Senin, 30 April 2012

My First Lope (masih Danicha)


Awalnya kami menikmati hari-hari baru kami selayaknya pasangan yang baru jadian. Tapi kemudian, entah mengapa, aku merasa kami lebih cocok berteman, bukan pacaran. Dengan bodohnya dan tanpa pikir panjang, aku mengatakan apa yang kurasakan itu pada Dani. Dan akhirnya, hubungan pacaran kami berakhir hanya tujuh hari setelah tanggal 2 September 2008. Hikz L. Aku memang bodoh sekali, tanpa memikirkan perasaan Dani, aku enteng saja ngomong kalau aku lebih nyaman jika kami berteman, bukan pacaran. Mungkin waktu itu karena aku masih berstatus ABG labil alias ababil. Aku tidak tahu apa yang Dani pikirkan waktu itu, tapi dia sama sekali tidak menganggapku jahat dan menuruti mauku untuk mengakhiri hubungan pacaran kami. Bahkan dia juga sempat bilang, “kalau memang kamu suka sama mas TWT, aku rela kok”. Aku memang pernah cerita ke Dani, di kampus ada seorang senior yang keren, yang kuberi julukan TWT (the white trouser). Tapi sungguh, bukan karena si TWT. Aku sendiri tidak mengerti mengapa perasaanku pada Dani tiba-tiba berubah.
Setelah putus, sikap Dani padaku tetap baik. Tapi aku justru merasa risih dengan sikapnya itu. Aku mencoba menarik diri dari Dani. Sejak itu, hubungan kami semakin jauh.
Ternyata apa yang dikatakan Dani tentang TWT ada benarnya. Setelah putus dengan Dani, perasaanku yang semula hanya nge-fans sama TWT berkembang menjadi suka. Apa memang perasaanku pada Dani tiba-tiba berubah karena faktor TWT? Aku memang egois ya, maafin aku ya Dan... L.
Setelah itu, aku memang sempat dekat dengan TWT, tapi hanya sebentar, karena si TWT tiba-tiba menjauhiku. Mungkin ini karma atas perbuatanku pada Dani.
Selanjutnya, aku dan Dani benar-benar jauh, hanya sesekali saja sms. Suatu kali, beberapa bulan kemudian, kami sempat ngobrol lewat sms tentang perasaan kami waktu itu. Ternyata, Dani tidak memaksaku untuk tetap melanjutkan hubungan kami, karena dia tidak ingin menggangguku, agar aku tetap konsentrasi kuliah.
Sebenarnya ada penyesalan, tapi toh ini semua terjadi karena ulahku sendiri. Bukan Dani yang mengakhiri hubungan kami, tapi aku. Aku sempat berpikiran untuk membangun kembali hubungan kami, tapi nampaknya Dani tidak akan bersedia menghabiskan waktunya lagi denganku. Mana ada orang yang mau dekat-dekat lagi dengan orang yang sudah pernah membuatnya sakit hati? Aku menyesal, dan ingin mengulang semuanya dari awal. Seandainya saja aku bisa memutar waktu, aku tidak akan melakukan kebodohan mengakhiri hubungan kami, aku tidak akan nge-fans sama TWT.
Dua tahun kemudian, aku mengenal Yudha lewat facebook. Masih ingat Yuhda? Itu lho, orang yang namanya ada di sms salah kirimnya Dani, sms pertama yang kudapat dari Dani. Dulu Dani memang sempat cerita dia berteman baik dengan Yudha. Dari cerita Yudha, aku semakin yakin bahwa Dani memang cowok sederhana yang memiliki pemikiran sederhana, yang akan menyayangi seseorang dengan tulus.
Beberapa waktu yang lalu, aku sempat ngobrol dengan Dani. Iseng-iseng aku bertanya padanya berapa lama waktu yang dia butuhkan untuk menghilangkan perasaannya padaku, ternyata dia menjawab, “menghilangkan perasaan suka pada seseorang itu memang sulit, paling sulit. Aku membutuhkan waktu sekitar satu tahun.”
Aku semakin menyesal dan merasa berdosa. Padahal setahun setelah hubungan kami berakhir, aku sudah beberapa kali dekat dengan cowok lain. Tapi, memang, harus kuakui, Dani adalah yang paling baik, yang paling tulus, dan yang paling sederhana dalam mengasihi. Dari Dani, aku belajar bagaimana mengasihi seseorang dengan tulus dan sederhana. Terimkasih buat kenangan manisnya, Dani... J
Satu hal yang perlu kita garis bawahi adalah, jangan pernah menyia-nyiakan seseorang yang mengasihimu dengan tulus...

