Kamis, 31 Januari 2013

Rumah Kedua Sikluser


Pernah menonton serial FRIENDS? Serial tersebut menceritakan tentang kehidupan beberapa orang sahabat yang tinggal di bawah satu atap yang sama. Kami, para Sikluser, juga memiliki cerita tentang hidup di bawah satu atap yang sama.
Sikluser adalah sebutan bagi anggota PLH SIKLUS ITS (baca di sini). Tidak peduli apakah ia Anggota Muda (AM), Anggota Penuh (AP), maupun Anggota Luar Biasa (ALB). Setelah dilantik menjadi anggota, ia juga termasuk Sikluser.
PLH SIKLUS ITS memiliki sebuah basecamp atau sekretariat yang biasa kami sebut ‘sekret’. Sekret kami terletak di lantai dua gedung M-Web Kampus ITS Surabaya. Lantai dua gedung M-Web terdiri dari tiga ruangan. Dua ruang yang terletak di ujung barat dan timur memiliki ukuran yang cukup luas. Ruangan di ujung barat digunakan untuk sekretariat Badan Eksekutif Mahasiswa ITS (BEM ITS), sedangkan ruangan di ujung timur digunakan untuk sekretariat Pramuka ITS. Di tengah kedua ruangan tersebut, ada satu lagi ruangan yang dua kali lebih luas. Ruang tengah ini disekat menjadi tiga bagian dengan luas yang sama besar untuk dijadikan sekretariat tiga Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), yaitu Resimen Mahasiswa (Menwa), Koperasi Mahasiswa (Kopma), dan PLH SIKLUS ITS. Sekretariat Kopma terletak di tengah antara sekretariat Menwa dan PLH SIKLUS ITS. Sekretariat Menwa terletak di dekat sekretariat BEM. Sedangkan sekret-nya para Sikluser terletak di dekat sekretariat Pramuka. Hubungan per-tetangga-an kami cukup harmonis lah, meskipun kadang-kadang agak terganggu dengan suara super berisik dari sekretariat Kopma. Yang paling menyebalkan adalah ketika ada seseorang yang ingak-inguk di depan sekret kami, lalu ketika ditanya ada perlu apa, dia menjawab, “mau ambil jas almamater”. Jas almamater adalah salah satu produk yang dijual oleh Kopma. Begitu juga ketika BEM mengadakan lomba, beberapa pendaftar biasanya akan kesasar di sekret kami. Yah, maklum sih, sekret kami memang terletak tepat di depan tangga, jadi hal pertama yang dilihat begitu sampai di lantai dua adalah pintu sekret kami. Hemm, tapi lama-lama sebel juga, sih, karena kejadian semacam ‘kesasar’ itu sangat sering terjadi. Kalau sudah kewalahan meladeni orang-orang yang kesasar itu, maka  kami akan membiarkan mereka berdiri ingak-inguk di depan pintu dan tidak akan menjawab pertanyaan mereka. Kami berpura-pura tidak melihat maupun mendengar mereka. Setelah bosan ber-ingak-inguk, mereka akan pergi dan mencari jalan yang benar. Hahaha. Salah sendiri tidak melihat stiker yang sudah kami tempel di samping pintu. Di sana, kan, sudah terpampang nyata (Syahrini mode on) gambar lambang dan nama organisasi PLH SIKLUS ITS. Yang paling menyenangkan adalah bertetangga dengan Pramuka. Kadang-kadang setelah berkegiatan, ketika ada makanan lebih, mereka akan menyetorkannya ke sekret kami. Hehe.
Sekret kami, selain menjadi prasarana dari PLH SIKLUS ITS, juga menjadi rumah kedua bagi kami. Ketika musim berkegiatan, sepertinya para anggota aktif lebih sering menginap di sekret daripada di kosnya masing-masing. Di sekret terdapat perlengkapan-perlengkapan yang bisa menunjang kehidupan sehari-hari kami. Di sana ada kompor, peralatan masak, peralatan makan, televisi, galon air, musholla kecil, meja, kursi, komputer, printer, bantal-bantal, karpet empuk, loker, buku-buku (kalau yang ini, sih, jarang diambil dari tempatnya), majig com, dan yang paling disukai adalah layanan wi-fi gratis selama 24 jam sehari. Kamar mandi? Jangan khawatir, di lantai 1 gedung M-web ada empat kamar mandi, masing-masing dua untuk ladies dan dua untuk gentleman. Tapi para gentleman lebih suka ber-ekspansi ke kamar mandi ladies. Aku juga tidak tahu mengapa, mungkin karena kamar mandi gentleman sangat jorok. Sebenarnya, sih, kamar mandi ladies juga tidak begitu bersih.
Selain perlengkapan untuk kehidupan sehari-hari, di sekret kami juga disimpan perlengkapan untuk berkegiatan di alam bebas, seperti tenda, tas carrier, nesting, berbagai jenis karabiner, berbagai jenis tali, dsb.

Sekret kami berukuran sekitar 7 x 5 m2. Antara sekret kami dengan sekretariat Kopma hanya dibatasi oleh sekat dari papan setinggi sekitar 130 cm, begitu juga dengan bagian depan sekret kami. Untuk bagian belakang dan bagian yang berbatasan dengan sekretariat Pramuka, langsung menempel ke dinding. Hemm, pusing, ya? Baiklah, begini denah gedung M-Web Lantai 2:

denah Gedung M-Web Lantai 2
Karena papan sekat yang pendek itu, orang-orang di luar area sekret bisa mengintip aktivitas kami di dalam. Untuk menjaga privasi aktivitas, maka kami menambah tinggi sekat dengan memasang gorden di atas papan sekat. Dengan demikian, sekat yang mengelilingi sekret kami bertambah tinggi menjadi dua meter, sehingga aktivitas kami di dalam sekret tidak bisa lagi diintip dari luar.
Area di dalam sekret kami dibagi menjadi enam bagian, yaitu ruang tamu, ruang tengah, ruang administrasi, ruang apa aja boleh, dapur super mini, dan musholla kecil. Nah, berikut ini denahnya:
denah Sekret
Ruang sekret sudah mengalami perombakan sebanyak tiga kali hingga saat ini, sebab pengurus akan selalu meningkatkan dan memperbaiki sarana dan prasarana milik PLH SIKLUS ITS. Denah di atas pun bisa berubah suatu saat nanti. Bahkan, lokasi sekret bisa juga berubah jika sudah mendapatkan sekret yang lebih nyaman dan aman.
Sebelum berlokasi di gedung M-Web lantai 2, sekret kami berada di ruang L-100 yang terletak di area kantin pusat Kampus ITS, bertetangga dengan BEM dan Kopma. Akan tetapi, pada tahun 2009 area kantin dirombak, sehingga sekretariat organisasi yang berada di area kantin dialihkan di gedung M-Web lantai 2. Kalau dibandingkan dengan kenyamanan dan keamanannya, sekret kami yang dulu jauh lebih nyaman dan aman daripada yang sekarang. Menurut kabar yang ada, sebenarnya sekret di gedung M-Web hanya bersifat sementara sebelum pihak kampus memberi lokasi yang lebih layak.
Setiap sikluser yang aktif pasti memiliki kenangan masing-masing di sekret. Aku sendiri memiliki banyak kenangan di sekret bersama Janet, Nurma, Norma, Zahroh, Faid, Haris, Arab, Gembel, Mbak Lusi, Mbak Senja, Mbak Matus, Mas Iteung, Bang Cipto, Putri, Meita, Sandi, Sulis, Ana Yuni, Bang Ochim, Anis, Bodro, Bonas, Martha, Muhim, Mas Dayat, Mas Iriel,... Saking banyaknya, aku sampai lupa harus menyebut siapa lagi. Hehe.
Sebenarnya di posting-an kali ini aku bermaksud menceritakan tentang kebersamaan kami. Tapi sepertinya kebersamaan itu tidak bisa dirangkum dalam satu tulisan. Aku ingin menceritakan setiap detail kebersamaan itu, hingga suatu saat nanti, ketika aku sudah tua, aku akan tersenyum mengingat kenangan yang pernah kami lalui bersama. Nantikan posting-an selanjutnya ya.. (ada gak ya, yang menantikan? hehe)

