Minggu, 11 Maret 2012

Harga Minyak [dan] Bumi


Bahasan mengenai kenaikan harga bahan bakar minyak tampaknya sedang menjadi topik utama dalam banyak perbincangan saat ini. Bagaimana tidak, banyak pihak yang pro, dan yang kontra juga tidak lebih sedikit. Munculnya pro dan kontra dalam menanggapi suatu isu merupakan hal yang sangat wajar, mengingat Indonesia adalah Negara dengan keberagaman sosial yang tinggi. Berbagai pendapat muncul dari macam-macam sudut pandang. Namun, pada akhirnya harus ada pihak yang legowo terhadap kebijakan yang diambil.
Bahan bakar minyak memegang kendali yang sangat kuat bagi pemenuhan kebutuhan rakyat. Manusia membutuhkan mobilitas, pangan, sandang, dan papan yang memerlukan bahan bakar minyak dalam proses produksinya. Maka, jika kita berbicara tentang kenaikan harga minyak, itu berarti kita sedang berbicara tentang kenaikan harga terhadap pemenuhan kebutuhan pokok tersebut. Lagi-lagi, rakyat kecil-lah yang paling merasakan pukulannya.
Hal yang harus diingat adalah bahan bakar minyak yang harganya sedang panas diperdebatkan itu diproduksi dari energi fosil yang tak terbarukan. Dewasa ini dan beberapa tahun ke depan, manusia masih akan tergantung pada sumber energi fosil, karena sumber energi fosil inilah yang mampu memenuhi kebutuhan energi dalam skala besar. Akan tetapi, menurut WEC (World Energy Council), cadangan minyak bumi dunia akan habis pada tahun 2022. Sepuluh tahun lagi, dan dunia akan megap-megap karena kehabisan salah satu sumber energi terbesar. Pihak akademisi memandang hal ini sebagai kesempatan dan latar belakang untuk semakin menduniakan energi alternatif terbarukan.
Argumentasi yang sering dilupakan dalam perbincangan kenaikan harga minyak adalah kondisi lingkungan yang kian memburuk. Seorang teman bertanya, “apa hubungan antara kenaikan harga minyak bumi dan lingkungan?”. Sebuah pertanyaan yang merupakan penanda kurangnya kesadaran, atau pengetahuan?, tentang penyebab global warming.
Dewan Nasional Perubahan Iklim menyatakan karbondioksida yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil adalah penyumbang terbesar bagi gas-gas rumah kaca yang menyebabkan global warming. Dengan kenaikan harga minyak, sangat dimungkinkan penggunaan bahan bakar fosil akan banyak berkurang, sehingga dapat membantu minimalisasi global warming. Namun, di tengah-tengah maraknya kampanye lingkungan, beberapa orang yang pro-lingkungan justru juga turut meramaikan kontra terhadap kenaikan harga minyak. Apakah pengetahuan yang bermasalah atau hati nurani telah berbicara?
Dalam sebuah diskusi, muncul pernyataan, “Setidaknya dengan adanya kenaikan harga minyak, gaya hidup hijau bisa diterapkan.”
Pernyataan ini mengandung arti bahwa gaya hidup hijau dilakukan dengan keterpaksaan karena adanya kenaikan harga minyak. Begitu juga dengan persetujuan terhadap kenaikan harga minyak dinyatakan dengan terpaksa, agar dapat menerapkan gaya hidup hijau. Maka, jika tidak ada kenaikan harga minyak, tidak ada pula gaya hidup hijau. Dengan demikian, hubungan antara harga minyak dan perbaikan lingkungan dapat dianalogikan sebagai suatu perbandingan lurus. Mungkin setelah 1 April 2012 nanti angkutan massal semakin ramai dan program bike to work semakin sukses.
Namun, apakah, lagi-lagi, rakyat kecil yang harus menjadi korban bagi berjalannya perbandingan lurus tersebut? Dalam hal ini, bagaimana jika memberi kesempatan lebih banyak dan lebih nyata bagi para akademisi untuk membuktikan eksistensinya dalam hal inovasi bahan bakar alternatif yang juga ramah lingkungan dan juga tidak mahal? Just give them chance, and time... Bisakah 1 April 2012 ditunda, sampai semuanya teratasi?