My First Lope :')


Sebelum cerita tentang awal mula melangkah ke ITS, dan di-ospek sama senior yang keren-keren, hehe, aku mau cerita tentang satu kenangan manis bareng seseorang bernama Dani.
Dani ini adalah temen SMA-nya temen SMP-ku. Hihi, mbulet yak? Jadi begini, pas di SMP dulu aku punya tiga sahabat baik, namanya Nuril, Evita, dan Fenny. Ternyata kami semua masuk di SMA yang beda-beda. Meskipun beda SMA, tapi kami masih sering jalan bareng, bahkan sampai sekarang. Si Dani adalah temen SMA-nya si Nuril. And here we go...
Pada suatu saat, waktu aku kelas 2 SMA, ada sms asing masuk ke HP-ku, bunyinya:
“Yudha, nanti malem pilox nya bawaen ya, aku mau bikin gravity”
Yudha? Pilox? Gravity? Karena penasaran, ya aku bales.
“ini siapa? salah kirim ya? aku ekky, bukan yudha”
SMS pun berlanjut sampai akhirnya aku tahu bahwa sms asing ini berasal dari seorang cowok bernama Dani, yang kebetulan adalah teman SMA-nya Nuril. Singkat kata, perkenalan kami berawal dari sms nyasar itu.
Sejak itu, kami beberapa kali ngobrol lewat sms. Tapi sebenarnya kami gak terlalu keep contact. Kadang-kadang dia ngilang dan gak sms selama berbulan-bulan, begitu juga aku. Kami juga gak terlalu ngoyo untuk kenal lebih dekat satu sama lain, bahkan beberapa bulan setelah perkenalan kami belum pernah bertemu. Pernah suatu kali, kami janji bertemu di arena jogging hari minggu pukul 6 pagi. Tapi karena tiba-tiba aku males keluar, soalnya pas hari minggu males mandi pagi-pagi, hehe, kami pun batal bertemu.
Di awal perkenalan, menurutku Dani adalah orang yang aneh. Dia pernah bilang, dia lebih suka menjadi kaum minoritas. Tapi berkat dia, selera musikku jadi meningkat. Dari yang awalnya cuma tahu sedikit lagu barat, aku jadi tahu lebih banyak. Dari yang awalnya cuma tahu Green Day dan Linkin Park, aku jadi tahu Bird and The Bee, Secondhand Serenade, Yellowcard, Plain White T’s, dll. Dia juga pernah memberiku satu CD-room yang isinya penuh lagu-lagu barat dan band-band indie (pembajakan!!). Di sampul CD-room itu ada tulisan semacem gravity yang dia tulis pake spidol marker, yang sampe sekarang pun aku gak bisa baca. CD-room itu masih ada sampe hari ini, tapi aku lupa ketumpuk di sebelah mananya kamarku. Hehehe.