Selasa, 29 Januari 2013

Hewan Kecil "nggilani"


Salah satu sifat burukku adalah menunda-nunda pekerjaan yang sebenarnya bisa dilakukan saat itu juga. Misalnya waktu mengerjakan tugas kuliah, meskipun aku sedang luang dan bisa mengerjakannya saat itu juga, tetapi aku akan lebih memilih mengerjakannya tepat di malam sebelum besok dikumpulkan. Ada satu kejadian ‘nggilani’ akibat sifat burukku ini.
Waktu itu aku masih kuliah di semester 2, dan sedang menjalani pola pembinaan Anggota Muda (AM) di PLH SIKLUS ITS (baca di sini). Salah satu kegiatan dalam pola pembinaan itu adalah praktek gunung hutan yang diadakan di gunung Semar, Pundak, dan sekitarnya. Karena tidak memiliki tas carrier, aku meminjam ke salah seorang teman sesama AM XXI yang tidak mengikuti kegiatan tersebut. Sedangkan untuk peralatan naik gunung lainnya, seperti nesting (semacam panci bersusun untuk memasak saat berkegiatan outdoor), kompor portabel, parang, matras, tenda dan lainnya, aku meminjam ke divisi logistik PLH SIKLUS ITS.
Kegiatan praktek gunung hutan berlangsung selama beberapa hari. Sepulang dari kegiatan tersebut, rasanya seluruh badanku pegal-pegal. Akhirnya begitu sampai di kos (di semester 2 kuliah aku masih ngekos), seluruh perlengkapan naik gunung yang masih tersimpan di dalam carrier yang kubawa, kuletakkan begitu saja di depan kamar kos, tanpa dibongkar. Setelah itu aku langsung mandi, dan menidurkan diri di kasur yang empuk. Hemm, nikmatnya dunia, sampai-sampai aku lupa soal harus membongkar dan membersihkan isi carrier.
Berhari-hari selanjutnya, rutinitasku berjalan seperti biasa: kuliah, SIKLUS, dan kos.
Sebenarnya di PLH SIKLUS ITS ada divisi logistik yang bertugas mengawasi perpustakaan dan logistik kepunyaan PLH SIKLUS ITS. Tapi, entah mengapa waktu itu aku tidak menerima warning dari divisi logistik untuk segera mengembalikan barang-barang yang kupinjam untuk mengikuti praktek gunung hutan. Jadilah, selama berminggu-minggu carrier dan seluruh isinya masih berada di depan kamar kosku secara “kemproh”.
Pada akhirnya, si empunya carrier akhirnya mengingatkanku untuk segera mengembalikan carriernya karena akan dibawa pergi naik gunung. Dengan jantung dag-dig-dug dan perasaan was-was, aku membuka carrier itu. Aku khawatir akan menemukan hal-hal yang tidak ingin kutemukan, misalnya hewan-hewan kecil yang bergerak dengan perutnya, yang menggeliat-geliat super “nggilani”. Hrrr.
Well done! Carrier sudah berhasil kubuka. Datanglah saatnya untuk membongkar barang-barang yang sudah dipacking di dalam carrier sejak berminggu-minggu yang lalu. Mula-mula aku mengucapkan Bismillah. Lalu dengan jantung yang masih dag-dig-dug dan perasaan was-was serta khawatir akan menemukan hewan-hewan kecil yang bergerak dengan perut dan menggeliat “nggilani”, aku mulai mengambil satu-persatu barang dari dalam carrier.
Barang pertama kuambil dengan selamat tanpa menemukan satu pun hewan kecil yang bergerak dengan perut dan menggeliat “nggilani”. Barang kedua selamat. Begitu juga dengan barang keempat dan seterusnya hingga seluruh barang berhasil kuambil dari dalam carrier.
Setelah isi carrier kosong, saatnya mencuci seluruh barang yang sejak berminggu-minggu itu tidak tersentuh. Coba bayangkan baunya. Hemm, “harum” sekali.
Aku membuat larutan sabun di dua bak berukuran sedang. Bak pertama kugunakan untuk merendam carrier, jas hujan, dan sepatu. Bak kedua untuk merendam baju-baju. Warna baju-bajuku sudah tidak jelas lagi karena sudah tercampur dengan lumpur dan dibiarkan di dalam tas carrier selama berminggu-minggu. Selanjutnya, sambil menunggu waktu merendam, aku mulai membongkar nesting. Nah, di bagian ini lah yang paling membutuhkan nyali. FYI, aku paling “nggilani” kalau melihat hewan kecil yang bergerak dengan perut dan menggeliat “nggilani”.
Bismillahirrohmanirrohiim..
Aku membongkar nesting yang sebelumnya terbungkus dengan rapat. Ohya, entah mengapa (aku lupa alasannya), nesting yang sudah digunakan untuk memasak dan makan di tempat kami camping, tidak kami cuci terlebih dahulu sebelum dibungkus dan dibawa pulang. Hemm, mungkin saja karena di sekitar tempat kami camping waktu itu tidak ada mata air, jadi kami memutuskan untuk membawa pulang nesting tanpa dicuci. Rencananya, nesting dan semua barang perlengkapan praktek gunung hutan akan kami cuci setibanya kami di kampus. Namun kenyataannya, aku malah langsung pulang ke kos. Hehe.
satu set nesting
Nah, karena tidak dicuci dan terbungkus selama berminggu-minggu, maka aku yakin 100% bahwa makanan sisa yang menempel di dinding nesting pasti sudah membusuk dan sangat ‘harum’. Hemm, dan tentu saja aku sangat yakin sudah terbentuk “kerajaan” baru di dalam sana. Well, apapun konsekuensinya ya harus dihadapi. Aku harus bertanggung jawab atas kelalaianku. Hhh. Di saat-saat seperti ini aku sangat menyesalkan sifat burukku yang suka menunda-nunda pekerjaan. Kalau saja aku tidak menunda-nunda untuk segera membongkar dan mencuci barang-barang ini, tentu aku tidak perlu menemui “kerajaan” baru tersebut. Huff.
