Kamis, 28 Februari 2013

Bandung-Banjar: My First (failed?) Backpacking

Hello There!
It’s really long time for me to not see this blog. Miss it so much!
Seminggu yang lalu, dari tanggal 17-24 Februari 2013 aku mengadakan suatu perjalanan yang lumayan jauh. FYI, aku berdomisili di Jawa Timur, tepatnya Sidoarjo (1 jam dari Surabaya). Lalu, dengan bondo nekat alias Bonek, aku mengadakan perjalanan ke Jawa Barat. Aku tidak sendirian dalam perjalanan ini. Well, let me tell you everything about this travelling.
Dulu aku pernah menulis tentang resolusi di tahun 2013, dan salah satunya adalah melakukan perjalanan ke Jawa Barat untuk memulai proyek “Around the Java” ku. Aku girang sekali ketika mendengar bahwa Nurma, Janet, dan Norem akan pergi ke Bandung untuk melakukan tes kesehatan dan pembekalan sebelum melakukan ekspedisi ke Sulawesi yang diadakan oleh Kopasus.




setelah sarapan sebelum Norem, Janet dan Nurma berangkat ke Batujajar untuk tes kesehatan (dari ki-ka: Norem, Janet, Nurma, my self)
Menurut jadwal awal, tes kesehatan dilakukan pada tanggal 18 Februari, dan pembekalan akan dimulai pada tanggal 21 Februari. Maka menurut perhitungan, masih ada tanggal 19 dan 20 Februari untuk setidaknya bersama menghabiskan waktu melihat-lihat Bandung. Namun ternyata, setibanya di Bandung, ada perubahan jadwal. Ternyata, setelah tes kesehatan para peserta ekspedisi harus geser saat itu juga ke lokasi pembekalan materi di daerah Situ Lembang. Alhasil, kami harus berpisah jalan pada tanggal 18 Februari. Janet, Nurma, dan Norem pergi ke daerah Batu Jajar untuk tes kesehatan yang dilanjutkan dengan pembekalan materi di daerah Situ Lembang. Sedangkan aku, setelah sebelumnya bingung memikirkan bagaimana nasibku di tempat yang jauhnya lebih dari 700 Km dari Jawa Timur, akhirnya memutuskan untuk menumpang di rumah salah seorang Sikluser yang kebetulan berada di daerah Lembang. Hei, Situ Lembang dan Lembang ini bukan daerah yang sama atau berdekatan ya! Menurut Bapak yang aku tanya, ternyata Situ Lembang berada di dekat daerah Tasik, sedangkan Lembang adalah dataran tinggi yang terletak di Bandung Utara.
Aku berangkat ke Bandung naik kereta api Pasundan dengan tujuan stasiun Kiara Condong pada tanggal 17 Februari bersama Janet dan Nurma (Norem sudah berangkat ke Bandung satu hari sebelumnya bersama rombongan peserta ekspedisi yang lain). Setibanya di Bandung, kami menginap semalam di sekretariat mahasiswa KSE ITB (beasiswa Karya Salemba Empat). Esoknya, tanggal 18 Februari, aku berpisah dengan Janet, Nurma, dan Norem. Setelah tanya sana-sini, untuk pergi ke Lembang dari sekretariat KSE ITB, aku harus naik angkot dua kali oper. Pertama naik angkot jurusan terminal Ledeng, lalu dilanjutkan dengan angkot jurusan Lembang. Aku turun di Pasar Lembang, lalu dijemput oleh Mbak Tica. Mbak Tica adalah salah seorang sikluser yang empat tahun lebih tua dariku, seorang ibu rumah tangga dan sudah memiliki seorang bayi yang lucu.
Begitu bertemu dengan Mbak Tica, aku langsung curhat tentang kondisiku saat itu, bahwa aku sendirian dan sudah berpisah dengan Janet, Nurma, dan Norem.
Sesampainya di rumah Mbak Tica, ternyata Mas Bagus (suaminya Mbak Tica) sedang sakit dan akan berangkat ke rumah sakit untuk opname. Mbak Tica tidak bisa menemani Mas Bagus ke rumah sakit karena harus menjaga Rezvan (bayinya Mbak Tica) yang juga sedang tidak enak badan. Yah, kebetulan sekali aku datang di saat Mbak Tica sedang repot-repotnya.
