Minggu, 16 Desember 2012

Ketemu Buku Harian 2011, Hahaha

Niatnya mau mencari buku tulis punya Quro, tapi malah nemu buku harian yang aku tulis setahun lalu. Karena penasaran, orang seperti apa, sih, Ekky yang setahun lalu, maka kubuka buku harian itu. Sebenarnya tidak setiap hari aku menulis buku harian. Tapi rupanya setelah membaca buku harian itu, aku jadi mengerti bahwa aku lebih sering menulis di buku harian jika sedang sedih, atau kalau meminjam bahasa gaul anak muda jaman sekarang adalah GALAU. Hahaha. Kalau diingat-ingat lagi, di tahun 2012 ini aku jadi jarang menulis buku harian. Apakah itu berarti di tahun 2012 ini aku lebih berbahagia? Hahaha. Entahlah.
Buku harian itu, dan buku harianku yang sebelum-sebelumnya, pasti akan segera menghilang entah ke mana atau mungkin akan berakhir di tukang loak. Padahal aku sudah sering mewanti-wanti Mama agar tidak menjual buku-bukuku ke tukang loak, tapi tetap saja dilakukan. Kata Mamaku, Beliau sumpek melihat segunung buku buluk yang sepertinya sudah tidak ada gunanya itu. Hiks.
Sekedar untuk bernostalgia, aku ingin menulis ulang beberapa tulisan di buku harianku itu di blog ini. Bukan untuk memamerkan privasiku (karena memang tidak ada yang bisa dipamerkan). Aku hanya ingin menulisnya, sehingga suatu saat nanti ketika aku sudah lebih dewasa dan bijaksana, aku akan tersenyum membaca tulisanku itu. Lagipula, membaca kenangan yang pernah terjadi berguna juga untuk intropeksi diri: menimbang apakah diri kita sudah menjadi lebih baik daripada diri kita yang lalu. Sebenarnya, banyak banget buku-buku harianku yang sudah entah ke mana. Aku sedikit menyesal tidak bisa mengumpulkannya dan menjadikannya satu, karena kalau bisa menyatukan semua buku harianku itu, pasti menarik (maksudku menarik bagi diriku sendiri). Aduh, banyak cincong, nih. Oke, here we go... Ohya, untuk 'PS'-nya itu bukan isi buku harianku. Aku menambahkannya di sini untuk menjelaskan situasi yang sedang terjadi saat aku menulis di buku harian waktu itu.
6 Oktober 2011, kosnya Jannah
Hari ini aku berjanji untuk kembali membuka diriku demi cita-cita dan tujuan hidupku.
Aku tidak akan menyesali apa yang terjadi, karena itu pilihanku yang sebenarnya memang telah ditakdirkan oleh Allah Swt.
Aku tidak akan menundukkan diriku demi 'batu-batu kecil', aku akan tetap berdiri demi 'batu besar' dalam hidupku.
Apapun ceritanya, aku tetap yakin pada Allah Swt... Bahwa hanya Ia yang mampu memberiku kebahagiaan pada waktu yang tepat.

(PS: ini ceritanya aku baru menolak mantan pacar yang ngajak balikan, padahal waktu itu aku juga masih sayang, hehe)