Selasa, 06 Maret 2012

KE-TIDAK-MENGERTI-AN-KU


Aku selalu hidup dari satu ke-tidak-mengerti-an ke ke-tidak-mengertian yang lain. Ketika aku bahagia, aku tidak mengerti mengapa hatiku bahagia. Ketika aku bersedih pun, aku tidak mengerti mengapa aku harus bersedih. Dan ketika aku gagal berkali-kali, aku tidak mengerti mengapa aku menjadi putus asa.
Aku sering merenungkan mengapa Tuhan menciptakan aku menjadi aku. Mengapa aku harus diciptakan sebagai manusia? Apakah dengan adanya aku sebagai manusia, akan berpengaruh bagi bumi? Apakah dengan tidak adanya aku sebagai manusia, bumi akan kehilangan sedikit beban? Tujuh milyar manusia di muka bumi ini. Dan aku menjadi salah satunya. Satu per tujuh milyar bagian, maka kurasa bumi tidak akan merasakan ada maupun tidaknya aku.
Kembali lagi, mengapa Tuhan menciptakan aku sebagai aku, bukan sebagai Kartini, Thomas Alfa Edison, atau Andrea Hirata? Jika saja Tuhan menjadikanku Kartini, maka aku-lah wanita yang akhirnya bisa membuka pintu pendidikan bagi wanita Indonesia. Jika saja Tuhan menjadikanku Thomas Alfa Edison, maka aku-lah penyelamat bumi dari kegelapan malam. Jika saja Tuhan menjadikanku Andrea Hirata, maka aku-lah penulis yang mampu menceritakan kehidupanku dengan menarik dan berhasil menginspirasi banyak orang untuk terus bermimpi.
Jika saja. . .
Aku tetap saja tidak mengerti mengapa aku diciptakan menjadi aku.
Aku hanya manusia yang kebetulan saja berkesempatan menjadi mahasiswa, mengenyam pendidikan yang sedikit lebih banyak daripada dua belas tahun yang wajib. Awalnya, aku cukup bangga karena berhasil menembus SNMPTN. Namun, toh, akhirnya aku mendapati banyak mahasiswa yang ujung-ujungnya tetap tidak berguna. Selalu bergumam bahwa dirinya mahasiswa, tapi tidak memiliki peran selayaknya mahasiswa.
Dan aku semakin tidak mengerti mengapa aku dilahirkan sebagai wanita. Lihatlah para wanita itu, setelah menikah akhirnya harus berhenti memperjuangkan pemikirannya, tunduk kepada suami, dan pendidikan tingginya pun hanya berakhir dengan menyuapi anak-anaknya. Oh, ternyata ada juga wanita yang sedikit beruntung, menikah dengan laki-laki pengertian yang mengijinkannya untuk terus melanjutkan perjuangannya dengan tameng emansipasi.
Sangat banyak yang aku tidak mengerti tentang kehidupanku. Ketika aku pulang larut malam, kulihat adik-adikku telah tidur nyenyak. Satu lagi pertanyaan berhenti seenaknya di kepalaku, mengapa aku menjadi anak pertama? Aku-lah yang harus mengerti bagaimana menjaga adik-adikku, aku-lah yang harus memberi contoh bagaimana sejatinya bakti seorang anak kepada orang tua mereka.
Semakin banyak lagi hal-hal yang tidak kumengerti saat aku menghabiskan waktu bersama teman-temanku. Aku membatin, betapa enak hidup mereka: memakai baju-baju keren, punya banyak waktu luang, tidak perlu memikirkan perihal biaya kuliah, dan memiliki banyak celah untuk bersenang-senang. Ah, seandainya...
Ya, seandainya aku menjadi seperti teman-temanku itu, sepulang kuliah aku masih punya banyak waktu untuk belajar dan membaca, lalu istirahat. Tapi kenyataannya aku adalah aku, yang sepulang sekolah masih harus mengais rezeki demi tidak menjadi beban bagi orang tuaku. Setelahnya, aku harus menempuh perjalanan dengan motor selama satu jam menuju rumah.