Okelah, dengan jantung yang berkali-kali lebih keras ber-dag-dig-dug, aku membuka bungkus nesting. Hmm, tiba-tiba aku punya ide. Untuk berjaga-jaga, agar tangan dan kakiku tidak menyentuh atau kecipratan apa pun yang ada di dalam nesting itu, aku harus mengenakan sarung tangan dan sepatu boots. Eh, tapi aku kan tidak punya sepatu boots. Ah, baiklah. Tiada rotan akar pun jadi, tiada sepatu boots, tas kresek pun jadi. Maka aku mengambil tas kresek yang cukup besar dan membungkuskannya pada kakiku. Sedangkan untuk sarung tangan, aku menggunakan sarung tangan yang cukup tebal dan panjang yang biasa digunakan untuk membersihkan WC. Untung saja di kosku sedang sepi karena musim liburan. Kalau tidak, pasti aku akan jadi bulan-bulanan. Teman-teman kosku pasti bilang, “ngakunya anak Mapala, tapi kok takut sama #SENSOR#”
Dan mereka pasti tertawa. Lalu aku terpojok. Meringkuk di sudut kamar sambil menyesali nasib. ~~~
Aaah. Untunglah mereka tidak tahu.
Nah, setelah peralatan perang sudah lengkap, aku mengambil dengklek atau bangku kecil yang biasanya digunakan untuk duduk sambil mencuci. Kami, para anak kos di Mintil Kingdom (begitu kami menyebut kos-kosan kami), membutuhkan dengklek untuk mencuci baju atau piring sebab tempat cuci kami bukan tempat cuci berdiri.  Aku berjongkok di atas dengklek, tentu saja kakiku kunaikkan ke atas dengklek, sekedar berjaga-jaga kalau-kalau isi nesting itu tumpah. Oke, posisiku sudah aman.
Perlahan-lahan aku membongkar nesting. Ohya, satu set nesting ini terdiri dari tiga panci berbentuk balok tanpa tutup dan dipacking secara bersusun sedemikian rupa untuk menghemat ruang. Benar saja. Di dalam ketiga panci nesting, aku menemukan “kerajaan” baru yang tumbuh dengan makmurnya. Bagaimana tidak, bahan makanan tersedia secara melimpah di sana. Para penghuni “kerajaan” tersebut gendut-gendut dan beranak pinak dengan suburnya karena mendapat asupan gizi yang sangat banyak dari makanan di dalam nesting. Sumpah “nggilani” bener! Hewan-hewan kecil yang bergerak dengan perut itu terus menggeliat-geliat secara “nggilani”.
Aaaah!! Rasanya aku ingin berteriak saat itu juga, tetapi aku harus menahan diri demi harga diriku. Jangan sampai ada yang datang kemari karena mendengar teriakanku dan memergokiku sedang berjuang melawan “kerajaan” baru itu dengan wajah membiru karena ketakutan sekaligus “nggilani”. Aku males banget kalau ada yang menudingku sambil bilang, “anak mapala kok takut sama #SENSOR#”. Hrr, please deh, ya, memangnya anak mapala nggak boleh ya takut atau merasa “nggilani” sama hewan-hewan yang “nggilani” begitu?
Sampai mana tadi? Ohya, setelah berhasil membongkar nesting, aku mengambil baskom, mengisinya dengan air secukupnya dan menambahkan beberapa genggam sabun cuci bubuk. Aku mau memusnahkan “kerajaan” itu dengan larutan sabun. Biar mereka mati seketika. Salah sendiri kenapa membentuk “kerajaan” di tempat yang salah! Dengan geram, aku menuangkan larutan sabun yang kental itu ke masing-masing panci nesting. Selanjutnya, kudiamkan dulu ketiga panci nesting itu agar larutan sabun bisa menghancurkan “kerajaan” dengan sukses tak bersisa.
Aku beralih kepada baju, jas hujan, sepatu, dan carrier. Untung lah, aku tidak menemukan sama sekali hewan-hewan yang bergerak dengan perut dan menggeliat “nggilani” di sana. Setelah beres, aku menyadari sesuatu, bahwa ternyata carrier nya berbau kurang sedap. Hemm. Karena aku orang yang cerdas (kata gue sendiri sih yaa, haha), maka aku merendam carrier itu di dalam pewangi pakaian (sebenarnya tindakan ini bisa dibilang cerdas gak ya? hemm ~~~).
Setelah itu, aku beralih lagi pada ketiga panci nesting yang sudah berubah menjadi habitat “kerajaan”. Sepertinya tidak ada yang berubah dengan larutan sabun di dalam panci nesting. Warnanya tetap putih. Tidak ada warna merah darah atau warna lainnya. Juga tidak ada mayat-mayat yang mengambang di permukaan larutan. Jangan-jangan “kerajaan” itu masih bisa bertahan di dalam larutan sabun? Aduuuh.
Ah tidak peduli lah! Yang penting pekerjaan ini cepat selesai. Aku mengambil batang lidi yang cukup kuat untuk mengaduk isi panci nesting. Lalu, sambil menutup mata, aku menumpahkan isi nesting (larutan sabun + “kerajaan”) ke tempat pembuangan air.  Setelah membuang seluruh isinya, aku membuka mata, dan... Huff. Untunglah, seluruh penghuni “kerajaan” itu sudah musnah tak bersisa. Yang tersisa hanya sisa makanan yang sudah membusuk dan menempel keras di dinding nesting. Ah, kalau makanan busuk begini sih gak masalah. Hehe. Dengan bantuan pisau dan sabun cuci piring, beberapa menit kemudian, aku berhasil membuat nesting itu kinclong kembali. Akhirnyaaa.. Badai telah berlalu.
Kejadian tersebut adalah pelajaran berharga. Sejak saat itu, setiap pulang dari kegiatan outdoor, aku akan segera membongkar dan mencuci seluruh perlengkapan yang sudah digunakan agar tidak lagi mendapati “kerajaan” seperti yang kuceritakan barusan. Aku juga berjanji harus membuang jauh-jauh sifat burukku yang suka menunda-nunda pekerjaan. Sekarang sudah mendingan sih, tapi masih ada sedikit. Iya, sedikit. Hmm... Oh, baiklah, aku masih suka bekerja mepet deadline. Hemmm. Sepertinya aku butuh terapi khusus untuk menghilangkan sifat burukku yang satu ini.. ~~~


NB:
1. “nggilani” adalah bahasa Jawa yang berarti jijik.
2. Hewan-hewan kecil yang bergerak dengan perut dan menggeliat “nggilani” itu adalah belat#ng. Tahu, kan maksudku? Itu lho, hewan yang suka ada di tempat sampah basah.
3. Bagian yang kena #SENSOR# itu karena aku sedang berusaha untuk menyebut hewan-hewan kecil yang bergerak dengan perut dan menggeliat “nggilani”, seperti belat#ng, c#c#ng, ul#t, lint#h, dan hewan-hewan sejenis lainnya.