Mbak Tica dan bayinya, Rezvan
Sampai pukul 14.00, aku menghabiskan waktu di rumah Mbak Tica untuk beristirahat, berkenalan dengan Rezvan (sumpah, Rezvan lucu banget!), dan browsing tentang Bandung. Bodohnya, sebelum berangkat ke Bandung, aku sama sekali tidak mencari tahu tentang Bandung. Yah, ini salah satu evaluasi kalau aku akan pergi kemana-mana lagi. Kemudian, setelah lewat pukul 14.00 aku baru keluar rumah Mbak Tica. Aku bingung mau pergi kemana. Mau ke Tangkuban Perahu (hanya 30 menit dari rumah Mbak Tica), sudah terlalu siang. Mau mampir ke mapala Ganesha (mahasiswa pencinta alam ITB) atau UPI, tapi tidak memiliki kenalan di sana. Sebelumnya, aku mendapat kabar dari Janet bahwa ternyata para peserta yang berjenis kelamin wanita akan diberangkatkan ke Situ Lembang keesokan harinya, jadi hari ini seharusnya masih bisa bertemu lagi. Tetapi, kami terlalu lama memutuskan akan pergi ke mana, sebab jarak Lembang-Batu Jajar (tempat mereka tes kesehatan) cukup jauh. Akhirnya, karena sudah siang dan tidak mau menghabiskan waktu lagi, aku memutuskan untuk jalan-jalan sendiri dengan meminjam motor Mbak Tica. Dan pilihanku hari itu adalah pasar buah Lembang, kampus UPI, dan Rumah Sosis.
You have to know bahwa jalan-jalan sendirian itu sangat tidak menyenangkan. Sebagus apa pun tempat yang kita kunjungi, tetapi kalau sendirian ya tetap saja tidak akan menyenangkan. Aku ingat bertahun-tahun yang lalu Mbak Tica berkata, “naik gunung itu bukan soal ke mana, tetapi dengan siapa.”
Aku sangat setuju dengan kalimat itu, tetapi aku menggubahnya menjadi, “bukan soal kemana, tetapi dengan siapa”. Maksudku, tidak menjadi masalah ke mana kita pergi asalkan bersama dengan orang-orang yang menyenangkan. Aku jadi menyesal tidak menerima ajakan Janet tadi. hikz.
Oke, cukup sekian menyesalnya. Now I will tell you tentang tempat-tempat yang kukunjungi hari itu. Pertama, Pasar Buah Lembang. Karena bukan musim liburan dan bukan weekend, pasar ini sangaaaaaaaat sepi. Sebenarnya, aku tidak melihat pengunjung lain selain aku. Tadi ketika Mbak Tica bercerita tentang pasar buah ini, aku membayangkan pasar buah yang besar dan sangat ramai. Tetapi ternyata, pasar ini kecil dan hanya terdiri dari beberapa warung. Ada beberapa warung yang menjual oleh-oleh Bandung. Aku mampir ke salah satu warung untuk membeli salegor (pisang sale goreng). Aku juga mampir ke salah satu warung yang menjual kaus Bandung dan membeli dua kaus dengan harga Rp 24.000,-/kaus.
Setelah mengunjungi Pasar Buah, aku beranjak menyusuri jalanan Lembang, lalu tiba-tiba aku sudah berada di jalanan menuju Bandung kota. Karena sudah menjelang sore, aku berhenti saja di kampus UPI. Begitu memasuki area kampus, aku langsung mengaguminya. Kampus ini cukup luas dan besar, tetapi hanya memiliki satu area parkir besar. Di beberapa tempat terdapat papan bertuliskan “BUDAYAKAN BERJALAN KAKI DALAM KAMPUS”.
BUDAYAKAN BERJALAN KAKI DALAM KAMPUS
Benar-benar langkah kongkrit untuk mengurangi emisi karbondioksida. Aku tidak melihat adanya publikasi soal eco campus di UPI, tetapi sikapnya sangat eco campus. Talk less, do more! Please, don’t ask me about eco campus in ITS.