Satu jam inilah yang perlahan-lahan memberi jawaban bagi semua pertanyaan yang tertampung dalam otakku. Aku seringkali mendapati pengemis, pengamen atau orang-orang gila di pinggir jalan. Aku sangat simpati kepada mereka, tapi diam-diam aku bersyukur karena aku masih memiliki kehidupan yang lebih baik. Aku masih bisa berlindung ketika hujan, aku masih bisa menutupi auratku, dan perutku hanya merasakan lapar saat sedang berpuasa. Aku pun memiliki celah waktu untuk menghibur diri dengan melihat indahnya ciptaan Tuhan di puncak gunung, celah waktu untuk memberi makan otakku dengan rangkaian kalimat yang menarik, serta celah waktu untuk menikmati hari-hari bersama orang-orang yang kukasihi.
Rombongan pertanyaan pun mendadak memenuhi otakku, mengapa orang-orang itu yang harus menjadi pengemis, pengamen atau orang gila di tepi jalan? Mengapa bukan aku? Mengapa Albert Einstein tidak menjadi orang gila? Mengapa Iwan Fals tidak menjadi pengamen? Mengapa Bill Gates tidak menjadi pengemis?
Aku menghembuskan napas, dan berpikir dengan tenang. Yes, I found the answer of these questions.
Tuhan tidak pernah menciptakan Kartini sebagai pejuang emansipasi, Albert Einstein sebagai ilmuwan, Andrea Hirata sebagai penulis dan Bill Gates sebagai jutawan. Pada mulanya, Tuhan menciptakan orang-orang hebat itu sama seperti ku, yaitu sebagai manusia biasa. Tuhan menciptakan para pengemis, pengamen, dan orang gila itu pun dengan cara yang sama seperti menciptakan aku dan Albert Einstein. Tuhan memberi kesempatan yang sama untuk makhluk ciptaannya. Tuhan itu adil, dan aku sangat percaya itu.
Yang menentukan siapa diri kita adalah diri kita sendiri. Thomas Alfa Edison mungkin tidak akan dikenal sebagai penemu bohlam jika dia berhenti pada percobaan ke-999. Lihatlah, Tuhan tidak memberi catatan di kening Thomas bahwa dia akan menjadi penemu bohlam. Jika ingin menjadi penulis, maka menulislah. Jika ingin menjadi ilmuwan, maka belajarlah.
Tuhan telah menciptakan manusia dengan berbagai macam potensi. Kekurangan dan kelebihan adalah hal yang wajar dimiliki oleh manusia, maka jangan terlalu mengurangkan kekurangan dan jangan terlalu melebihkan kelebihan. Bahkan Helen Keller yang tuna rungu dan tuna netra pun bisa menjadi penulis. Bahkan seorang penderita glaucoma pun bisa menjadi seorang pengajar bahasa Inggris.
Dan sekarang aku tahu mengapa aku harus menjadi aku. Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang semuanya wanita, ber-Ayah-kan Ayah juara satu di dunia, dan ber-Ibu-kan dengan kasih sepanjang masa. Aku harus bersyukur menjadi aku, karena tidak ada yang bisa menjadi aku selain aku. Aku harus menjadi aku, karena hanya aku yang bisa menjadi aku. Terdengar seperti ucapan yang sangat sombong, tapi itu hanya sekedar ucapan syukur karena Tuhan telah menciptakanku lengkap dengan kapasitasku yang cukup untuk menampung semua masalah yang harus kuhadapi. Seperti flashdisk, si pemilik flashdisk tentu tidak akan menyimpan data dengan ukuran yang melebihi kapasitas memorinya.
Ohya, dan meskipun keberadaanku tidak banyak berpengaruh bagi bumi, setidaknya orang-orang di sekitarku bisa merasakan keberadaanku dan aku bisa memberi pengaruh positif bagi mereka. Aku pun sangat bersyukur menjadi wanita, karena Tuhan ternyata memberikan banyak keistimewaan bagi wanita J.