Senin, 28 Januari 2013

Diklatsar PLH SIKLUS ITS



Sekarang ini PLH SIKLUS ITS sedang menggelar acara pendidikan dan latihan dasar XXV (Diklatsar XXV). Seperti yang sudah pernah kuceritakan, diklatsar PLH SIKLUS ITS terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah diklat forum dan praktek, sedangkan tahap kedua adalah diklat lapangan. Yang sedang berlangsung sekarang adalah diklat lapangan yang diadakan pada tanggal 26-30 Januari 2013 di Trawas, Mojokerto. Sedangkan diklat forum dan praktek sudah dilaksanakan pada tanggal 13-16 Januari 2013.
Hemm, sepertinya ada yang belum mengerti soal PLH SIKLUS ITS ini ya? Okelah, I will tell you here if then. PLH SIKLUS ITS (Pencinta Lingkungan Hidup SIKLUS ITS) adalah salah satu unit kegiatan mahasiswa (UKM) di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). UKM ini bergerak dalam bidang konservasi lingkungan dan identik dengan mapala (mahasiswa pencinta alam). Untuk menjadi anggotanya, setiap calon anggota harus mengikuti serangkaian diklatsar yang terdiri dari dua tahap seperti yang kusebutkan di atas. Ada tiga status keanggotan di PLH SIKLUS ITS, yaitu anggota muda (AM), anggota penuh (AP), dan anggota luar biasa (ALB). AM adalah anggota baru yang sudah dinyatakan lolos diklatsar. Setelah lolos diklatsar, maka AM harus mengikuti pola pembinaan agar bisa diangkat menjadi AP. Pola pembinaan merupakan serangkaian kegiatan yang disusun oleh divisi pendidikan dan latihan (Diklat) selama satu tahun kepengurusan. Selama mengikuti pola pembinaan, divisi diklat akan menilai AM yang bersangkutan apakah dia sudah layak diangkat menjadi AP atau belum. Penilaian dilakukan dengan mempertimbangkan keaktifan, kemampuan, keloyalan, dan beberapa parameter lainnya. AM yang sudah dirasa cukup dan layak, akan diangkat menjadi AP dan dipersilahkan untuk mengabdikan dirinya dengan menjadi pengurus di PLH SIKLUS ITS. Namun, jika AM dirasa belum cukup dan layak menjadi AP, maka dia diperbolehkan mengikuti pola pembinaan di tahun selanjutnya. Status AP akan berakhir setelah AP yang bersangkutan sudah get out dari kampus, baik dengan cara terhormat (lulus kuliah) maupun tidak terhormat (misalnya drop out). Status AP tersebut akan berganti menjadi ALB yang akan terus berlaku selamanya, sampai orang yang bersangkutan meninggal dunia.
Sampai sekarang, aku sudah mengikuti diklatsar PLH SIKLUS ITS lima kali, yaitu pada tahun 2009 sebagai peserta, tahun 2010 sebagai panitia, tahun 2011 sebagai AP (instruktur), tahun 2012 sebagai komisi disiplin, tahun 2013 sebagai AP (instruktur). Di masing-masing tahun, tentu saja ada cerita. Hemm, tetapi jangan harap aku akan menceritakan proses diklatsar PLH SIKLUS ITS. Kalau mau tahu, ayo segera daftar saja jadi anggota PLH SIKLUS ITS. Tapi syaratnya harus menjadi mahasiswa ITS dulu yaa. Hehe.
Pada tahun 2009, diklatsar PLH SIKLUS ITS meloloskan 29 orang sebagai AM angkatan diklat XXI, salah satunya aku. Setelah mengikuti diklatsar, kami ber-29 mengikuti pola pembinaan. Waktu itu, pola pembinaan dimulai dengan menjadi panitia dies natalis PLH SIKLUS ITS ke-21. Di sini lah saatnya kami ber-29 saling mengenal dan memahami karakter masing-masing. Sayangnya, tidak semua dari ke-29 orang tersebut aktif dalam kegiatan ini. Mungkin hampir separuh yang tidak aktif. Angkatanku (angkatan XXI) benar-benar terseleksi dengan sendirinya. Entahlah, mungkin karena mereka tidak sejalan dengan visi dan misi PLH SIKLUS ITS.
Setelah dies natalis PLH SIKLUS ITS ke-21 usai, pola pembinaan dilanjutkan dengan kegiatan LANDAKS XXI (Latihan Dasar Kepemimpinan PLH SIKLUS ITS XXI). LANDAKS dilakukan di sebuah rumah peristirahatan yang cukup jauh dari keramaian. Selama LANDAKS, kami (para peserta) mendapat banyak pengetahuan baru seputar PLH SIKLUS ITS dan ilmu manajemen organisasi dan kegiatan. Di suatu sesi saat LANDAKS, kami dilatih untuk melakukan wawancara dan mencari informasi tentang lingkungan hidup di desa Sajen, desa tempat kami melaksanakan LANDAKS XXI. Di akhir kegiatan LANDAKS, ada ujian akhir yang akan menentukan lulus tidaknya peserta. Kelulusan LANDAKS ini penting demi peniliaian dalam pola pembinaan. Nilaiku? Tentu saja. Lulus. Tapi mepet. Hasil pembulatan pula. Hahaha. Nilai minimal untuk dapat lulus LANDAKS waktu itu kalau tidak salah 70, sedangkan nilaiku adalah enam-puluh-sembilan-koma-sekian yang kalau dibulatkan hasilnya menjadi 70. Hehehe.
Seusai LANDAKS, pola pembinaan dilanjutkan dengan kegiatan latihan ke-pencinta-alam-an yaitu panjat tebing, gunung hutan (navigasi darat dan analisa vegetasi), dan arung jeram. Goal dari kegiatan latihan tersebut adalah praktek di tempat sebenarnya. Dari ketiga kegiatan tersebut, aku mengikuti kegiatan latihan dan praktek gunung hutan yang saat itu diadakan di gunung Semar, Pundak, dan sekitarnya. Kalau penasaran di mana gunung Semar dan Pundak, silakan tanya ke mbah google aja yaa. Yang jelas, gunung-gunung itu berada di provinsi Jawa Timur.
Setelah mendapat ilmu dan pengetahuan dari LANDAKS dan kegiatan ke-pencinta-alam-an, AM angkatan XXI diharuskan mengadakan kegiatan sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat. Kegiatan tersebut disebut Bakti Lingkungan XXI. Sebelum akhirnya memutuskan kegiatan apa yang akan dilakukan, kami mengadakan rapat berkali-kali dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya. Bukan tanpa alasan. Kami ingin kegiatan yang kami adakan nantinya akan memberi manfaat bagi masyarakat dan lingkungan. Setelah rapat berkali-kali, perombakan rencana berkali-kali, dan survey berkali-kali, maka kami memutuskan mengadakan kegiatan dengan tajuk “Bakti Lingkungan XXI: Semarak Bakau Bermanfaat” atau yang disingkat menjadi SBB. Kegiatan tersebut diadakan di desa Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Desa Brondong dipilih sebagai lokasi kegiatan SBB sebab di daerah tersebut banyak tumbuh pohon bakau.
Kegiatan SBB berupa workshop tentang pemanfaatan bakau yang diikuti oleh warga desa Brondong dan sekitarnya. Workshop diberikan oleh pemateri dari AM angkatan XXI dan Pak Soni. Pak Soni adalah seorang pakar mangrove (pohon bakau) dari Wonorejo, Surabaya, yang cukup terkenal. Sekarang ini Wonorejo sudah dijadikan menjadi ecowisata mangrove. Ohya, pemateri dari AM angkatan XXI yang mengisi workshop sebelumnya juga sudah belajar dari Pak Soni. Hehe.
