Akhirnya siang tadi, sekitar pukul 13.00, aku berhasil membawa Si Supri pulang. Bukan tanpa halangan. Perjalanan pulang yang biasanya cukup aku tempuh maksimal selama satu jam, kali ini harus kutempuh selama dua jam gara-gara Si Supri yang masih rewel.
Setelah kemarin malam aku bersama ranger Janet dan ranger Zahroh berjuang mengandangkan Si Supri di tempat parkir kampus (baca di sini), akhirnya pagi tadi aku membawa Si Supri ke bengkel "pura-pura" ditemani oleh ranger Janet. Entahlah, aku tidak tahu apa si Pak Bengkel "pura-pura" ini memang berpura-pura mengobati Si Supri atau memang Si Supri yang terlalu banyak masalah di mesinnya. Di jaman sekarang ini sepertinya susah mempercayai orang asing. Aku tidak begitu mengerti mesin, jadi ketika Pak Bengkel menjelaskan ngalor ngidul soal Si Supri, aku cuma ber-Iya-Iya dan ber-Ooh-Ooh saja. Mana aku tahu, Pak Bengkel sedang berbohong atau jujur. Setelah diperiksa dan diperbaiki sebisanya, Pak Bengkel memintaku menjajal Si Supri, apakah masih rewel atau tidak. Proses ini terjadi berulang kali. Diperbaiki, dijajal, diperbaiki lagi, dicjajal lagi, sampai akhirnya Si Supri sudah tidak terlalu rewel. Di penjajalan yang terakhir, sebenarnya aku masih merasakan tanda-tanda kerewelan Si Supri, tetapi karena ingin segera pulang ke Sidoarjo, jadi aku iya-kan saja saat Pak Bengkel bertanya, "sudah enak, Mbak?". Lagipula, aku sedikit pesimis Pak Bengkel ini bisa mengatasi masalah Si Supri.
Sesudahnya, aku langsung membawa Si Supri pulang ke Sidoarjo. Di setiap detik perjalanan, mulutku terus komat-kamit meminta perlindungan dari Allah. Bukannya lebay, tapi memang saat itu yang paling aku inginkan adalah pulang ke Sidoarjo. Bagaimana tidak, sudah sejak hari Rabu (sekarang hari Jumat) aku di Surabaya. Duitku menipis, dan aku belum mandi. Hehe.
Setelah sepuluh menit perjalanan, Si Supri mulai menunjukkan gejala mogok. Di setiap lampu merah, aku harus tetap meng-gas Si Supri agar tidak mogok. Sampai di Jalan Nginden yang saat itu sedang macet, karena Si Supri selalu mogok jika berjalan pelan, jadi gas-nya juga harus tetap full. Alhasil, aku harus mengerem sekaligus meng-gas dengan keras agar Si Supri tidak mogok. Di belakangku, ku dengar seorang Bapak pengendara motor berbicara kepada boncengannya, "wong jalan pelan kok motornya di-gas full."
Oh, Bapak, andai engkau memahami perasaanku saat ini...
Ternyata dengan cara ini pun, Si Supri masih tetap rewel. Akhirnya Si Supri mogok lagi, di jalan yang sama seperti kemarin malam. Aku meminggirkan Si Supri dan mulai memancal pedal starter. Pancal, pancal, pancal. Berulang kali memancal, Si Supri tetap diam. Aaargh! Aku mulai jengkel. Kali ini kondisiku lebih parah daripada kemarin malam. Duit di saku celana jenasku tinggal lima ribu perak, HP-ku mati karena lowbat, dan aku merasa sangat bau karena belum mandi. Di tengah ke-galau-an itu, ada dua orang mas-mas yang berboncengan menghampiriku. Lumayan keren. Sepertinya seumuran denganku.
Mereka menanyakan kondisi Si Supri, lalu mulai memeriksa bagian businya. Di tengah proses pemeriksaan, kami bertiga sempat ngobrol. Rupanya dua mas-mas ini adalah mahasiswa UBAYA angkatan 2010. Waktu mereka tahu angkatan tahun kuliahku, mereka sedikit terkejut. Mungkin terkejut karena aku masih terlihat seperti maba (mahasiswa baru, atau mahasiswa basi?), atau mungkin terkejut karena aku belum lulus juga. Hehe. Setelah dicoba dengan usaha yang amat keras (karena si mas-mas sampai meringis waktu berusaha melepas businya), akhirnya Si Supri mau menyala. Alhamdulillah... Sesudah berbasa-basi sedikit dan mengucapkan terimakasih dengan amat tulus, aku pun melanjutkan perjalanan pulang ke Sidoarjo.
Perjalanan selanjutnya cukup lancar sampai di daerah Jemursari, hujan turun. Tidak terlalu deras, tapi cukup membuat basah. Sebenarnya aku ingin terus melanjutkan perjalanan, toh aku suka hujan-hujanan. Sayangnya aku tidak membawa jas hujan. Dan kalau aku nekat melanjutkan perjalanan di tengah hujan tanpa memakai jas hujan, maka Si Item (laptop-ku) bisa ikut-ikutan rewel seperti Si Supri. Sudah cukup Si Supri saja yang membuatku kewalahan.
Aku pun berteduh di minimarket terdekat. Duduk di lantai, sambil berdoa semoga hujan cepat reda dan Si Supri tidak rewel lagi, minimal hingga aku sampai di rumah. Sekitar lima belas menit, hujan mulai reda. Aku kembali memancal starter Si Supri, yang untungnya langsung mau menyala. Karena hujan dan khawatir Si Supri akan mogok lagi, aku mengendarai Si Supri tidak dengan ngebut seperti biasanya. Selama sisa perjalanan, Si Supri beberapa kali mogok, tetapi tidak parah seperti waktu di jalan Nginden tadi.
Akhirnya, setelah dua jam perjalanan yang melelahkan dan penuh perjuangan, sampailah aku di rumah dengan selamat dan sedikit basah (bukan karena keringat, tapi karena gerimis). Fiuhbangetdeh.
Pengalaman bersama Si Supri beberapa hari ini memberi banyak hikmah. Aku jadi tahu bahwa ada sahabat-sahabat yang peduli, bahwa ada orang-orang asing yang masih peduli pada yang lain meskipun belum saling mengenal, bahwa hal-hal biasa bisa menjadi amat berharga, bahwa harus pintar-pintar mengambil keputusan, dan bahwa Si Supri memiliki bagian-bagian yang disebut spul, busi, dan karburator.
Besok Si Supri akan diperiksakan ke bengkel langganan di dekat rumah. Semoga cepat sembuh, ya, Supri. We love youuuuuuu :*
Cerita nyata?
BalasHapusIyaa Gus.. Si Supri rewel teruuuus :(
Hapus