Jumat, 02 Maret 2012

LIBERALISME DAN PERUBAHAN IKLIM


Sedikit berbagi pengetahuan atas apa yang telah saya dapatkan dari sebuah pelatihan.

Apa yang Anda pikirkan pertama kali ketika mendengar kata ‘Liberalisme’?
Saya sendiri hanya bisa menjawabnya dengan beberapa patah kata, yaitu liberalisme sebagai kebebasan berpikir. Saya bukan mahasiswa hukum, dan basic pengetahuan saya sama sekali tidak berhubungan dengan liberalisme maupun isme-isme yang lain. Tapi Saya cukup sering mendengar orang-orang menyebut kata liberalisme. Jadi, ya, Saya hanya bisa memutar sedikit ingatan saya tentang liberalisme, dan menemukan bahwa liberalisme itu berarti kebebasan. Kebebasan berpikir, lebih tepatnya. Mengapa demikian? Karena menurut Saya, sumber dari kebebasan itu adalah pikiran kita sendiri. Apapun yang telah maupun yang akan kita lakukan, tentu bersumber dari pikiran kita. Kekangan atau kebebasan yang kita dapatkan, itu pun bersumber dari pikiran kita sendiri. Seorang filsuf pernah berkata ‘Apa yang kita yakini, itulah yang akan terjadi’.
Itu lah batas pengetahuan saya tentang liberalisme, sebelum mengikuti pelatihan berjudul “Liberal Workshop for Student on Climate Change and Freemarket”. Pelatihan yang digelar pada tanggal 22-23 Februari 2012 di Country Haritage Resort Hotel tersebut, dihadiri oleh perwakilan mahasiswa dari penggiat lingkungan dan aktivis kampus di tiga universitas ternama di Surabaya, yaitu Universitas Airlangga (Unair), Universitas Negeri Surabaya (Unesa), dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Penyelenggara pelatihan ini sendiri adalah komunitas pencinta lingkungan bernama Akar Petit bekerja sama dengan Freedom Institute dan Friedrich Nauman Stiftung.
Tujuan dari pelatihan ini adalah memberikan pengetahuan bagi peserta tentang peran free market sebagai bagian dari liberalisme dalam meminimalisir penyebab global warming.
Seperti yang Anda ketahui, bahwa bumi kita ini sedang didera oleh fakta tentang Climate Change, yang disebabkan oleh Global Warming. Saya jadi mengingat ada salah seorang peserta pelatihan yang berkata, “Ibaratnya, sebutan perubahan iklim atau Climate Change itu hanya tepukan pelan di pipi, sedangkan sebutan pemanasan global atau Global Warming itu adalah tamparan keras.”
Singkatnya, Global Warming disebabkan oleh munculnya gas-gas di atmosfer yang memberikan efek rumah kaca, sehingga bumi mengalami kenaikan suhu. Selain itu, global warming juga disebabkan oleh deplesi ozon, sebagai akibat dari penggunaan zat-zat pengurai O3 (Ozon) seperti CFC yang sering didapati penggunaannya dalam mesin pendingin. Kenaikan suhu bumi kemudian disebut sebagai global warming, yang menjadi penyebab perubahan iklim. Di Indonesia sendiri, perubahan iklim terbukti dengan bergesernya waktu musim kemarau dan musim penghujan, bahkan musim tersebut mulai berlagak seperti sistem yang kacau.
Masyarakat berpendapat bahwa penyebab utama global warming berasal dari emisi kendaraan bermotor dan limbah industri. Ya, memang begitu kenyataannya. Menurut Dewan Nasional Perubahan Iklim, gas rumah kaca yang paling berperan dalam pemanasan global adalah CO2 yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil, serta CO2 yang dihasilkan karena deforestasi. Namun jika ditilik lagi, bahkan sebelum bumi mengenal industrialisasi pun, global warming telah terjadi. Beberapa juta tahun yang lalu, bumi mengalami jaman es. Menurut para ilmuwan, akhir dari jaman es tersebut disebabkan meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer yang menyebabkan kenaikan suhu bumi, sehingga dapat mencairkan es yang menutupi permukaan bumi. Ada pula yang berpendapat bahwa rotasi bumi terhadap matahari tidak berada pada posisi yang simetris, sehingga  perubahan iklim dapat terjadi setiap 150 juta tahun sekali.
Menurut logika, solusi dari suatu permasalahan adalah dengan meniadakan penyebab dari permasalahan tersebut. Sehingga, jika dikatakan industrialisasi adalah penyebab utama global warming, maka industrialisasi pun harus di-STOP agar global warming juga bisa STOP. Namun, tidak bisa serta merta seperti demikian. Tidak bisa dipungkiri, bahwa kehidupan manusia bumi telah bergantung pada industrialisasi. Segala kebutuhan manusia dapat dipenuhi dengan industrialisasi, mulai dari kebutuhan pangan sampai angkutan menuju bulan.