Pertemuan pertama kami terjadi secara tidak sengaja. Waktu itu aku main ke SMA-nya si Nuril pas ada pentas seni. Pas aku masuk kelasnya Nuril, tiba-tiba ada suara cowok yang manggil namaku. Aku gak tahu dia siapa, yang jelas orangnya kurus, tingginya standar cowok, dan berambut cepak (ya iya lah, kan masih SMA). Aku cuek aja, soalnya aku kira tuh cowok cuma orang iseng yang gak pernah lihat cewek cantik, huehehe. Malem harinya aku dapat sms dari Dani, bunyinya: “sombong banget, tadi pas disapa gak mau noleh”. Ups, ternyata cowok kurus berambut cepak yang tingginya standar tadi adalah DANI. Kok aku bego banget ya, Dani sama Nuril kan satu sekolahan. Hahahahaha.
Hari-hari kami berlalu biasa saja, sampai setelah UNAS, kami menjadi bertambah dekat. Obrolan kami meningkat dari cuma masalah lagu dan sekolah, menjadi masalah hidup dan hal-hal pribadi. Sehari tanpa ngobrol sama Dani rasanya seperti Alvin and The Chipmunk tanpa si Alvin. Dani menjadi semacam kebiasaan bagiku, begitu juga sebaliknya. Aku hafal rutinitas Dani, begitu juga sebaliknya. Setiap malam kami ngobrol lewat sms, sesekali Dani telepon. Melalui kedekatan itu, aku mengenal Dani sebagai cowok yang sederhana, yang juga memiliki pemikiran sederhana, dan lebih suka menjadi kaum minoritas. Dani sangat hobi di dunia gravity dan desain grafis. Aku menyukai karya-karyanya. Beberapa kali Dani main ke rumahku, kadang rame-rame sama temen, kadang juga sendiri.
Di tengah-tengah kedekatanku dengan Dani, aku sangat menyukai satu lagu berjudul “Hey There Delilah” karya Plain White T’s. Gara-gara lagu itu, lahirlah satu nama gabungan dari Dani dan Icha (salah satu nama panggilanku), yaitu “Danicha”. Akhirnya, judul lagu versi kami pun berubah menjadi “Hey There Danicha”. Hahahaha, maaf ya abang-abang dari Plain White T’s.
Satu hal yang menyedihkan, ketika kami sama-sama berjuang agar bisa bareng-bareng kuliah di ITS, ternyata cuma aku yang keterima. Dani memilih jurusan Desain Produk, jadi tes masuknya bukan melalui SNM-PTN. Sayang sekali Dani tidak lolos ujian masuknya, padahal kami sudah membayangkan betapa menyenangkannya jika kami bisa kuliah satu kampus. Akhirnya, Dani melanjutkan pendidikannya di bidang desain komunikasi visual di salah satu PTS di Surabaya. Bakatnya di bidang gambar dan desain semakin terasah, dan berkembang di bidang fotografi. Sampai sekarang, aku masih menyukai karya-karyanya, bahkan aku menjadikan beberapa hasil jepretannya sebagai wallpaper PC-ku.
Setelah melewati masa-masa ababil yang galau, pada tanggal 2 September di malam takbir lebaran tahun 2008, kami memutuskan untuk melanjutkan hubungan persahabatan menjadi hubungan per-kekasih-an alias pacaran. It’s my first J.
Sayang sekali, semua tidak seindah seperti yang kubayangkan...