7 Oktober 2011, kosnya Merdeka
Apapun yang kuucapkan saat itu, pasti sudah ditakdirkan oleh allah Swt. Aku tidak boleh menyesalinya. Seandainya waktu itu aku mengucapkan hal sebaliknya pun, jika Allah Swt tidak berkehendak, kami pasti tidak akan bisa. Aku hanya ingin dia lebih dewasa, dan dapat memaknai hidupnya dengan hal-hal yang lebih berarti. Aku ingin memberi dia waktu untuk berpikir tentang hidupnya sendiri. Aku ingin dia berpikir. Aku ingin dia berubah.
Apapun yang kuucapkan saat itu, bukan berujuan untuk menolak, tapi untuk memberinya kesempatan bangkit dan mengubah hidupnya menjadi lebih baik.
Tapi ternyata, harapanku padanya terlalu tinggi. Dia bukan orang yang sabar dan mau menunggu lebih lama lagi, atau mungkin dia memang tidak mau berubah.
Tujuanku tidak tersampaikan dengan baik, mungkin karena aku terlalu munafik dan mengingkari perasaanku, atau karena dia terlalu buta untuk melihat semuanya?
Ya Allah, maafkan aku jika aku terlalu sombong kepada-Mu... Aku bilang kuat, padahal hanya Engkau yang Maha Kuat. Aku bilang bisa, padahal hanya Engkau yang Maha Bisa.
Aku hanya memohon sedikit kekuatan dan kemampuan dari-Mu, meski Engkau tidak selalu mengabulkannya. Ya Allah, jangan buat aku meragukan-Mu. jadikanlah aku manusia yang yakin dan semakin yakin kepada-Mu.
Hari ini mungkin Engkau tidak mengabulkan doa dan harapanku. Tapi buatlah aku mengerti bahwa harapanku yang tidak Engkai kabulkan itu sama sekali tidak ada artinya jika dibandingkan dengan apa yang akan Engkau berikan kepadaku nantinya...
Maaf jika aku selalu berdoa kepada-Mu, karena hanya Engkau Tuhanku, karena aku hanya percaya kepada-Mu, karena hanya Engkau yang kutahu dapat mengabulkan doa-doaku. Maaf jika doaku terlalu banyak. Maaf jika aku meminta terlalu banyak, karena aku tidak bisa meminta kepada yang lain, karena hanya Engkau Tuhanku, satu-satunya tempat bagiku untuk berdoa dan meminta.
Terimakasih atas apa yang telah Engkau berikan kepadaku selama ini. Terimakasih atas semua kasih sayang-Mu. Rundungilah hari-hariku selanjutnya dengan segala bentuk kasih sayang-Mu, dan jadikanlah aku semakin dekat dengan-Mu. Aamiin...
*ditulis setelah puas menangis

Hey There Delilah
(PS: yang ini cerita tentang mantan pacar yang berbeda, yang pertama. Karena baru nyesek gara-gara menolak ajakan balik sang mantan, jadi ingat mantan yang lain. Hehe, ababil yah Guweh?)
Seseorang yang sangat baik dan sabar menunggu, yang pernah menjadikanku Delilah-nya.
Delilah, sebuah nama dalam lagu "Hey There Delilah", yang kemudian ia ubah menjadi Denicha, yang beberapa waktu kemudian kami sepakati lagi untuk diubah menjadi Danicha. Seseorang yang pernah menangis untukku, yang selalu berusaha menepati janjinya padaku, yang ikhlas menerima semua keputusanku, yang selalu mau mendengarkanku, yang selalu ada untukku, yang selalu bisa menenangkanku.
Biar saja orang itu tidak pernah tahu, bahwa aku pun pernah menangis untuknya. Bahwa aku pernah menempatkannya di hatiku lebih dari yang ia tahu. Bahwa aku pun menjadikannya Danicha. Bahwa aku mengagumi karya-karyanya. Bahwa sampai saat ini belum pernah ada yang lebih baik dari dia. Hey There Delilah, sebuah cerita yang pernah ada, yang harus berakhir karena keegoisanku. Sebuah cerita yang ingin kukenang, jadi biar kutulis saja...
Aku tidak ingat sejak kapan cerita itu dimulai, tapi klimaksnya terjadi pada tanggal 2 September 2008. Cerita yang sebenarnya sangat panjang, tetapi tampak singkat.

