulis naik bus atau kereta yang jam tiga aja ya?”
*huftbanget*
Sesampainya di stasiun
kami mendapat satu kabar baik dan satu kabar buruk. Kabar baiknya, kereta
datang terlambat! *fiuhbangetdeh*. Kabar buruknya, tiket kereta sudah habis,
jadi terpaksa Nurma dan Sulis harus berangkat naik bus, gak bareng sama aku dan
Zahro.
Setelah kurang dari
lima jam perjalanan, kereta pun berhenti di stasiun Jember. Kami –aku dan
Zahro, memutuskan untuk sholat Magrib dan Isyak sekalian mandi di stasiun. Biar
seger, soalnya kami sudah amat kegerahan akibat beradegan Ada Apa dengan Cinta.
Patut di-like this, kamar mandi
stasiun Jember sangat bersih dan wangi.
Setelah dandan
maksimal (padahal cuma pakai pelembab, bedak dan parfum), dua orang personil
BEKISAR datang menjemput kami, namanya Beuh dan Kecambah. Nama Beuh diambil
dari bahasa Madura yang berarti bau. Iya, BAU. Bau yang gak sedap. Sedangkan
nama Kecambah diambil dari salah satu nama sayur: kecambah alias toge. Hahaha.
Jangan heran deh, itu memang salah satu tradisi mapala, memberi nama lapangan
(yang selalu aneh) kepada setiap anggotanya. Tapi istimewa buat aku dan
teman-teman di SIKLUS, karena kami tidak membudidayakan tradisi satu itu.
AH, back to the...
Kami segera bergegas
ke basecamp BEKISAR.
Rupanya acara
diesnatalis sudah akan dimulai saat kami tiba. Ohya, ngomong-ngomong Nurma dan
Sulis masih dalam perjalanan di dalam bus. Acara berlangsung menyenangkan,
dimulai dengan sambutan-sambutan, dilanjutkan dengan pembacaan kode etik
pencinta alam, pembacaan doa, ucapan selamat dari perwakilan organisasi yang
diundang, dan diakhiri dengan ramah tamah yang terdiri dari acara makan dan konser
kecil-kecilan. Konser diisi oleh band-band yang cukup terkenal di Jember dan
kalangan mapala Jawa Timur. Ada satu band indie yang patut diacungi jempol,
namanya TAMASYA. Tamasya Band cukup terkenal di kalangan mapala Jawa Timur, tapi
mungkin di luar jawa timur juga cukup wellknown.
Lagu-lagu Tamasya Band berisi seputar alam dan kehidupan mapala. Begini penggalan lirik salah satu lagunya yang
berjudul “Periculum in mora”:
bila nanti pohon
terakhir, telah tumbang dan gak ada pohon yang lain
bila nanti
burung terakhir, telah tertembak mati dan gak ada lagi
oh ya, oh ya
gak ada waktu
lagi tuk menanti, gak ada lagi kicau burung bernyanyi
yang ada hanya
uang, hanya perhiasan
yang ada
hanyalah lukisan, lukisan pemandangan
Basecamp BEKISAR
terletak di gedung pusat kegiatan mahasiswa Polije (Politeknik Jember),
berjajar dengan basecamp UKM lain. Beruntung karena ada beberapa ruang yang
masih kosong, jadi malam itu, kami, para wanita, menginap di salah satu ruang
kosong.
Esoknya, kami
menghabiskan waktu di tiga tempat berbeda. Pertama, tentu saja di basecamp
BEKISAR. Setelah bangun subuh, lalu solat subuh, lalu tidur lagi, lalu bangun
lagi, lalu sarapan, lalu ngobrol, lalu nonton TV, lalu tidur lagi, lalu bangun
lagi, lalu dhuhur, lalu akhirnya pindah ke tempat kedua: kolam lele muda milik
calon eksekutif muda lele muda! Panggil saja si eksmud ini dengan nama Slow
(singkatan dari Slobena, silakan cari sendiri arti nama ini, karena
huffbanget).
Kenapa tempatnya
disebut kolam lele muda? Karena kolam tersebut memang berisi lele-lele muda
berumur beberapa hari. Kenapa disebut eksekutif muda? Sebenarnya ini agak
fitnah, tapi harus ada penghormatan bagi sodara Slow. Tidak enak juga kalau
disebut eksekutif tua.
![]() |
kolam lele muda milik eksekutif muda lele muda (ki-ka: Slow, aku) |
Mulanya, kami berniat
memancing lele yang agak besar untuk dimasak.