to be continued J...

Sabtu, 28 April 2012

bingung kasih judul :-)


Hola, hola.
Aku Ekky, cewek imut manis, tapi cuma kata Mama sama Ayahku. Heheh.
Seorang mahasiswi tingkat akhir yang lagi galau sama cin(TA)-nya.... Hei, bukan film cin(T)a lho ya, tapi cin(TA), yang artinya cin(TugasAkhir). Nge-lab belum selesai-selesai, apalagi nulis naskahnya... Euuh. Jadi, sebelum mengidap penyakit galau stadium akhir, ya akhirnya berselancar di dunia maya sambil nulis cerita-cerita gak penting berikut ini... Heheh.

Ngomong-ngomong soal tugas akhir, kalo misalnya tugas akhirku lancar jaya, berarti status kemahasiswaan-ku akan segera berakhir (AMIN). Waw.. Ternyata waktu berjalan begitu cepat. Rasanya baru kemarin aku ikutan ospek, eh tahu-tahu udah galau gara-gara Tugas Akhir aja... Kalau dihitung-hitung, dari awal agustus 2008 sampai sekarang, akhir april 2012, berarti udah hampir empat tahun aku ngendon jadi mahasiswa. Wah, lamaaa yaaa.. Tapi, bener, gak kerasa lho. Soalnya banyak banget yang terjadi, dan berkesan J.
Bermula dari pengisian formulir pendaftaran SNM-PTN...
Setelah meminta-minta pendapat dari berbagai pihak, yang semuanya mengatakan sebaiknya aku milih jurusan berbau pendidikan, yang artinya aku harus jadi Bu Guru.. Oh, No!! Akhirnya aku pun memilih tiga pilihan jurusan: pilihan pertama jurusan Kimia ITS, pilihan kedua jurusan Teknik Sistem Perkapalan ITS, pilihan ketiga jurusan Bahasa Jerman Universitas XX. Lho, kok, banting banget? Pilihan pertama dan kedua kan jurusannya sains banget, tapi pilihan ketiga kok malah bahasa? Heheh, soalnya aku ikutan kategori IPC. Kalo kategori IPA dan IPS kan pilihan jurusannya cuma dua, nah biar kesempatan lolos ujian SNM-PTN makin besar, aku milih kategori IPC. IPC itu gabungan IPA dan IPS, jadi jurusan yang dipilih boleh dari golongan IPA maupun IPS. Kategori IPC ini cukup menguntungkan, karena ada tiga pilihan jurusan yang boleh diisi. Tapi, karena ujiannya mencakup materi IPA dan IPS, akhirnya ya belajarnya makin rempong deh ciiin. Tak apalah, demi masuk universitas negeri, apapun jurusannya, heheh.
Kenapa aku milih Kimia, Teknik Sistem Perkapalan, dan Bahasa Jerman? Karena pada waktu itu, aku punya cita-cita “yang penting aku mau kuliah di ITS, gak peduli apa jurusannya”. Wait a minute, ada yang gak tahu ITS? Wah, ndeso kalian, hehehehehe pisss J. ITS itu Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, inget, bukan Institut Teknologi Surabaya lho ya... S-nya itu Sepuluh Nopember, bukan Surabaya lho ya.. Awas kalo masih salah aja, hehehe. Nah, pas tahun 2008, setelah ikutan berjuta-juta macam try out ujian SNM-PTN, nilai-nilaiku ternyata ada di sekitar passing grade-nya jurusan kimia, di bawahnya ada teknik sistem perkapalan, ya udah deh tak bungkus dua jurusan itu. Lalu, kemudian, dan selanjutnya, karena gengsi-ku terlalu gedhe kalau harus gak lolos ujian SNM-PTN, akhirnya aku milih jurusan bahasa jerman universitas XX, yang gosipnya waktu itu lebih banyak bangku kosongnya daripada pendaftarnya, so pasti diterima lah gak peduli sejeblok apa nilai ujiannya, hahahaha.
Sebelum ujian SNM-PTN, aku pun belajar siang, malem sore pagi nya molor, hahahaha. Gak ding, waktu itu aku bener-bener niat ingin jadi mahasiswa ITS. Saking niatnya, aku merelakan uang hasil tabungan selama SMA buat ikutan program intensif di Lembaga Bimbingan Belajar (LBB) Prima*ama. Padahal duit itu celenganku buat beli HP layar warna, soalnya waktu itu aku pake HP dual color: item tulisannya, kuning layarnya. Batal deh, HP layar warna. Gak apa-apa deh, toh Ayah janji mau beliin HP warna kalo lolos SNM-PTN nya.