8 Oktober 2011, kamarku
Alhamdulillah... Terimakasih Engkau menghadirkan orang-orang seperti mereka dalam hidupku: Evita, Jannah, Merdeka, Zahroh, Nuril, Fenny...
Mereka tidak memiliki ikatan darah denganku, tapi mereka tulus dan ikhlas menemaniku.
Aku tidak memiliki apapun yang berharga untuk kuberikan kepada mereka, tapi mereka tetap bersedia mengulurkan tangan saat aku jatuh. Bahkan saat aku berada di titik minus kehidupan pun, mereka tetap bersedia dekat denganku...
Jannah mengajariku tentang keikhlasan.
Merdeka mengajariku tentang kesetiaan dalam cinta.
Nuril mengajariku tentang perubahan.
Fenny mengajariku tentang penerimaan.
Evita mengajariku tentang ketabahan dan keyakinan.
Zahroh mengajariku tentang kasih.
Lingkupilah hari-hari mereka dengan kasih sayang-Mu, Ya Allah...
Aku berjanji aku pun selalu ada untuk mereka...
Thanks for creating these people. Thanks for meeting me with these people. Thanks for knowing me to these people. Thanks for putting me among these people.
(PS: kalau aku menulisnya sekarang, nama-nama yang kusebutkan akan bertambah banyak)

9 Oktober 2011, kamarku
Sudah cukup aku menghambur-hamburkan waktu dan tenagaku untuk bermain-main...
Hati bukan permainan. Hati bukan sekedar kalimat dan kata. Hati merupakan koordinasi dari pikiran dan tindakan untuk menunjukkan sebuah pembuktian.
10 Oktober 2011, kamarku
Baru saja bermimpi yang sangat indah...
Aku selalu mengkhayal tentang kamu, tentang kamu, dan tentang kamu. Tapi kamu jauh, dan tidak terjangkau... *dengan themesong: My Happy Ending, oleh Avril L.

12 Oktober 2011, kamarku
21 tahun 3 bulan, dan aku belum pernah melakukan apapun yang berarti untuk orang lain... PAYAH!!!!

18 Oktober 2011, kamarku
*We're just a friend, aren't we? Everything you've done to me, is only a part of ur loquacious, isn't it? Say yes!! You just do it because you have nothing else to do, and no one else to be joked. Ya!!!
*Aku harus begadang dan rela capek hari ini, demi KIMIA INTI, 3 sks dan uang, oh uang... SEMANGAT!!!
*Menulis kisah itu bukan sekedar menceritakan, tapi juga seni membawa pembaca memasuki pikiran si penulis. Itu yang kumau....
(PS: ternyata sekarang aku sedang menjalin "hubungan khusus" dengan seseorang yang kumaksud di poin pertama, ternyata We're not just a friend today, hehe.)

19 Oktober 2011, sekretariat PLH SIKLUS ITS
This week will be very hard... But I've to stay strong for my own self and also for my beloved people: my mom and my dad.

19 Oktober 2011, my mom and dad's room
Gara-gara nonton film "Ghajini", jadi tidur bertiga. Hehe.

24 Oktober 2011, kamarku
 Aku bangun pagi, dan mendengar "My Immortal"-nya Evanescence dari laptop. Laptopku menyala sejak sahur tadi, tapi aku hanya memutar mp3, dan tidak berkeinginan menyentuh proposal, naskah, atau yang lain. I hate my self. Huff.