Setelah dari kampus UPI, aku kembali ke Lembang. Namun sebelum mencapai Lembang, aku melihat sebuah baliho besar bertuliskan Rumah SOSIS. Karena tertarik ingin melihat dalamnya rumah sosis (apakah di dalamnya ada banyak sosis?), aku masuk. Dan ternyata... Lagi-lagi aku menjadi satu-satunya pengunjung di sana. Krik krik krik.
Terdapat enam bagian di dalam rumah sosis: kolam renang, playground untuk anak-anak, toko oleh-oleh, restoran, toko sosis, dan kedai sosis bakar. Restoran dan toko oleh-oleh hanya buka di hari weekend. Karena tidak tertarik dengan kolam renang dan playgroundnya, aku pun melihat-lihat di toko sosis. Sebelum memasukinya, aku membayangkan betapa meriahnya toko sosis itu. Namanya saja toko sosis di dalam rumah sosis, pastilah sosis-sosis di dalamnya adalah sosis-sosis yang istimewa dan meriah. Namun ternyata... Toko ini tidak lebih luas daripada minimart. Di beberapa sudut toko terdapat beberapa freezer untuk menyimpan sosis-sosis yang dijual. Tidak ada sosis-sosis yang digantung dari atas langit-langit. Tidak ada poster-poster sosis yang ditempel di dindiing toko. Tidak ada mainan berbentuk sosis di dalamnya. Yah, everything is just usual. Ternyata yang meriah hanya namanya. Mengerti kan maksudku? Sebuah bangunan yang disebut Rumah Cermin, maka di dalamnya terdapat berbagai macam cermin di setiap bagiannya. Bangunan yang disebut Rumah Hantu juga memiliki banyak hantu di dalamnya. Yah, pokoknya bagian dalam rumah harus semeriah namanya.
Setelah melihat toko sosis yang mengecewakan, aku mampir ke kedai sosis bakar dan memesan satu tusuk sosis rasa blackpepper seharga Rp 12.000,-. Iya benar, hanya satu tusuk, karena sosisnya memang ukuran jumbo, tidak seperti sosis pada umumnya. Yang bisa kusimpulkan dari rumah sosis adalah bahwa yang istimewa hanya sosis-sosisnya: enak, besar dan panjang. Bangunan dan design nya tidak mewakili nama dari rumah sosis itu sendiri. Biasa saja.
Sosis bakar rasa blackpepper di Rumah Sosis
Dari rumah sosis, aku langsung beranjak ke daerah Lembang. Karena ternyata hari belum gelap, aku memutuskan untuk mengunjungi satu tempat lagi: Floating Market (Pasar Apung). And you know what? Lagi-lagi aku mengunjungi tempat yang seeepiiii. Sebelum membayar tiket masuk seharaga Rp 10.000,- dan biaya parkir Rp 1.000,-, aku bertanya kepada petugas di pintu masuk.
Aku: Pak, kok kelihatannya sepi ya. Lagi tutup ya Pak?
Petugas: Buka kok neng, ramenya pas Sabtu Minggu.
Aku: Lha yang disebut pasar apungnya sebelah mana Pak? (soalnya dari pintu masuk aku cuma bisa melihat warung-warung dan kebun)
Petugas: itu di sebelah sana neng (sambil menunjuk ke suatu tempat), tapi sekarang lagi tutup.
Aku: Tadi katanya buka...
Petugas: Pasar apungnya lagi pada tutup neng, soalnya sepi pengunjung, yang buka cuma dua warung yang itu sama yang itu (sambil menunjuk ke dua warung yang buka).
Aku: *dalam hati* percuma dong bayar Rp 10.000,- tapi gak bisa lihat pasar apung nya.
Aku: Oo, gak jadi deh Pak. Maaf ya Pak. (kabur)
Dasar. Kalau pasar apungnya (yang bahkan jadi nama tempatnya) tutup, kenapa pula masih dibuka. Hrrr!!
