Minggu, 02 Desember 2012

Goes to Jemberrrrrrr [part 1]


Perjalanan kami sore itu dimulai dengan adegan semacam Rangga-Cinta di film “Ada Apa dengan Cinta?”. Bedanya, lokasi kejar-kejarannya bukan di Bandara, melainkan di Stasiun Gubeng Surabaya. Bedanya lagi, aku dan temanku tidak sedang mengejar pacar atau gebetan, tetapi mengejar waktu keberangkatan kereta.
Peserta perjalanan Goes to Jember kali ini berjumlah empat orang, aku dan tiga orang temanku (Zahro, Nurma, dan Sulis). Aku dan Zahro sudah berencana pergi ke Jember untuk menghadiri acara diesnatalis organisasi Mapala (mahasisawa pencinta alam) Politeknik Jember a.k.a. BEKISAR, jadi kami sudah membeli tiket kereta dua hari sebelum keberangkatan. Lucunya, beberapa jam sebelum keberangkatan, aku dan Zahro berhasil menghasut Nurma dan Sulis untuk bergabung bersama kami: Goes to Jember.
Maka di hari keberangkatan, Zahro dan Nurma berangkat ke stasiun lebih awal untuk membeli dua tiket tambahan. Sedangkan aku dan Sulis masih harus melakukan beberapa hal di kampus.
Jam keberangkatan kereta yang tertera pada tiket waktu itu adalah pukul 13.50. Perjalanan dengan motor dari kampus ke stasiun membutuhkan waktu paling tidak lima belas menit. Sedangkan, aku dan Sulis baru saja menyelesaikan urusan kami pukul 13.35. Pas, lima belas menit. Tapi sayangnya masih kepotong dengan waktu sholat yang mungkin lebih dari lima menit. Jadi, aku dan Sulis hanya punya waktu kurang dari sepuluh menit untuk bisa sampai ke stasiun. Alhasil, kami harus ngebut gak karu-karuan di jalan.
Di tengah kebut-kebutan itu, Zahro menelepon, “Mbak, nanti kalau kereta nya udah berangkat, kamu sama Mbak Sulis naik bus atau kereta yang jam tiga aja ya?”
*huftbanget*
Sesampainya di stasiun kami mendapat satu kabar baik dan satu kabar buruk. Kabar baiknya, kereta datang terlambat! *fiuhbangetdeh*. Kabar buruknya, tiket kereta sudah habis, jadi terpaksa Nurma dan Sulis harus berangkat naik bus, gak bareng sama aku dan Zahro.

Setelah kurang dari lima jam perjalanan, kereta pun berhenti di stasiun Jember. Kami –aku dan Zahro, memutuskan untuk sholat Magrib dan Isyak sekalian mandi di stasiun. Biar seger, soalnya kami sudah amat kegerahan akibat beradegan Ada Apa dengan Cinta. Patut di-like this, kamar mandi stasiun Jember sangat bersih dan wangi.
Setelah dandan maksimal (padahal cuma pakai pelembab, bedak dan parfum), dua orang personil BEKISAR datang menjemput kami, namanya Beuh dan Kecambah. Nama Beuh diambil dari bahasa Madura yang berarti bau. Iya, BAU. Bau yang gak sedap. Sedangkan nama Kecambah diambil dari salah satu nama sayur: kecambah alias toge. Hahaha. Jangan heran deh, itu memang salah satu tradisi mapala, memberi nama lapangan (yang selalu aneh) kepada setiap anggotanya. Tapi istimewa buat aku dan teman-teman di SIKLUS, karena kami tidak membudidayakan tradisi satu itu.
AH, back to the...
Kami segera bergegas ke basecamp BEKISAR.
Rupanya acara diesnatalis sudah akan dimulai saat kami tiba. Ohya, ngomong-ngomong Nurma dan Sulis masih dalam perjalanan di dalam bus. Acara berlangsung menyenangkan, dimulai dengan sambutan-sambutan, dilanjutkan dengan pembacaan kode etik pencinta alam, pembacaan doa, ucapan selamat dari perwakilan organisasi yang diundang, dan diakhiri dengan ramah tamah yang terdiri dari acara makan dan konser kecil-kecilan. Konser diisi oleh band-band yang cukup terkenal di Jember dan kalangan mapala Jawa Timur. Ada satu band indie yang patut diacungi jempol, namanya TAMASYA. Tamasya Band cukup terkenal di kalangan mapala Jawa Timur, tapi mungkin di luar jawa timur juga cukup wellknown. Lagu-lagu Tamasya Band berisi seputar alam dan kehidupan mapala. Begini  penggalan lirik salah satu lagunya yang berjudul “Periculum in mora”:
bila nanti pohon terakhir, telah tumbang dan gak ada pohon yang lain
bila nanti burung terakhir, telah tertembak mati dan gak ada lagi
oh ya, oh ya
gak ada waktu lagi tuk menanti, gak ada lagi kicau burung bernyanyi
yang ada hanya uang, hanya perhiasan
yang ada hanyalah lukisan, lukisan pemandangan