Jumat, 14 Desember 2012

Si Supri pulang ke Sidoarjo

Akhirnya siang tadi, sekitar pukul 13.00, aku berhasil membawa Si Supri pulang. Bukan tanpa halangan. Perjalanan pulang yang biasanya cukup aku tempuh maksimal selama satu jam, kali ini harus kutempuh selama dua jam gara-gara Si Supri yang masih rewel.
Setelah kemarin malam aku bersama ranger Janet dan ranger Zahroh berjuang mengandangkan Si Supri di tempat parkir kampus (baca di sini), akhirnya pagi tadi aku membawa Si Supri ke bengkel "pura-pura" ditemani oleh ranger Janet. Entahlah, aku tidak tahu apa si Pak Bengkel "pura-pura" ini memang berpura-pura mengobati Si Supri atau memang Si Supri yang terlalu banyak masalah di mesinnya. Di jaman sekarang ini sepertinya susah mempercayai orang asing. Aku tidak begitu mengerti mesin, jadi ketika Pak Bengkel menjelaskan ngalor ngidul soal Si Supri, aku cuma ber-Iya-Iya dan ber-Ooh-Ooh saja. Mana aku tahu, Pak Bengkel sedang berbohong atau jujur. Setelah diperiksa dan diperbaiki sebisanya, Pak Bengkel memintaku menjajal Si Supri, apakah masih rewel atau tidak. Proses ini terjadi berulang kali. Diperbaiki, dijajal, diperbaiki lagi, dicjajal lagi, sampai akhirnya Si Supri sudah tidak terlalu rewel. Di penjajalan yang terakhir, sebenarnya aku masih merasakan tanda-tanda kerewelan Si Supri, tetapi karena ingin segera pulang ke Sidoarjo, jadi aku iya-kan saja saat Pak Bengkel bertanya, "sudah enak, Mbak?". Lagipula, aku sedikit pesimis Pak Bengkel ini bisa mengatasi masalah Si Supri.
Sesudahnya, aku langsung membawa Si Supri pulang ke Sidoarjo. Di setiap detik perjalanan, mulutku terus komat-kamit meminta perlindungan dari Allah. Bukannya lebay, tapi memang saat itu yang paling aku inginkan adalah pulang ke Sidoarjo. Bagaimana tidak, sudah sejak hari Rabu (sekarang hari Jumat) aku di Surabaya. Duitku menipis, dan aku belum mandi. Hehe.
Setelah sepuluh menit perjalanan, Si Supri mulai menunjukkan gejala mogok. Di setiap lampu merah, aku harus tetap meng-gas Si Supri agar tidak mogok. Sampai di Jalan Nginden yang saat itu sedang macet, karena Si Supri selalu mogok jika berjalan pelan, jadi gas-nya juga harus tetap full. Alhasil, aku harus mengerem sekaligus meng-gas dengan keras agar Si Supri tidak mogok. Di belakangku, ku dengar seorang Bapak pengendara motor berbicara kepada boncengannya, "wong jalan pelan kok motornya di-gas full."
Oh, Bapak, andai engkau memahami perasaanku saat ini...
Ternyata dengan cara ini pun, Si Supri masih tetap rewel. Akhirnya Si Supri mogok lagi, di jalan yang sama seperti kemarin malam. Aku meminggirkan Si Supri dan mulai memancal pedal starter. Pancal, pancal, pancal. Berulang kali memancal, Si Supri tetap diam. Aaargh! Aku mulai jengkel. Kali ini kondisiku lebih parah daripada kemarin malam. Duit di saku celana jenasku tinggal lima ribu perak, HP-ku mati karena lowbat, dan aku merasa sangat bau karena belum mandi. Di tengah ke-galau-an itu, ada dua orang mas-mas yang berboncengan menghampiriku. Lumayan keren. Sepertinya seumuran denganku.
Mereka menanyakan kondisi Si Supri, lalu mulai memeriksa bagian businya. Di tengah proses pemeriksaan, kami bertiga sempat ngobrol. Rupanya dua mas-mas ini adalah mahasiswa UBAYA angkatan 2010. Waktu mereka tahu angkatan tahun kuliahku, mereka sedikit terkejut. Mungkin terkejut karena aku masih terlihat seperti maba (mahasiswa baru, atau mahasiswa basi?), atau mungkin terkejut karena aku belum lulus juga. Hehe. Setelah dicoba dengan usaha yang amat keras (karena si mas-mas sampai meringis waktu berusaha melepas businya), akhirnya Si Supri mau menyala. Alhamdulillah... Sesudah berbasa-basi sedikit dan mengucapkan terimakasih dengan amat tulus, aku pun melanjutkan perjalanan pulang ke Sidoarjo.
Perjalanan selanjutnya cukup lancar sampai di daerah Jemursari, hujan turun. Tidak terlalu deras, tapi cukup membuat basah. Sebenarnya aku ingin terus melanjutkan perjalanan, toh aku suka hujan-hujanan. Sayangnya aku tidak membawa jas hujan. Dan kalau aku nekat melanjutkan perjalanan di tengah hujan tanpa memakai jas hujan, maka Si Item (laptop-ku) bisa ikut-ikutan rewel seperti Si Supri. Sudah cukup Si Supri saja yang membuatku kewalahan.
Aku pun berteduh di minimarket terdekat. Duduk di lantai, sambil berdoa semoga hujan cepat reda dan Si Supri tidak rewel lagi, minimal hingga aku sampai di rumah. Sekitar lima belas menit, hujan mulai reda. Aku kembali memancal starter Si Supri, yang untungnya langsung mau menyala. Karena hujan dan khawatir Si Supri akan mogok lagi, aku mengendarai Si Supri tidak dengan ngebut seperti biasanya. Selama sisa perjalanan, Si Supri beberapa kali mogok, tetapi tidak parah seperti waktu di jalan Nginden tadi.
Akhirnya, setelah dua jam perjalanan yang melelahkan dan penuh perjuangan, sampailah aku di rumah dengan selamat dan sedikit basah (bukan karena keringat, tapi karena gerimis). Fiuhbangetdeh.
Pengalaman bersama Si Supri beberapa hari ini memberi banyak hikmah. Aku jadi tahu bahwa ada sahabat-sahabat yang peduli, bahwa ada orang-orang asing yang masih peduli pada yang lain meskipun belum saling mengenal, bahwa hal-hal biasa bisa menjadi amat berharga, bahwa harus pintar-pintar mengambil keputusan, dan bahwa Si Supri memiliki bagian-bagian yang disebut spul, busi, dan karburator.
Besok Si Supri akan diperiksakan ke bengkel langganan di dekat rumah. Semoga cepat sembuh, ya, Supri. We love youuuuuuu :*