Selepas itu, aku mampir ke sebuah warung pinggir jalan untuk mencicipi ketan bakar. Ada tiga pilihan topping untuk si ketan bakar: oncom, parutan kelapa yang disangrai, dan kacang. Aku memilih parutan kelapa dan kacang untuk topping. Ternyata... Rasanya biasa saja. Si ketan bakar tidak berasa seperti ketan, tetapi seperti nasi. Pernah makan lemper kan? Aku membayangkan rasa ketan si ketan bakar ini mirip dengan rasa ketan si lemper: wangi dan sedikit berminyak. Eh ternyata cuma berasa seperti nasi yang dibakar, sama sekali tidak ada wangi ketannya. Yah, maklum lah warung pinggir jalan. Tapi menurutku, harga Rp 5.000,- terlalu mahal untuk ketan bakar macam begitu.
Baiklah, perut sudah terisi dan oleh-oleh sudah di tangan. Sekarang saatnya pulang ke rumah Mbak Tica. Seharusnya, dari warung ketan bakar tadi, rumah Mbak Tica dapat ditempuh dengan waktu kurang dari lima belas menit. Tetapi... I was lost! Sebelum berangkat jalan-jalan tadi, Mbak Tica menggambarkan peta sederhana untukku. Hemm. Tapi aku tidak menemukan satu tanda jalan yang digambarkan Mbak Tica di peta. Dan mampusnya, aku tidak mencatat alamat lengkap rumah Mbak Tica. Mampusnya lagi, HP ku secara sempurna mati karena kehabisan baterai. Setelah berputar-putar selama satu jam (sudah menjelang Maghrib), aku memutuskan untuk berhenti di pangkalan ojek terdekat. Aku bilang ke bapak-bapak tukang ojek bahwa aku orang Surabaya yang sedang tersesat, HP ku mati, lupa alamat rumah yang akan aku tuju, dan peta yang kubawa tidak bisa dijadikan petunjuk lagi. Dengan tanpa perasaan, seorang tukang ojek malah menudingku sambil berkata, “Jangan-jangan Neng ini penjahat hipnotis ya?!”
Sempurna sudah. Aku sedang tersesat dan disangka penjahat! Kenapa nggak sekalian saja dipanggilin polisi? *mewek*
Beruntungnya, ada salah seorang tukang ojek yang berbaik hati. Bapak tukang ojek itu mengantarku ke warung terdekat dan meminta tolong kepada pemilik warung agar aku bisa menumpang nge-charge HP. Begitu HP ku bisa menyala, aku langsung menghubungi Mbak Tica. Dengan bodohnya, aku lupa menanyakan alamat lengkap rumah Mbak Tica. Aku malah bertanya, “Mbak, nanti belok di mana?”
Mbak Tica menjawab, “kamu ikuti jalan besar aja, nanti setelah nemu lapangan kosong, baru belok ke gang. Kalau sudah sampai di sana telepon lagi, ya.”
Setelah berterimakasih kepada pemilik warung dan bapak-bapak tukang ojek, aku bergegas menyusuri jalan sesuai petunjuk Mbak Tica. Karena sudah malam dan sedikitnya lampu jalan, kesannya jadi seram. Tiba-tiba di tengah perjalanan, aku merasa ada yang mengikutiku dari belakang. Entah darimana, aku mendapat teori bahwa jika sedang berkendara dengan kendaraan bermotor dan diikuti dari jarak yang cukup dekat, sebaiknya segera berhenti mendadak agar si penguntit bisa mendahului kita sehingga kita bisa berbalik arah dan kabur secepatnya. Aku akan mengamalkan teori itu, tetapi belum sempat berhenti mendadak si penguntit sudah menjajari ku. Oh geez, ternyata si penguntit adalah seorang lelaki tua. Ah, bagaimana ini kalau aku di-apa-apa-kan?! Kalau minta uang, aku kasih saja deh, toh di dompetku sisa selembar uang lima puluh ribuan. Tapi bagaimana kalau bapak tua ini malah mau memperk*sa-ku? Oh tidaaaaaaaak! Ya Allah, selamatkan hamba-Mu Ya Allah. Sumpah, aku kuatir banget waktu itu.
Ternyata... Si Bapak tua bertanya, “Neng, bapak antarkan saja, bapak tau lapangannya kok.”