Singkat cerita, setelah intensif belajar beratus-ratus jam, panas-panasan dan desek-desekan naik angkot pas pergi ke LBB Prima*ama (soalnya si LBB agak jauh dari rumahku), tibalah harinya SNM-PTN.
Satu hal yang gak akan pernah aku lupa adalah, hari itu aku berangkat ke lokasi ujian dibonceng motor sama Mamaku. Mamaku rela berdingin-dingin berangkat subuh dari Sidoarjo ke Surabaya, dan rela berpanas-panas pas pulang dari Surabaya ke Sidoarjo. Kebetulan aku dapet lokasi ujian di Universitas Airlangga Surabaya. Pas sampai di lokasi ujian, ternyata kepagian dan masih sepi. Ya udah, aku sama Mama nyari tempat teduh dulu.
Perut krucuk-krucuk, nih, belum sarapan, pasti garap ujiannya nanti gak konsen, batinku.
Eh, gak taunya Mama ngeluarin bungkusan nasi dari dalam tasnya.
“Lho, Mama kapan masaknya?” tanyaku.
“Pas samean gurung tangi, Cha” (waktu kamu belum bangun, Cha)
Mamaku kebiasaan manggil aku Icha, transformasi dari Riza-nya Ekky Riza Enggawati. Imut-imut kan? Hehe.
Ya Allah, bangun jam berapa tadi Mamaku? Aku masih di dunia mimpi, Mama udah di dunia dapur.
Waktu aku mau makan pake tangan, soalnya lupa bawa sendok, Mama melarangku, lalu nyuapin aku pake tangannya. Hari itu, aku yang sudah lulus SMA, sudah berumur 18 tahun, dan akan mengikuti ujian SNM-PTN, makannya malah disuapi sama Mama.
“Wes didulang Mama ae, ben gak rusuh tanganmu”, kata Mamaku (udah disuapin Mama aja, biar tanganmu gak kotor)
Rasanya waktu itu aku terharu banget, sekarang pun, kalo lagi inget, aku sering mewek, hehehe.
Sebenarnya, aku bisa aja nebeng temenku berangkat ke lokasi ujian, tapi Mama yang bersikeras mau mengantarku. Mama bilang, “lek gak diterno Mama, samean gak ketompo nang ITS lho” (kalo gak dianter Mama, kamu gak keterima di ITS lho). Ya udah, nurut aja, lagipula aku lebih suka kemana-mana bareng Mama. Hehe, aku emang anak Mama.
Aku jadi inget dulu pas ujian masuk SMP Negeri pun, aku dianter Mama. Lebih parah lagi, karena belum punya motor, Mama bonceng aku naek sepeda pancal. Satu tangan Mama memegang setir sepeda pancal, dan satu tangannya lagi sesekali memegangi adikku yang duduk di keranjang depan sepeda. Untuk menuju SMP itu, kami harus melewati jembatan di atas sungai yang lumayan lebar, dan melewati jalanan di tengah sawah yang jalannya becek-becek gak ada ojek. Dan hasilnya? Alhamdulillah, aku diterima di SMP Negeri tersebut, terlebih lagi aku  mendapat peringkat satu. Itu semua karena doa Mamaku yang tulus.
Lanjut ke SNM-PTN...
Setelah sebulan berharap-harap cemas, akhirnya malam itu aku mendapat kabar baik. Aku lolos ujian SNM-PTN, dan berhasil masuk di jurusan pilihan pertama: Kimia ITS. Sekali lagi, itu berkat doa Mamaku. Aku membuat sedikit kejutan buat Mama. Malam itu, Mamaku yang belum tahu kabar gembiranya, baru pulang dari pengajian.
“Ma, pengumuman SNM-PTN nya udah keluar, Icha gak keterima...” kataku
“Oalah... Yo wes gak apa-apa, berarti emang gak rejeki,” kata Mamaku dengan legowo.
“Icha gak keterima di Universitas XX, tapi keterima di Kimia ITS,” kataku. Seketika Mama memelukku, dan menciumi kedua pipiku. Aku melihat setitik air di mata Mama. Kalau bang Andrea Hirata beruntung mempunyai Ayah juara satu, aku lebih beruntung lagi karena memiliki keduanya: Mama dan Ayah Juara Satu. I love you Mom and Dad.
Malam itu tampak seperti hari yang sangat menyenangkan bagiku, tapi ternyata masih banyak hari-hari lain yang lebih menyenangkan J...