Dalam workshop tersebut, diuraikan berbagai macam manfaat pohon bakau, baik dari segi alam maupun komersil. Pohon bakau merupakan jenis pohon yang tumbuh di tepian perairan, sehingga dapat mencegah abrasi. Pohon bakau juga memiliki serapan karbon yang cukup tinggi. Selain itu, akar-akar pohon bakau yang terendam di air juga bisa menjadi ekosistem dari makhluk hidup yang tinggal di perairan tersebut, seperti rajungan, udang, kerang, kepiting dan ikan-ikan kecil. Sedangkan dari segi komersil, ternyata buah pohon bakau bisa diolah menjadi berbagai macam makanan. Ada jenis pohon bakau yang buahnya bisa diolah menjadi pengganti beras, tepung untuk membuat kue, dan minuman berasa (sirup). Ada juga buah pohon bakau yang bisa dijadikan bahan baku dalam produksi biosolar. Pernah membaca postinganku sebelum ini yang berjudul Empat Setengah Tahun Kuliah? Di postingan tersebut aku menceritakan bahwa aku mengambil TA dengan judul “Pemanfaatan Kulit Telur Ayam dan Abu Layang Batubara sebagai Katalis Heterogen dalam Reaksi Transesterifikasi Minyak Nyamplung (Calophyllum Inophyllum Linn)”. Pohon Nyamplung tersebut juga merupakan asosiasi dari pohon bakau.
Di balik kesuksesan kegiatan SBB (iya dong, sukses!), ada satu musibah yang mengakibatkan Sulis (ingat Sulis? Dia salah satu personil di Goes to Jember) patah tulang di tangan kanannya. Satu bulan sebelum hari-H, beberapa orang panitia melakukan survey ke tempat yang akan dijadikan  lokasi kegiatan. Aku tidak ikut pergi survey saat itu. Mereka pergi dengan sepeda motor. Di tengah perjalanan ke Lamongan, motor yang dikendarai oleh salah satu panitia berhenti mendadak, sehingga motor lain yang juga dikendarai oleh panitia di belakangnya menabrak motor yang berhenti mendadak tersebut. Karena kecelakaan tersebut, dua motor harus masuk bengkel dan tiga orang panitia luka-luka. Dua orang lainnya luka ringan, dan satu orang lagi (Sulis) mengalami patah tulang di tangan kanan.
Karena cedera tersebut, Sulis jadi seperti semacam peliharaan. Hehe. Bagaimana tidak, dia tidak bisa keluar kos, dan selalu disuapi kalau makan. Hikz :’(
Untung saja Sulis termasuk cewek yang mandiri dan kuat. Dia segera sembuh dan bisa kembali membantu persiapan kegiatan SBB meskipun tangannya dibalut perban.
Setelah kegiatan SBB selesai, kami mendapat tantangan dari salah satu ALB untuk menyelesaikan  Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) maksimal tiga hari setelah kegiatan usai. ALB yang bersangkutan berjanji akan menambah dana kegiatan sebesar Rp 1.000.000,00 jika kami bisa menepati tantangannya. Alhamdulillah, buku LPJ setebal hampir 3 cm tersebut selesai juga dalam tiga hari, tepat pada pukul 00.00. Hehehe.
Sumber dana kami untuk melakukan kegiatan SBB berasal dari kampus, bantuan PLH SIKLUS ITS, sponsor dari PT SIER dan Lily Bakery, serta hasil menjual barang-barang bekas milik panitia. Setelah dijumlahkan semua, ternyata masih ada selisih negatif dengan rencana anggaran dana yang kami buat. Oleh karena itu, uang Rp 1.000.000,00 tersebut sangat bernilai bagi kami. Kenyataanya, masih ada sisa saldo dari keseluruhan biaya tersebut.
Selama proses kegiatan SBB, dari pra sampai pasca hari-H, AM angkatan XXI banyak yang mutung alias menghilang dari PLH SIKLUS ITS. Yaa, setiap orang pasti memiliki prioritasnya masing-masing, apalagi kami berstatus mahasiswa. Persiapan kegiatan SBB itu pun banyak memakan waktu.
Setelah kegiatan SBB, berakhirlah rangakaian kegiatan pola pembinaan. Tetapi, penilaian masih dilakukan sampai menunggu waktu yang tepat untuk mengangkat AM menjadi AP. Penilaian dilakukan dengan melihat keaktifan dan kecakapan serta keloyalan AM dalam berbagai kegiatan PLH SIKLUS ITS. Kegiatan paling terakhir sebelum aku diangkat menjadi AP adalah diklatsar XXII PLH SIKLUS ITS pada tahun 2010.
Pada diklatsar XXII tahun 2010, aku dan teman-teman seangkatan ikut serta sebagai panitia. Di hari terakhir diklatsar XXII, panitia mendapat kejutan. Hemm, bukan kejutan, sebenarnya aku sudah menduganya sih. Di hari terakhir itu, kami, para panitia, mendapat instruksi dari para AP dan ALB untuk melakukan susur sungai untuk mencari sesuatu. Susur sungai yang ini bukan menggunakan perahu, tetapi langsung nyemplung ke dalam sungai yang airnya luar biasa dingin. Brrrr. Kami melakukan susur sungai sampai di suatu tempat di dekat air terjun. Dan di air terjun itu lah, kami dilantik menjadi AP. Tidak semua dari kami dilantik menjadi AP. Ada beberapa orang teman yang belum bisa dilantik, sebab menurut peniliaian, mereka masih belum layak. Dari ke-29 orang angkatan XXI, yang dilantik menjadi AP saat itu adalah 18 orang.
Persaaanku saat itu? Campur aduk, tapi yang terutama adalah terharu. Aku sempat menangis waktu proses pelantikan. Lebay yah gue? Hehe.
Sebenarnya sih, aku belum merasa layak dilantik menjadi AP. Dari segi softskill maupun hardskill, sepertinya aku belum bisa apa-apa. Tapi para AP dan ALB memiliki penilaian lain. Rupanya bukan hanya hardskill dan softskill yang dibutuhkan, tetapi juga loyalitas. Hardskill dan softskill adalah hal yang penting, tetapi tanpa loyalitas terhadap PLH SIKLUS ITS, mereka tidak akan bisa bertahan. Sedangkan hardskill dan softskill bisa dipelajari kapan pun.
Beberapa hari setelah pelantikan AP, namaku muncul di SK Ketua Umum yang menjelaskan bahwa nama-nama yang tertera telah menjadi pengurus PLH SIKLUS ITS. Aku ditugaskan untuk membantu di divisi Hubungan Masyarakat (Humas), seperti jabatanku sebelumnya di HIMKA (Himpunan Mahasiswa Kimia).
***
PLH SIKLUS ITS telah memberi banyak hal untukku: Saudara baru, pengetahuan baru, pengalaman baru. PLH SIKLUS ITS juga mengajarkan tentang berbagi, bersaudara, memberi, membantu, mandiri, kebijaksanaan, keteguhan, ketangguhan, loyalitas, dan keberanian. Terimakasih PLH SIKLUS ITS...
Hari Sabtu dan Minggu kemarin, aku sempat datang ke lokasi Diklatsar XXV PLH SIKLUS ITS. Semoga Diklatsar XXV bisa melahirkan ranger-ranger PLH SIKLUS ITS yang tangguh, berani, dan yang paling penting loyal terhadap PLH SIKLUS ITS. Salam Lestari!