Si Supri dan Ranger

Aaah. Si Supri mogok lagi...
Begitu keluar bengkel, kupacu Si Supri menuju Karangmenjangan buat ngajar privat Ayu. Si Supri mulai bisa beraktivitas seperti biasa. Salah satu hal yang biasa yang amat berharga itu pun memberi kenikmatan padaku: kenyamanan dan kemudahan beraktifitas.
Hingga 28 jam setelah keluar bengkel, Si Supri mulai menunjukkan lagi gejala mogoknya. Di malam hari waktu perjalanan pulang ke Sidoarjo, di tengah jalanan yang macet, tiba-tiba Si Supri berlagak kehabisan bensin. Mesinnya tiba-tiba tersendat-sendat, antara hidup dan mati, dan akhirnya mati. Kendaraan lain di belakang membunyikan bel dengan keras, menyuruhku minggir. Oh, aku kan juga tidak mau Si Supri mogok di tengah jalan begini! F#ck!
Belum sampai dua hari keluar bengkel, Si Supri udah mogok lagi. Hmm.. Apa mungkin Pak Bengkel yang kemarin "mengobati sakit" nya Si Supri cuma berpura-pura sudah "mengobati" Si Supri dengan benar?
Mendengus kesal, aku dorong Si Supri tepi jalan. Belum jauh aku mendorong Si Supri, ada seorang Bapak yang mengatur parkir mobil di tepi jalan, menegurku untuk menepikan motor di sebuah kedai laundry. Bapak parkir lalu memanggil pemilik kedai laundry dan memintanya untuk membantuku. Pak pemilik laundry lalu menanyakan kondisi Si Supri dan memeriksa bagian businya. Setelah dicoba, rupanya busi Si Supri kotor. Hemmm, padahal kan kemarin businya baru beli. Ah, gak tau deh. Yang penting Si Supri sudah mau jalan.
Beberapa meter setelah Si Supri berjalan seperti biasa, tiba-tiba gejala mogok Si Supri muncul lagi. Dan benarlah, Si Supri pun mogok lagi. Lagi-lagi mogok lagi. F#ck! Sialnya lagi, minggu ini aku sedang sangat bokek. Jadi hari ini pun uang di saku jeansku hanya Rp 10.000,-. Dengan frustasi, aku menghubungi orang-orang yang mungkin bisa membantuku. Inilah mereka:
Sent to Janet --> Net, motorku mogok lagi, sekarang aku di Jalan Nginden
Sent to Mas Gendut --> Motorku mogok lagi di tengah jalan. Dasar bengkel sialan kemarin
Sent to Adek --> Dek, bilangin mama teleponen aku sekarang. Penting.

