Minggu, 30 Oktober 2011

selamat tinggal

aku tidak lagi menunggumu, dan jangan pernah datang lagi padaku, karena aku akan tetap berlari meski tanpamu.. karena hidupku bukan lagi untuk mengangankanmu.. untuk semua dan semua. maafkan aku.

inilah pilihanku, dan biarkan aku bebas sebebas-bebasnya untuk mewujudkan satu persatu apa yang telah kutulis di atas lembar impianku.

berbahagialah sesukamu. aku tak kan lagi mengunci diriku dengan dir...imu. aku tak kan lagi mencari kesempatan agar kita berpapasan, karena itu telah menjadi hal yang paling kuhindari sejak hari ini sampai selamanya. aku tak kan pula mencari tahu tentangmu. kau sakit, kau jatuh, kau bahagia, kau terbang. semua itu hidupmu, bukan lagi hidupku.

sampai disini saja kau menghinggapi hatiku.

seharusnya sudah sejak lama aku begini, tapi baru sekarang aku begitu kuat melawan perasaanku.

selamat tinggal, hanya sebuah kata dariku yang tak akan terbalas, karena kau memang sudah lama meninggalkanku jauh sebelum ini.

dan jika suatu saat kita berpapasan lagi, percayalah itu bukan keinginanku. itu hanya takdir yang telah digariskan oleh-Nya.