Sabtu, 26 Januari 2013

Me in A Wonderful Land



Sejak kecil, aku selalu berkeinginan menciptakan ceritaku sendiri dalam berlembar-lembar kertas. Bukan untuk apapun, selain hanya untuk membebaskan imajinasi masa kecil. Dulu, hal yang paling menyenangkan adalah ketika pikiranku tidak lagi berada di tempatnya. Pikiranku melayang, berlari-lari dan menari menembus dunia yang begitu luas. Pikiranku bebas saat aku menghadapi kertas. Sungguh sebuah masa kecil yang indah.
Aku pernah menulis tentang dunia dimana doraemon nyata, power rangers selalu siaga, sihir bisa dipelajari dengan wajar, si minky momo bepergian ke Indonesia,  sailormoon mencari anggota baru dan si putri duyung selalu berhati-hati terkena air hujan. Kini cerita-cerita masa kecil itu hilang ditelan oleh bisingnya dunia. Hiruk pikuk doktrin yang mendera pikiran, sehingga sanggup mencederai imajinasi masa kecil.
Bagi masa kecilku, berada dalam duniaku sendiri sungguh sangat menyenangkan. Mungkin itu salah satu bentuk autis, atau bisa jadi masa kecilku telah memahami bahwa mendapati dunia yang diinginkan adalah hal yang menyenangkan, paling menyenangkan. Ya, tentu saja, bagi setiap orang. Sebab dunia yang diinginkan oleh setiap orang selalu berbeda, sehingga dunia ini penuh dengan warna dan perbedaan. Akhirnya aku dan setiap orang pun tumbuh bersama doktrin dan kesepakatan. Pikiran kami terikat, dan hanya beberapa yang mampu membebaskan dirinya, keluar dari area doktrin dan berpikir di luar area.
Saat menghadapi kertas, seharusnya kita percaya, bahwa dunia yang akan kita ciptakan dalam kertas itu, nasibnya berada di tangan kita. Apakah akan menjadi dunia yang abu-abu, hitam putih, penuh dengan doktrin, bebas dari kontaminasi atau bagaimana pun, semuanya hanya terserah kita. Setiap dari kita bisa membebaskan pikirannya dari doktrin, berlari dari area itu, dan melayang-layang bersama imajinasi. Hanya melalui selembar kertas.
Beberapa orang dengan skeptis berkata, “apa gunanya berimajinasi tanpa bisa mewujudkannya?”. Ingatkah, bahwa imajinasi Da Vinci dalam selembar kanvasnya akhirnya meringankan kita bepergian jauh hingga ke luar negeri tanpa melewati laut?
Sebetulnya, aku berharap aku akan segera bebas, karena aku pun belum bebas, sama sekali belum. Menjadi orang yang bebas, menjadi hijau di tengah-tengah kelabu. Menjadi bulat di tengah-tengah kubus. Hari ini adalah titik, awal di mana kebebasan itu mencoba meraih kedudukannya. Semoga saja, Aamiin.