Tapi akhirnya peri ke-lele-an kami pun muncul, ketika seekor lele
membujuk kami untuk tidak memakannya. “Tuan Slow, biarkan kami tumbuh dewasa
dengan cantik, dan kami akan melahirkan anak-anak, menjadi ibu bagi anak-anakmu,”
begitu kata si lele betina. Tuan Slow terbujuk oleh rayuan si lele betina yang
ternyata bersedia menjadi ibu bagi anak-anaknya. Akhirnya, dengan rasa senang
yang meluap-luap, Slow pun membiarkan si-lele-betina-calon-ibu-bagi-anak-anaknya
untuk kembali menghirup air tidak segar di kolam lele muda. Kami sangat terharu
ketika melihat adegan Slow yang mengembalikan si-lele-betina-calon-ibu-bagi-anak-anaknya
ke dalam kolam. Adegan itu sungguh lebih mengharukan daripada adegan bandara
nya Cinta dan Rangga.
Setelah puas memberi
makan para lele muda, kami bermigrasi ke tempat ketiga: Rumah Beuh. Rumah Beuh
sangat nyaman, ditambah lagi ada mushola yang luasnya melebihi ruang tamunya.
Maka kami sholat ashar lalu magrib lalu isyak di mushola ini.
Setelah menghabiskan
hidangan yang super enak dan super banyak, kami pun beranjak ke tempat ketiga:
Gumuk Kerang. Ternyata kabupaten Jember terkenal oleh gumuk-gumuknya yang amat
banyak menghias angkasa, aku ingin terbang dan menari, jauh tinggi ke tempat
Kau berada. Lho bukan, gumuk bukan berarti bintang, melainkan bukit. Karena
banyak gumuk yang bertempat di kabupaten Jember, maka kabupaten Jember juga
dijuluki sebagai kota seribu gumuk. Sayang sekali, ternyata gumuk-gumuk itu
sudah mulai banyak di eksploitasi, diambil pasirnya, atau diratakan untuk
dijadikan pemukiman. Berkuranglah gumuk-gumuk itu.
Salah satu gumuk itu
diberi nama Gumuk Kerang, karena mungkin dulunya ada sekumpulan kerang yang
bisa terbang dan memutuskan untuk pindah dari Bikini Bottom ke Gumuk sebelum
mereka semua diadopsi oleh Patrick dan Sponge Bob.
Gumuk kerang tidak
terlalu tinggi, tetapi cukup untuk melihat keindahan lampu-lampu yang
menghiasai malamnya Jember. Kami berdiam sejenak di puncak Gumuk Kerang.
Menikmati selimut malam yang dingin. Membiarkan angin membelai wajah kami.
Merelakan kaki-kaki kami digigit semut. Ternyata bangsa semut dan kerang sudah
bersatu untuk melindungi Gumuk Kerang. Serangan semut itu pun membuat kami memutuskan
untuk segera turun dari Gumuk Kerang, kembali menuju ke tempat kedua.
Kami menghabiskan
malam di tempat kedua. Rencananya, kami akan berangkat ke Pantai Papuma pukul
01.00 dini hari agar dapat melihat sunrise. Tetapi karena Tuan Slow tertidur
bersama bangsa lele, bangsa semut dan bangsa kerang, kami pun ikutan tertidur.
Akhirnya dunia kembali damai, karena bangsa manusia dan bangsa
semut-kerang-lele tidak saling menyerang.
Pukul 03.00 dini hari,
aku terbangun dan mendapati aku sedang tergeletak di kamar Beuh bersama Nurma
dan Sulis. Ohya, Zahro sudah pulang ke Surabaya lebih dulu untuk membantu Power
Rangers melawan Gorgon. Tunggu, kami, para gadis berada dalam kamar laki-laki?
Apa yang... Oh, tidak! Bagaimana bisa? Aku berteriak tercekat... Mula-mula
Nurma bangun, lalu Sulis, lalu Beuh, lalu Slow, lalu Bambu (personil yang
bergabung sejak kami pergi menuju tempat pertama), lalu bangsa lele, lalu
bangsa semut, lalu bangsa kerang... Dunia kembali kacau.
“Mengapa kalian tega?”
tanyaku.
“Tapi kami...” kata
Beuh.
“Kami khilaf...” kata
Slow.
“Sudahlah, nasi sudah
menjadi bubur...” kata Bambu.
“Kalian harus
bertanggung jawab...” kata Nurma.
“Benar. Cepat bawa
kami pergi...” kata Sulis.
Mau tahu apa yang sudah dilakukan Beuh, Bambu, dan Slow kepada kami?
Hehe seru mbak, kalo nama lapangan aku, biasa di panggil 'Bejok':)
BalasHapusSalam kenal.