Basecamp BEKISAR terletak di gedung pusat kegiatan mahasiswa Polije (Politeknik Jember), berjajar dengan basecamp UKM lain. Beruntung karena ada beberapa ruang yang masih kosong, jadi malam itu, kami, para wanita, menginap di salah satu ruang kosong.
Esoknya, kami menghabiskan waktu di tiga tempat berbeda. Pertama, tentu saja di basecamp BEKISAR. Setelah bangun subuh, lalu solat subuh, lalu tidur lagi, lalu bangun lagi, lalu sarapan, lalu ngobrol, lalu nonton TV, lalu tidur lagi, lalu bangun lagi, lalu dhuhur, lalu akhirnya pindah ke tempat kedua: kolam lele muda milik calon eksekutif muda lele muda! Panggil saja si eksmud ini dengan nama Slow (singkatan dari Slobena, silakan cari sendiri arti nama ini, karena huffbanget).
Kenapa tempatnya disebut kolam lele muda? Karena kolam tersebut memang berisi lele-lele muda berumur beberapa hari. Kenapa disebut eksekutif muda? Sebenarnya ini agak fitnah, tapi harus ada penghormatan bagi sodara Slow. Tidak enak juga kalau disebut eksekutif tua.
kolam lele muda milik eksekutif muda lele muda (ki-ka: Slow, aku)
Mulanya, kami berniat memancing lele yang agak besar untuk dimasak.  Tapi akhirnya peri ke-lele-an kami pun muncul, ketika seekor lele membujuk kami untuk tidak memakannya. “Tuan Slow, biarkan kami tumbuh dewasa dengan cantik, dan kami akan melahirkan anak-anak, menjadi ibu bagi anak-anakmu,” begitu kata si lele betina. Tuan Slow terbujuk oleh rayuan si lele betina yang ternyata bersedia menjadi ibu bagi anak-anaknya. Akhirnya, dengan rasa senang yang meluap-luap, Slow pun membiarkan si-lele-betina-calon-ibu-bagi-anak-anaknya untuk kembali menghirup air tidak segar di kolam lele muda. Kami sangat terharu ketika melihat adegan Slow yang mengembalikan si-lele-betina-calon-ibu-bagi-anak-anaknya ke dalam kolam. Adegan itu sungguh lebih mengharukan daripada adegan bandara nya Cinta dan Rangga.
Setelah puas memberi makan para lele muda, kami bermigrasi ke tempat ketiga: Rumah Beuh. Rumah Beuh sangat nyaman, ditambah lagi ada mushola yang luasnya melebihi ruang tamunya. Maka kami sholat ashar lalu magrib lalu isyak di mushola ini.
Setelah menghabiskan hidangan yang super enak dan super banyak, kami pun beranjak ke tempat ketiga: Gumuk Kerang. Ternyata kabupaten Jember terkenal oleh gumuk-gumuknya yang amat banyak menghias angkasa, aku ingin terbang dan menari, jauh tinggi ke tempat Kau berada. Lho bukan, gumuk bukan berarti bintang, melainkan bukit. Karena banyak gumuk yang bertempat di kabupaten Jember, maka kabupaten Jember juga dijuluki sebagai kota seribu gumuk. Sayang sekali, ternyata gumuk-gumuk itu sudah mulai banyak di eksploitasi, diambil pasirnya, atau diratakan untuk dijadikan pemukiman. Berkuranglah gumuk-gumuk itu.
Salah satu gumuk itu diberi nama Gumuk Kerang, karena mungkin dulunya ada sekumpulan kerang yang bisa terbang dan memutuskan untuk pindah dari Bikini Bottom ke Gumuk sebelum mereka semua diadopsi oleh Patrick dan Sponge Bob.
Gumuk kerang tidak terlalu tinggi, tetapi cukup untuk melihat keindahan lampu-lampu yang menghiasai malamnya Jember. Kami berdiam sejenak di puncak Gumuk Kerang. Menikmati selimut malam yang dingin. Membiarkan angin membelai wajah kami. Merelakan kaki-kaki kami digigit semut. Ternyata bangsa semut dan kerang sudah bersatu untuk melindungi Gumuk Kerang. Serangan semut itu pun membuat kami memutuskan untuk segera turun dari Gumuk Kerang, kembali menuju ke tempat kedua.
Kami menghabiskan malam di tempat kedua. Rencananya, kami akan berangkat ke Pantai Papuma pukul 01.00 dini hari agar dapat melihat sunrise. Tetapi karena Tuan Slow tertidur bersama bangsa lele, bangsa semut dan bangsa kerang, kami pun ikutan tertidur. Akhirnya dunia kembali damai, karena bangsa manusia dan bangsa semut-kerang-lele tidak saling menyerang.
Pukul 03.00 dini hari, aku terbangun dan mendapati aku sedang tergeletak di kamar Beuh bersama Nurma dan Sulis. Ohya, Zahro sudah pulang ke Surabaya lebih dulu untuk membantu Power Rangers melawan Gorgon. Tunggu, kami, para gadis berada dalam kamar laki-laki? Apa yang... Oh, tidak! Bagaimana bisa? Aku berteriak tercekat... Mula-mula Nurma bangun, lalu Sulis, lalu Beuh, lalu Slow, lalu Bambu (personil yang bergabung sejak kami pergi menuju tempat pertama), lalu bangsa lele, lalu bangsa semut, lalu bangsa kerang... Dunia kembali kacau.
“Mengapa kalian tega?” tanyaku.
“Tapi kami...” kata Beuh.
“Kami khilaf...” kata Slow.
“Sudahlah, nasi sudah menjadi bubur...” kata Bambu.
“Kalian harus bertanggung jawab...” kata Nurma.
“Benar. Cepat bawa kami pergi...” kata Sulis.

Mau tahu apa yang sudah dilakukan Beuh, Bambu, dan Slow kepada kami?
Baca kelanjutannya di sini.

PS: ada foto-foto yang lain di part 2.

1 komentar:

  1. Hehe seru mbak, kalo nama lapangan aku, biasa di panggil 'Bejok':)

    Salam kenal.

    BalasHapus

terimakasih ^^