Nah lho, darimana si Bapak tua ini tahu aku lagi mencari lapangan yang dikatakan Mbak Tica tadi? Ah, positive thinking saja lah. Belum tentu juga si Bapak tua ini penjahat. Akhirnya, aku mengikuti Bapak tua tadi. Tapi kok jauh ya. Tadi Mbak Tica sempat bilang kalau rumahnya bisa ditempuh dalam waktu 10 menit dari warung tempatku nge-charge HP tadi. Aku terus bersholawat waktu itu, meminta pertolongan agar diselamatkan oleh Allah.
Si Bapak tua berhenti dan menunjukkan lapangan yang dia maksud. Hehe. Ternyata Si Bapak tua tidak punya niat jahat kok. Alhamdulillah. Aku segera masuk ke gang di dekat lapangan, sesuai petunjuk Mbak Tica. Hemm, tapi jalan di dalam gang ini berbeda dengan gang waktu aku berangkat tadi. Ah, mungkin karena malam jadi terlihat berbeda, pikirku saat itu. Kemudian, aku mengikuti saja jalan sesuai instingku. Dan sampailah aku ke sebuah jalan super sempit dan gelap yang hanya muat dilewati oleh satu motor. Jalan itu tidak dilapisi aspal, melainkan hanya tanah coklat yang agak basah. Jalanannya meliuk-liuk dan panjang. Sisi kanan-kirinya dibatasi oleh besek bambu yang berjajar sepanjang jalanan. Aku masih terus bergumam sholawat dan basmalah memohon perlindungan Allah. Kalau di tempat sesempit ini sih, aku lebih mengkhawatirkan adanya makhluk gaib jahat daripada manusia jahat. Bahkan pikiran bodoh sempat menghinggapi otakku: jangan-jangan jalanan ini berujung pada dunia lain?
Hahaha.
Ternyata jalanan tersebut berujung pada jalan raya yang juga gelap dan sepi. Dan jelaslah semuanya! Lapangan yang dimaksud oleh si bapak tua dan Mbak Tica adalah lapangan yang berbeda. Ini berarti aku masih tersesat! Well, sekarang ada dua pilihan: masuk ke jalan raya yang gelap itu tanpa tahu jalan itu menuju ke arah mana atau kembali menyusuri jalanan sempit yang gelap tadi sampai kembali ke lapangan dan menelepon Mbak Tica. Aku memilih yang terakhir.
Masih dengan membaca basmalah dan sholawat, aku kembali menyusuri jalanan sempit itu. Di tengah perjalanan, satu tas oleh-olehku jatuh. Aku berhenti. Dengan kepala menunduk dan melihat ke bawah (aku tidak berani menoleh kemana-mana sebab takut akan melihat sesuatu yang tidak lazim), aku berusaha men-jagang motor tetapi tidak bisa karena jalanan yang tidak rata. Aku turun dari motor. Satu tangan memegangi motor agar tidak jatuh, dan satu tangan lagi berusaha menggapai tas oleh-olehku yang jatuh. Setelah berhasil, aku segera kabur dari jalanan seram itu. Setelah selamat dari jalanan seram itu, aku berhenti di tepi lapangan yang ditunjukkan oleh Bapak tua tadi. Aku menelepon Mbak Tica dan menanyakan alamat lengkap rumahnya. Ternyata, rumah Mbak Tica ada di tempat bernama Babakan Lengsir. Babakan Lengsir ini berada di daerah Lembang yang menuju arah Maribaya. Setelah bertanya tiga kali, akhirnya aku menemukan gang menuju rumah Mbak Tica. Alhamdulillah... Aku bernapas lega.
Keesokan harinya, pada tanggal 19 Februari 2013, Mbak Tica berencana mengajakku berkunjung ke rumah sakit tempat suaminya dirawat. Namun karena hujan, rencana itu batal. Akhirnya setelah cuaca agak cerah, aku keluar rumah lagi menggunakan motor Mbak Tica. Kali ini tujuanku adalah Cihampelas Walk yang katanya bagus. Menemukan Cihampelas Walk dari daerah Lembang cukup gampang. Ikuti saja papan hijau penunjuk jalan.