Senin, 24 Oktober 2011

sapu dan buku

Aku Nisa.
Sapu lidiku tiba-tiba merosot dari tanganku saat melihat sosoknya. Aku terpaku ketika menyadari dia sedang berjalan ke arahku. Senyumnya... Ya, pasti senyum itu sedang ia tujukan padaku. Aku menarik kedua ujung bibirku, mencoba membentuk senyuman paling manis milikku. Lalu...
Dia berjalan melewatiku. Rupanya senyuman tadi ia tujukan kepada temannya yang sedang berdiri tepat di belakangku. Hahaha, seharusnya aku tahu orang seperti dia tidak akan mungkin tersenyum kepadaku, bahkan menyadari keberadaanku pun tidak akan pernah.
Hhh. Aku menarik nafas. Biarlah. Biar aku saja yang menyimpan rasa ini, karena aku sepenuhnya sadar bahwa aku tidak pantas bersanding dengannya. Aku mengambil sapu lidi yang terjatuh tadi, dan melanjutkan pekerjaanku, menyapu halaman kampus.
***
Jam kerjaku sudah habis sejak dua jam yang lalu. Tapi aku masih ingin disini, melihat sosoknya yang sedang berbicara dengan beberapa orang temannya. Dia disana, sedang duduk memimpin sebuah pertemuan dengan mahasiswa lainnya. Aku menguping apa yang sedang mereka bicarakan. Hmm, entahlah, aku tidak begitu mengerti, tapi sepertinya mereka sedang merencanakan sebuah demonstrasi. Ya, ya, ya, dasar mahasiswa.
Aku melihatnya. Lama. Saat dia tersenyum, aku ikut tersenyum. Saat dia tertawa bersama teman-temannya, aku pun ikut tertawa. Saat dia terlihat sedang berpikir, aku merasa ikut terhanyut dalam pemikirannya, padahal aku tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan disana.
***
Tuhan, inikah yang Engkau namakan cinta? Ketika aku merasakan sebuah ketertarikan terhadap lawan jenisku? Ketika aku mencoba mengusir rasa itu dari hatiku, tapi tak bisa? Ketika aku sangat bahagia dengan hanya melihat sosoknya? Ketika aku mencoba mengendalikan otakku untuk tidak merekam senyumannya, tapi tak bisa juga? Tidak, Tuhan! Kumohon, hentikan semua ini. Jika ini yang Engkau namakan cinta, maka gantikan cintaku untuk orang lain. Orang lain yang masih bisa kugapai. Tapi jika Engkau masih menghendaki cinta ini untuknya, maka biarlah. Biar aku saja yang menyimpan rasa ini.
***
Aku duduk di tempat biasa. Disinilah aku bisa melihatnya dari balik kaca jendela itu. Dia sedang berada di dalam kelas, menyimak kuliah dengan mimik serius. Sesekali, dia bercanda dengan temannya, atau menggoda temannya yang lain. Aku tidak pernah bosan melihat dia.
Otakku mulai menayangkan sebuah alur cerita. Aku tidak lagi menyapu halaman kampus, mengelap meja-meja, menyapu kelas, atau membersihkan kamar mandi. Aku menjadi mahasiswa, sama seperti dia. Aku duduk di dalam kelas bersamanya, tepat di sampingnya. Kami mendiskusikan apa yang kami anggap sulit, dan sesekali bercanda. Setelah kuliah usai, kami menghabiskan waktu bersama, entah dengan acara makan siang, mengerjakan tugas bersama, atau sekedar duduk berdua untuk ngobrol. Setelah itu, dia pun mengantarkan aku pulang...
“Nisa, mau sampai kapan kamu duduk disitu?” suara Kakek mengagetkanku, membawaku kembali ke alam nyata, “kamar mandi ladies sudah kotor, ayo sana bersihkan dulu!”
Kakekku, satu-satunya kerabat yang aku punya di dunia ini, selalu berpesan, “kamu harus ingat siapa kita, Nisa... Jangan bermimpi macam-macam. Jatuh cinta itu indah, tapi akan jauh lebih indah jika kita jatuh cinta pada orang yang tepat.”
***
Tuhan, mengapa Engkau menciptakan rasa cinta yang tak mungkin kuungkapkan? Mengapa Engkau memasukkan rasa cinta dalam hatiku, yang kemudian harus kusingkirkan? Mengapa Engkau begitu mudah membuatku jatuh cinta, tapi begitu enggan membuatku menghilangkan rasa cinta itu?
***
Dia berdiri di depan sekumpulan mahasiswa, memimpin mereka. Kudengar kemarin, saat aku menguping pertemuan mereka, hari ini mereka akan melakukan demonstrasi itu. Aku sangat menikmati sosoknya yang sedang meneriakkan kalimat-kalimat demonstrasi, penuh semangat dan antusias.
Para demonstran itu mengenakan kaus putih polos, sama seperti yang kukenakan saat ini. Hei, aku bisa bergabung bersama mereka! Ya, tidak akan ada yang menyadari aku bergabung bersama mereka. Aku menyelinap! Dan yang paling menyenangkan adalah, aku bisa berinteraksi dengannya!
Aku memilih berada di tengah-tengah barisan, agar tidak ada yang menyadari penyelinapanku. Mataku terus mengikuti sosoknya, kemanapun ia bergerak. Jika ia bicara di depan barisan, pandanganku pun lurus ke depan. Jika ia bergerak ke belakang, aku pun menoleh ke belakang.
Demonstrasi berjalan lancar, dan aman-aman saja. Tapi kemudian, tiba-tiba tindakan anarki mulai terjadi. Aku tidak tahu bagaimana dan siapa yang memulai. Semuanya terasa sangat cepat. Aku memejamkan mata saat sebuah tongkat hampir saja mengenai kepalaku, tapi meleset. Ketika aku membuka mata, semua menjadi kacau. Demonstrasi yang tadi penuh dengan kata-kata perjuangan, kini berubah menjadi ajang tawuran.
Aku sangat khawatir. Aku kehilangan sosoknya. Aku berlari-lari mencarinya. Aku tidak menemukannya. Aku tidak peduli dengan tawuran itu. Aku hanya khawatir dia tertusuk, tertembak, terpukul, terjatuh, tertimpuk...
Itu dia! Dia sedang meringkuk, beberapa meter dari tempatku berdiri. Dia sedang kesakitan, dan berdarah! Oh, Tuhan! Aku berlari menghampirinya, sambil menangis.
***
to be continued.... ^^