DINDA



Aku menatap jauh ke dalam matanya. Sudah beribu detik kami habiskan di tempat ini. Hanya duduk berhadapan, dan mencoba saling memahami, walau dalam diam.
Dia mengalihkan pandangannya. Dia menengadah ke langit. Sambil tersenyum, dia menunjuk bulan, seakan berkata, “hanya ada satu bulan yang mengelilingi bumi, hanya ada satu bulan yang selalu setia mendampingi bumi, hanya ada satu bulan yang tidak pernah lelah membantu bumi menjadi lebih bercahaya kala malam.”
Beberapa titik air mata membasahi kelopak matanya. Sepasang mata itu sungguh tidak pernah lelah melihatku dari sisi yang berbeda, yang tidak pernah dilihat oleh orang lain. Kuperintahkan ibu jariku untuk mengusap air mata itu. Hatiku nyeri melihat dia menangis.
Dia melanjutkan dialognya tentang bulan, melalui sepasang matanya, sementara bibirnya masih terkatup rapat, “hanya ada satu bulan, dan hanya ada satu aku, yang tidak pernah lelah menerangimu.”
Dia menatap mataku, membuka jendela hatiku, dan memasuki ruang hatiku. Hanya dia yang bisa mengerti, apa yang kupertanyakan. Sungguh tidak ada orang lain lagi, yang bisa memahamiku melalui sepasang mata, tanpa kata.
Sinar matanya terus menerobos lorong-lorong di hatiku, menemukan satu titik, dan menguak satu pertanyaan, “mengapa?”
Matanya basah oleh air mata, namun sinar matanya tetap kuat, dan menuntut jawaban atas pertanyaan yang sama, “mengapa?”
Mataku pun basah oleh butiran air mata. Hari itu Dinda barus aja bertemu dengan Ibuku. Pertemuan itu berakhir dengan kemarahan Ibu yang tidak mau menerima Dinda dengan keadaannya yang sekarang.
***
Terkadang, kita tidak bisa mendapatkan apa yang kita inginkan, sebab Tuhan memberikan apa yang sebenarnya kita butuhkan, bukan yang kita inginkan.
Aku membaca tulisan tangan Dinda yang rapih. Gadis itu baru saja memperlihatkan salah satu karyanya padaku, sebuah cerita pendek. Dinda ingin menjadi penulis.
“Mengapa?” tanyaku.
Dinda tersenyum, lalu menulis:
Karena Dinda hanya bisa bercerita melalui tulisan. Dinda akan menulis fiksi, karena melalui fiksi, Dinda bisa menceritakan sebuah dunia yang sempurna, dunia yang Dinda impikan.
“Dunia seperti apa yang Dinda inginkan?”
Dinda hanya tersenyum sambil mengangkat bahunya, menyimpan jawaban untuk dirinya sendiri. Aku membelai rambutnya yang tergerai, lalu Dinda menyandarkan kepalanya di bahuku. Sore itu sungguh indah.
***
Hari itu masih hari yang biasa, masih panas dan jalanan masih sibuk. Namun pagi itu, dalam perjalananku menuju kantor, ada satu kejadian yang merupakan permulaan dari kisah ini. Di tengah-tengah sibuknya jalanan, pandanganku secara tidak sengaja tertuju pada sesosok gadis di taman di seberang sana. Gadis itu berkulit putih, berambut hitam panjang, sepertinya keturunan China atau Jepang. Dia berbalut dress berwarna putih. Dia cantik, tapi bukan itu yang membuat pandanganku terus tertuju padanya hingga aku menoleh ke belakang setelah mobilku melewatinya --untung saja Pak Man yang menyetir mobil saat itu. Aku terpukau pada gadis itu, karena saat itu dia sedang menyuapi seorang kakek, yang tampaknya tuna netra. Aku sangat ingin mengenalnya.
Karena mobil kami sudah melewati taman tempat gadis itu berada, aku meminta Pak Man berbalik untuk menghampiri gadis itu. Pak Man kemudian berbelok dan berputar balik untuk kembali ke taman tempat gadis itu berada. Sampai di taman itu, kulihat si gadis sudah tidak ada, hanya ada si kakek tuna netra yang tadi disuapi oleh si gadis. Karena aku betul-betul ingin mengenalnya, aku pun turun dari mobil untuk menanyakan si gadis pada kakek itu.
“Permisi, Kek,” sapaku.
“Ya, nak?” jawab kakek itu sambil tersenyum.
“Saya lihat tadi Kakek disuapi oleh seorang gadis,” kataku, “kalau boleh, saya ingin mengenal dia.”
Kakek itu diam saja, tapi masih tersenyum. Sesaat aku mengira dia tidak mendengar kalimatku tadi. Tapi kemudian, kakek itu berkata, “Dia gadis yang cantik, ya?”
“Mmm, sebenarnya saya ingin mengenalnya bukan karena itu, tapi dia memang cantik.,” jawabku seadanya.
“Meskipun tidak bisa melihat, tapi Kakek yakin dia pasti seorang gadis yang sangat cantik.”
“Kakek tahu siapa dia?” tanyaku. Aku tidak bertanya apakah gadis itu cucunya, karena aku tahu pasti bukan. Kakek ini sama sekali tidak mirip dengan gadis itu.
Kakek itu tersenyum lagi, lalu menggelengkan kepalanya, dan menjawab, “Setiap pagi gadis itu datang kemari untuk menyuapi kakek. Tapi dia sama sekali tidak pernah berbicara pada kakek. Setiap kali kakek bertanya pun, dia tidak pernah menjawabnya.”
“Kenapa begitu, Kek?” tanyaku lagi. Saat itu, datang seorang anak laki-laki berwajah garang. Tampaknya dia adalah cucu kakek ini.
“Siapa kamu?” tanyanya.
“Jangan jahat begitu, kakak ini hanya ingin mengenal gadis yang setiap pagi membawakan makanan buat kita,” kata Kakek.
“Kami juga tidak tahu siapa dia, dia selalu diam, tidak pernah menjawab pertanyaan kami,” kata cucu kakek.
“Kenapa begitu?” pertanyaan yang sama seperti yang kulontarkan pada Kakek.
“Aku juga tidak tahu, tapi aku pernah membuntutinya dan aku lihat dia masuk ke rumah di ujung jalan sana, rumah berpagar hijau yang halamannya penuh dengan tanaman.”
“Terimakasih,” kataku singkat. Aku ingin secepatnya bertemu dengan gadis itu. Setelah berpamitan dan memberi beberapa lembar uang seratus ribuan, yang diterima dengan senang hati oleh si cucu, aku pun pergi untuk mencari rumah gadis itu.
***
Terlepas dari semuanya, aku sangat menyukai karya-karya Dinda. Tulisannya begitu mengalir dan apa adanya. Konflik yang dia buat dalam tulisannya adalah konflik sehari-hari yang sering terjadi dalam kehidupan. Tapi dia menulisnya dengan berbeda. Entahlah, hanya berbeda dari yang pernah ditulis oleh orang lain. Ini bukan pendapat subjektif, tetapi sangat objektif. Aku bahkan pernah memperlihatkan tulisan Dinda pada Ibuku yang sangat suka membaca. Ibu bilang tulisan Dinda memang bagus, dan Ibu sangat menyukainya.
“Kamu mengenal penulisnya?” tanya Ibu saat itu.
Aku tersenyum, mengangguk, lalu menjawab, “Dia seorang gadis, yang sangat cantik.”
“Hmm, sepertinya kamu bukan hanya berteman dengannya,” kata Ibu menggodaku, “kalau begitu, bawa dia ke rumah. Ibu ingin mengenal gadis yang telah merebut hati Ibu dengan tulisannya, dan yang telah merebut hati anak Ibu dengan kecantikannya.”