Dan inilah jawabannya.
From Janet --> I'm coming there, wait me
From Mas Gendut --> Sabaaaar
From Adek --> Mama masih di langgar

Dan aku pun menunggu kedatangan Janet di tepi Jalan Nginden yang super crowded. Beberapa menit kemudian, datanglah bala bantuan: Janet dan Zahroh. Fiuhbanget.
Aku, Janet, dan Zahroh, yang menyebut diri kami sendiri sebagai ranger (hahaha), sekarang sedang berada di tepi Jalan Nginden, kebingungan akibat ulah Si Supri. Huffbangetkan?
Kami berdiskusi sebentar, menimbang-nimbang resiko kalau aku tetap nekat melanjutkan perjalanan pulang ke Sidoarjo, padahal masih butuh waktu sekitar 40 menit lagi untuk sampai. Karena menganggap kondisi si supri tidak memungkinkan untuk bertahan hingga 40 menit, maka aku memutuskan untuk membawa Si supri kembali ke kampus tercintaaaaa. Janet yang baik hati, ranger paling tegar, bersedia mengendarai Si Supri yang rewel. Sedangkan aku, tuannya Si Supri, malah mengendarai kuda besi lainnya, yang tadi dikendarai oleh Janet dan Zahroh. Beriringan, kami pun kembali ke kampus tercinta, tepatnya ke basecamp para ranger lainnya: PLH SIKLUS ITS.
Sesampainya di basecamp, yang biasa kami sebut sebagai "sekret", kami mengandangkan Si Supri agar dia beristirahat sebelum besok harus dibongkar lagi di bengkel yang "pura-pura". Hei, bukannya aku bodoh mau bawa Si Supri kembali ke orang yang mungkin cuma "pura-pura" bisa, aku cuma mau minta konfirmasi dan tanggung jawabnya, kenapa Si Supri kok mogok lagi. Kalau alasannya masuk akal, ya bisa jadi bengkel itu bukan "pura-pura", tetapi Si Supri saja yang manja dan banyak maunya, minta diganti ini itu.
Supri, oh Supri.... Kapan kamu mau sembuh? Capek tahu, dorong-dorong kamu!
Setelah beres mengandangkan Si Supri, tiga ranger pun berbagi tempat di atas satu kuda besi, alias boncengan tiga, untuk mencari sesuap nasi. Hehe. Dari tempat parkir ke sekret jaraknya lumayan, harus naik tangga pula. Daripada membuang energi untuk hal yang nggak terlalu penting, lagipula kami mau menghemat BBM yang katanya semakin langka, kami pun memutuskan berbonceng tiga sekaligus.
Hmm, kalau diamati ternyata sekarang ini fenomena boncengan tiga sudah sangat jarang ditemui di area kampus. Padahal di jamanku yang masih imut-imut jadi mahasiswa baru, fenomena boncengan tiga sudah menjadi pemandangan yang akrab di mata kami. Sambil menyusuri jalanan daerah Keputih untuk mencari warung makan Padang, kami bernostalgia soal fenomena boncengan tiga yang sekarang sedang kami lakukan ini.
Ranger yang repot karena ulah Si Supri (ki-ka: Zahroh, Janet, aku)