Jujur ya, buat aku yang baru pertama kali ke Ciwalk (Cihampelas Walk) ini bangunannya cukup membingungkan. Hehe. Aku tidak paham mana yang bagian Yogya Walk (kalau gak salah sih gitu namanya, hehe), mana yang bagian Ciwalk. Bego ya? Hehe. Tapi konsep mall nya memang bagus. Ada bagian outdoor yang dibikin dengan konsep Broadway. Sayang sekali aku sengaja tidak membawa kamera. Pikirku saat itu, halah cuma mall aja pake difoto. Eh ternyata, di sana banyak yang melakukan pemotretan -_-a
Buat yang berdomisili di Surabaya dan sekitarnya, pernah jalan-jalan ke Ciputra World? Di lantai di bawah XXI juga dibikin dengan konsep Broadway, tidak jauh beda dengan di Cihampelas Walk, hanya saja yang di Ciputra World tidak dibikin outdoor. By the way, terus kalau hujan gimana ya nasib si broadway yang di Cihampelas Walk?
Biar jalan-jalannya gak garing, aku membeli sepotong kue (apa ya namanya?) di BreadTalk. Aku lupa nama kuenya, pokoknya bentuknya bulat dan berisi cream, lalu dibberi topping kacang almond. It’s my favourite! Hoho.
Setelah duduk-duduk gak jelas, keliling-keliling gak jelas, berdiri-berdiri gak jelas, aku pun keluar dari mall dan melanjutkan melihat-lihat jalan Cihampelas yang katanya mirip jalan Malioboro di Jogja. Aku tidak bisa membandingkan karena belum pernah mampir di Malioboro. Di jalan Cihampelas ini banyak pedagang kaki lima yang menjual oleh-oleh khas Bandung, mulai dari kaus sampai pisang sale. Selain pedagang kaki lima, berjejer juga toko-toko yang menjual pakaian dan kaus-kaus Bandung. Aku masuk ke dalam beberapa toko untuk membandingkan harganya. Dan... Yang paling murah tetap saja di kaki lima. Hehehe. Jangan khawatir soal kualitas. Kaus dengan bahan dan ukuran yang sama dijual seharga Rp 15.000,- di kaki lima tapi berubah harga menjadi Rp 16.500,- di toko. Yah, memang hanya selisih Rp 1.500,- tetapi kalau beli banyak kan selisihnya juga jadi banyak. Apalagi buat backpacker dan para pelancong ala ransel. Iya kan? Iya kan? Hehe.
Setelah tawar-menawar, aku membeli dua kaus berwarna hitam dan putih. Ohya, kalau jalan-jalan ke Bandung dan ingin membeli kaus Bandung, sebaiknya beli saja di kaki lima Cihampelas, sebab di tempat lain harganya bisa jauh lebih tinggi. Seperti ketika aku membeli kaus di pasar buah Lembang. Kaus dengan bahan yang sama tadi harganya mencapai Rp 24.000,-. Dasar wong dodolan...
Puas melihat-lihat jalan Cihampelas, aku segera kembali ke daerah Lembang. Aku tidak mau berkeliaran di jalan sampai malam, bisa-bisa aku tersesat lagi seperti kemarin. Dan Alhamdulillah, aku tidak tersesat lagi kali ini. Aku sudah hafal jalan menuju rumah Mbak Tica setelah tersesat gak karuan kemarin.
Sebelum pergi ke Cihampelas, aku sempat jajan siomay di warung pinggir jalan daerah Lembang. Aku ingin merasakan makan siomay di tempat asalnya. Hehe. Tapi ternyata, rasanya sama saja seperti di Surabaya atau Sidoarjo. Ikan tengirinya kurang berasa nih. Ya maklum, harganya saja cuma Rp 8.000,-. Itu pun sudah ditambah dengan es jeruk. Ohya, kebiasaan di Jawa Barat ini ternyata kalau makan di warung secara otomatis akan mendapat teh tawar gratis. Tapi karena lidahku tidak terlalu cocok dengan teh tawar, aku selalu memesan minum. Yah, setidaknya teh manis. Atau air putih saja sekalian daripada teh tawar. Hehe. Kalau itu sih menurut selera masing-masing yaa.
Waduh, udah kepanjangan nih ya, ceritanya? Okelah, dilanjutkan di posting selanjutnya saja yaa.. hehe. See ya!

lanjutan ceritanya bisa di baca di sini ^^