Aku sangat bahagia mendengarnya. Memperkenalkan Dinda pada Ibu adalah hal yang paling kuinginkan saat itu. Aku mengiyakan permintaan Ibu. Sepanjang hari itu kuhabiskan sambil tersenyum membayangkan pertemuan Dinda dengan Ibu. Dinda juga pasti sangat senang mendengarnya, sudah lama dia merindukan sosok Ibu yang telah lama meninggalkannya.
***
Mawar merah itu tampak kontras dengan kulit Dinda yang putih. Dia semakin cantik dengan bunga mawar yang kusematkan di telinganya. Dia tersenyum malu, lalu melepas bunga itu dan menyematkannya ke telingaku. Dia tertawa melihat hasil perbuatannya. Tawanya begitu keras dan lepas, tapi tetap saja hening. Yang terdengar hanya suara tawaku.
Selanjutnya, kami hanya menghabiskan sore itu dengan diam. Sesekali sambil berpandangan dan tersenyum. Tapi saat-saat itulah yang paling membahagiakan dalam hari-hariku. Setiap hari aku mendapat tekanan kerja di kantor, rasanya sangat penat dan melelahkan. Namun, begitu bertemu Dinda, semua kepenatan dan rasa lelah itu mencair, pergi entah kemana. Lalu rasa penat dan lelah itu digantikan oleh aliran angin yang sejuk dan menenangkan.
Sejak perkenalan kami, Dinda telah menjadi rutinitas sehari-hariku. Setiap sore, setelah jam kantor usai, aku meminta Pak Man mengantarku ke rumah Dinda. Lalu aku memohon ijin pada Bibi Dinda untuk membawa Dinda pergi. Aku meminta Pak Man untuk tinggal di rumah Dinda. Sikapku memang sangat kekanakan saat itu, karena harus melibatkan Pak Man, tapi inilah yang bisa kulakukan agar Bibi Dinda mempercayaiku.
Aku dan Dinda pergi berjalan kaki ke pantai yang letaknya tidak jauh dari rumah Dinda. Pantai itu sangat indah, pasirnya halus dan menyenangkan saat tersentuh kaki. Lembayung senjanya sangat menkajubkan, apalagi sunset-nya. Semuanya sangat indah. Terlebih lagi dengan adanya Dinda seperti sekarang ini.
Pernah suatu kali kami ketiduran di pantai ini, dan mendapati betapa indahnya malam di pantai itu. Karena kami terlentang begitu saja di atas pasir pantai ini, begitu membuka mata, kami langsung melihat bintang-bintang di langit. Pantai ini begitu berbeda dari kota tempatku tinggal, seperti sisi lain dari kotaku. Begitu juga dengan Dinda yang menjadi sisi lain dalam hidupku. Dinda adalah penyejuk dalam hidupku yang penat.
***
Pertemuan Ibu dengan Dinda ternyata sama sekali berbeda dengan yang kubayangkan. Ibu sangat marah setelah mengetahui keadaan Dinda yang sebenarnya. Bahkan, pendapat Ibu tentang tulisan Dinda langsung berubah.
“Tulisan apa ini, hanya mengangkat tema-tema kecil yang sudah sering terjadi, jalan ceritanya pun gampang ditebak. Cerita yang sangat buruk!” kata Ibu saat itu, lalu dia memasuki kamarnya, dan tidak mau keluar sampai Dinda pulang.
Dinda menangis saat perjalanan pulang ke rumahnya. Aku membawanya ke pantai yang biasa, lalu menenangkannya disana.
***
Seminggu setelah pertemuan Ibu dengan Dinda, Ibu mengumumkan kepada semua orang di rumah kami, bahwa dua bulan lagi aku akan menikah dengan gadis pilihan Ibu.
“Gadis ini bernama Anisa. Dia lebih cantik dari gadis bisu itu, dan tentu saja normal,” kata Ibu sambil menunjukkan foto Anisa padaku. Aku tidak mempedulikan foto itu, aku sangat marah karena Ibu telah menyebut Dinda ‘gadis bisu’. Aku tidak ingin menjadi anak durhaka dengan membentak-bentak Ibu, maka dengan diam dan marah, aku pergi dari rumah. Aku mengambil kunci mobil, dan pergi tanpa Pak Man.
***
Dalam kemarahanku, aku benar-benar lupa bahwa aku trauma mengemudikan mobil yang membuatku selalu diantarkan Pak Man kemana pun aku pergi. Dua tahun yang lalu, aku masih baik-baik saja mengemudikan mobil, sampai akhirnya mobil yang kukemudikan mengalami kecelakaan dan kakakku meninggal dunia karenanya.
Setelah berhenti di lampu merah pertama, aku mengingat trauma itu. Aku ingin berhenti, tapi kendaraan lain di belakangku sudah ramai memperingatkanku dengan bunyi bel yang memekakkan telinga. Dengan keberanian yang sangat tipis, aku melajukan mobil dengan pelan. Sekitar lima menit kemudian, traumaku benar-benar kembali, tanganku menjadi kaku, dan aku tidak bisa mengemudikan mobil dengan benar. Mobilku oleng, dan menabrak mobil lain. Semua terjadi begitu cepat. Aku merasakan tubuhku terguling-guling bersama mobil, sampai semuanya menjadi gelap.
***
Tubuhku sakit. Semuanya sakit. Aku mencoba membuka mataku, tapi tidak bisa. Aku mencobanya lagi, dan samar-samar kulihat ruangan serba putih. Segera saja aku mengingat kecelakaan yang menimpaku tadi. Rupanya aku masih hidup, dan sekarang berada di rumah sakit. Pandanganku semakin jelas, ketika Ibu memasuki ruangan dan mendapatiku sudah sadar.
“Oh, Dimas, kamu sudah sadar, Nak?” kata Ibuku sambil menangis, “kamu tahu, Ibu sangat khawatir menungguimu selama lima hari.”
“Lima hari?” tanyaku lemah.
“Kamu telah tidak sadar selama lima hari, dan Ibu sangat bersyukur kamu bisa sadar hari ini.” kata Ibu masih menangis, “Maafkan Ibu, Nak. Ibu terlalu egois karena tidak mau menerima Dinda yang amat kamu cintai.”
Aku diam saja. Aku masih sangat marah dengan Ibu.
“Ibu tidak akan melarangmu bertemu dengan Dinda lagi. Setelah sehat, carilah dia, bawa dia ke rumah, dan dua bulan lagi kita akan mengadakan pernikahanmu dengan Dinda, bukan dengan Anisa.”
Aku... Aku terharu mendengar itu. Aku sangat senang mendengar ucapan Ibu. Aku ingin segera sembuh...
***
Setelah sehat, aku pergi ke rumah Dinda. Bibi Dinda membukakan pintu untukku, dia bilang Dinda tidak ingin bertemu denganku. Aku tidak percaya, dan berontak masuk ke dalam rumah. Aku berharap dapat menemui Dinda di kamarnya, namun yang kutemukan hanya ruangan kosong yang rapi. Aku menatap Bibi Dinda dengan tegang, “Dimana Dinda?”
Akhirnya setelah melewati beberapa menit yang sunyi, Bibi Dinda menceritakan semuanya. Sambil terisak dia berkata, “Setelah mendengar kabar dari Pak Man bahwa kamu mengalami kecelakaan, Dinda pergi untuk menemuimu. Dia begitu kacau saat mendengar kabar itu, dia berlari dan tidak memedulikan apa-apa, sampai di tikungan jalan, dia tertabrak truk. Dinda meninggal dunia.”
Aku hancur.
***
Aku menikmati pantai sendirian malam ini. Tanpa Dinda. Aku menengadah ke langit, melihat bulan dan bintang yang begitu indah. Dinda telah menjadi salah satu dari mereka.
Aku memang sendirian malam ini. Tapi kurasakan kehadiran Dinda menyelimutiku begitu hangat.  Aku masih menengadah ke langit. Aku mengamati bulan. Memang hanya ada satu bulan yang mengelilingi bumi. Begitu juga dengan Dinda yang hanya ada satu... Dinda.