Putar-putar di jalanan Keputih, ternyata warung makan Padang nya sudah pada tutup. Aah, masih ada Gebang. Dan berbeloklah kami ke jalanan Gebang.
Benarlah. Di Gebang masih ada satu warung makan Padang yang buka. Jujur saja, aku gak terlalu suka dengan masakan Padang, lagipula lagi bokek beraaat. Yah, gak apa-apa deh, sekali-sekali makan masakan Padang, tapi ngebon dulu sama Janet. Hehe.
Setelah memesan tiga gelas es teh dan tiga piring nasi dengan lauk yang sama, kami pun makan dengan lahapnya seperti orang kalap karena sudah berjuang mengendarai Si Supri malam-malam. Hhh. Sebenarnya gak serakus itu, sih, hehe. Kami makan sambil ngobrol ngalor ngidul, tentang isu Norm (salah satu ranger PLH SIKLUS ITS) yang kabarnya mau cuti kuliah untuk ekspedisi ke Sulawesi, tentang ayam-ayam yang diternak Balon (teman dari Jember) yang katanya sudah mati 300 ekor, tentang "kolam pengakuan" kami, tentang penyebab bau bunga eidelweis di jalanan menuju sekret, tentang banyak hal. Di waktu yang singkat itu, banyak obrolan yang mengalir begitu saja. Lalu tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan, kapan terakhir kali kami makan bertiga bersama seperti ini. Hmm, rasanya sudah lama sekali. Mungkin aku yang sudah jarang menyambangi sekret. Bagaimana tidak, minggu ini setiap malam aku harus ngajar les privat minimal dua kali, karena musim UAS. Janet sibuk mengerjakan tugas akhirnya. Dan Zahroh yang akhir-akhir ini juga sibuk dengan proyek melaut dari Bu Dosen.
Malam ini, ketika seharusnya aku kesal setengah mati karena ulah Si Supri, diam-diam aku malah bersyukur atas waktu yang kami habiskan bersama akibat ulah Si Supri. Well, pasti Janet dan Zahroh jadi kehilangan waktu yang bermanfaat untuk diri mereka karena tiba-tiba harus direpotkan oleh ulah Si Supri. Tapi, ya... that's what friends are for, kan? Hehehe.
Terimakasih Janet dan Zahroh.
Jadi ingat di jaman-jaman nganggur dulu, kami bertiga sangat sering menghabiskan waktu di tepi "kolam pengakuan" untuk membicarakan hal-hal sederhana dalam kehidupan kami, tentang cinta-cintaan kami, tentang keinginan dan mimpi kami, tentang karakter, tentang ranger-ranger PLH SIKLUS ITS lainnya. Dulu di jaman itu, kami juga sering menghabiskan waktu untuk menginap di kosnya Janet (soalnya nyaman banget). Hehe. Di jaman itu, menurut kami, makan bersama adalah hal yang sangat biasa.
Tapi sekarang, ketika hal-hal biasa itu sudah jarang terjadi, maka hal-hal biasa itu menjadi hal-hal yang amat berharga. Kenangan itu memang tidak akan bisa kami ulang. Akan tetapi, kenangan itu akan selalu bisa untuk diingat. Kenangan itu akan menjadi cerita untuk anak-anakku nanti, bahwa dulu Ibunya mempunyai sahabat-sahabat dari PLH SIKLUS ITS yang amat menyenangkan. Kenangan itu juga akan menjadi doa bagiku untuk sahabat-sahabatku, semoga kelak di masa tua, kami bisa bertemu kembali untuk menertawakan kebodohan dan hal-hal konyol yang pernah kami lakukan bersama. Semoga nanti aku bisa dengan bangga mengatakan pada semua orang bahwa seseorang yang tengah berdiri di panggung untuk menerima penghargaan itu adalah sahabatku, atau bahwa seseorang yang telah berhasil mendirikan sekolah bakat itu adalah sahabatku, atau bahwa seseorang yang hatinya baik itu adalah sahabatku, atau bahwa seseorang yang bukunya telah diterbitkan hingga jutaan kopi itu adalah sahabatku, atau bahwa seseorang yang telah berhasil menjadi ibu yang baik itu adalah sahabatku. Well, semoga kenangan itu akhirnya bisa menjadi motivasi bagi kami untuk terus berusaha mencapai mimpi yang telah kami ukir masing-masing.

ranger PLH SIKLUS ITS lainnya

Hari ini, dua ranger Janet dan ranger Zahroh telah membuat sesuatu yang menyebalkan menjadi sesuatu yang menyenangkan.. Once again, thanks for being ranger. Hehe

OHYA! Bagaimana dengan Si Supri? Mau pake duit siapa besok ke bengkelnya? Sepertinya harus ngebon lagi ke Janet. Hehe ^^