Dapat ditarik kesimpulan bahwasanya global warming disebabkan oleh dua hal yang tidak bisa dihentikan begitu saja, yaitu industrialisasi serta gejala alam itu sendiri. Maka dari itu, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana cara meminimalisir penyebab global warming, tetapi kebutuhan manusia tetap terpenuhi.
Banyak tindakan telah dilakukan untuk meminimalisir global warming, beberapa di antaranya efisiensi bahan bakar, inovasi teknologi, dan penggunaan energi alternatif ramah lingkungan, yang menurut pembicara dalam pelatihan ini merupakan tindakan kapitalis. Saya sendiri, karena pengetahuan saya berkembang di lingkungan ilmu pasti, yakin bahwa tiga tindakan kapitalis tersebut merupakan tindakan paling berpengaruh terhadap minimalisasi global warming. Namun, dalam pelatihan ini, saya mendapat pandangan bahwa global warming dapat diminimalisasi dengan cara-cara yang belum pernah terpikirkan oleh saya J.
Cara-cara tersebut, yang belum pernah terpikirkan oleh saya, berkembang dari pemikiran berpaham liberal. Seperti yang telah saya sebutkan di atas, bahwa liberalisme ini merupakan paham kebebasan. Terdapat beberapa nilai yang berkembang dalam liberalisme ini, antara lain tentang property right, toleransi, individu, demokrasi, kompetisi, aparat, regulasi dan free market/perdagangan bebas. Kemudian, dari nilai property right/hak milik, berkembang suatu pemikiran bahwa manusia cenderung lebih suka menjaga dan merawat materi yang menjadi miliknya. Sebagai contoh, di suatu desa terdapat danau yang di dalamnya terdapat banyak ikan. Karena danau tersebut bukan milik siapa-siapa, maka setiap penduduk desa pun bebas memancing di danau tersebut. Dengan demikian, setiap orang akan berlomba-lomba untuk mendapatkan ikan lebih banyak, lebih banyak, dan lebih banyak lagi sampai ikan di danau tersebut habis terpancing.
Hal yang berbeda terjadi jika seseorang memiliki hak milik terhadap danau tersebut. Dengan adanya hak milik, si pemilik sungai akan menjaga dan melestarikan danau tersebut. Karena memiliki hak milik terhadap danau, maka si pemilik pun bebas mengambil ikan dalam danau tersebut. Namun, dikarenakan hak milik itu juga, si pemilik tidak akan menghabiskan ikan dalam danau tersebut. Si pemilik justru akan merawat dan melestarikan ikan-ikan dalam danau tersebut, agar terus berkembang sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Dengan demikian, kelangsungan hidup ikan-ikan dalam danau bisa dikatakan lebih terjamin jika danau tersebut bukan milik bersama, melainkan milik pribadi.
Kabarnya, di India, seorang wanita berhasil memelihara singa sebagai hewan ternak. Seperti yang kita ketahui, singa merupakan salah satu hewan yang hampir punah. Namun, kepunahan tersebut dapat dicegah dengan menjadikan singa sebagai hewan ternak. Bisa dimungkinkan dengan cara tersebut, kelestarian singa maupun hewan liar lainnya lebih terjamin.
Implementasi dari ide perdagangan bebas ini dapat juga bermanfaat untuk meminimalisir global warming. Misalnya dalam hal perdagangan bebas dan hak milik terhadap kawasan hutan. Seperti pada contoh danau di atas, mungkin si pemilik akan memanfaatkan sumber daya yang terdapat dalam hutan tersebut. Namun, si pemilik tidak akan melupakan bahwa hutan yang sedang ia manfaatkan itu adalah miliknya sendiri. Dengan demikian, dia akan menjaga dan melestarikan hutan tersebut, sehingga sumber daya di dalamnya dapat dimanfaatkan secara kontinu.
Peluang adanya praktek eksploitasi hutan memang akan jauh lebih besar jika hutan tersebut dimiliki secara pribadi. Bisa saja si pemilik akan membabat habis hutan miliknya, kemudian menjadikannya rumah peristirahatan, kawasan wisata dan lain sebagainya yang dapat menghasilkan uang. Disinilah peran dari regulasi dan aparat yang juga termasuk dalam nilai liberalisme. Regulasi dapat dibuat sedemikian rupa sehingga si pemilik dapat memanfaatkan sekaligus melestarikan kawasan hutan miliknya, dan aparat dapat menegakkan regulasi sebagaimana mestinya.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa memang selalu ada celah untuk berbuat curang. Jika sudah demikian, apa lagi yang bisa dikatakan selain “itu semua tergantung pada kesadaran individu masing-masing”.
Sebenarnya liberalisme itu sendiri muncul dengan asumsi bahwa pada dasarnya setiap manusia itu baik. Namun, Tuhan sendiri telah menciptakan manusia satu paket dengan apa yang sering kita sebut ‘nafsu’. Jadi, bagaimana menurut Anda???