Kamis, 13 Desember 2012

OTAK

Menulis beberapa kalimat. Hapus. Menulis lagi, beberapa kalimat. Hapus lagi.
Sebenarnya banyak sekali yang ingin aku sampaikan lewat tulisan di blog ini, tapi sepertinya gak penting dan basi. Amat basi.
Hmm. Bukannya yang akan aku tulis di sini semuanya penting dan gak basi, sih. Tapi inilah yang paling pantas dibaca oleh khalayak umum (hahaha, paling aku dewe -___-a)
Sekarang pun aku hanya ingin menulis tentang otakku yang sepertinya sudah mengalami penurunan fungsi. AAHH!!
Ada beberapa tanda-tandanya, antara lain:
PERTAMA: Aku naik bus yang salah. Hari ini, karena Si Supri masih betah menginap di bengkel, aku harus pergi ke Surabaya naik bus. Dengan semangat menggebu-gebu, setelah turun dari bison, aku berjalan menuju terminal bagian bus kota. Karena merasa sudah membaca jurusan yang kutuju di jendela bus, aku pun masuk ke bus. Tanpa basa-basi. Tanpa ba-bi-bu. Lamaaaa, bus belum berangkat juga. Sampai si pengamen sudah menyelesaikan dua lagu. Sampai ibu-ibu yang duduk di depanku menyelesaikan ceritanya, bahwa dia hampir dicopet dan tasnya hampir bolong karena diiris dengan silet oleh si pencopet. Lamaaaaa. Krik, krik, krik. Untuk membuang waktu, aku pun mengjak ngobrol Ibu-Ibu yang duduk di sebelahku. Begini obrolan kami:
Aku: Ibu mau kemana, Bu? (kepo banget, ya?)
Ibu-Ibu: mau pulang, Mbak, tadi dari Pasuruan. Mbaknya mau ke mana?
Aku: Mau ke kampus, Bu.
Ibu-Ibu: di mana kampusnya, Mbak?
Aku: di ITS Bu.
Ibu-Ibu: Ooh, nanti turun di Joyoboyo, ya Mbak?
Aku: Ndak Bu, di Bratang.
Ibu-Ibu: . . .
Aku: Pemberhentian paling akhir kan Bratang, Bu?
Ibu-Ibu: Ini kan bus jurusan Joyoboyo, Mbak...
Aku: Oh, hehe, salah ya, Bu? Aduh, salah, ya Bu...
Ibu-Ibu: Iya Mbak, itu bus Bratang yang di sebelah sana. (sambil nunjuk bus Bratang)
Aku: Hehe, wah ternyata salah bus. Hehe.
Dan aku langsung ngacir. Tepat ketika Pak Sopir Bus masuk ke dalam busnya. Fiuhbanget.

KEDUA: Sekarang sedang musim hujan, jelas-jelas musim hujan. Seharusnya otakku menyimpan informasi ini dengan baik, lalu meneruskannya menjadi perintah untuk membawa jas hujan, atau setidaknya jaket anti air setiap melakukan perjalanan dengan motor. Tapi aku TIDAK melakukannya. Aku tidak membawa jas hujan atau jaket anti air. Berita buruknya, hari ini aku memilih setelan kemeja dan celana jeans berwarna cerah. Hasilnya? Jangan ditanya lagi, sudah pasti bagian lengan bajuku yang tadinya cerah sekarang menjadi kecoklatan. Begitu juga dengan nasib celana jeansku yang cerah.

KETIGA: Hari ini aku harus pergi mengajar les privat untuk Rio dalam rangka persiapan UAS. Sekolah Rio selalu memberi kisi-kisi soal yang akan keluar untuk UAS. Tapi apa? Coba apa! Ternyata tiga lembar kertas bertuliskan kisi-kisi soal itu ketinggalan di rumah. Di Sidoarjo. Dan sekarang aku berada di Surabaya. Otakku menyimpan entah di mana informasi tentang kisi-kisi tersebut.

Cukup tiga gejala yang menunjukkan fakta bahwa otakku sedang mengalami penurunan. Sekarang aku lagi nginep di sekretariat SIKLUS, dan sangat mengantuk. Jadi, selamat pagi buat besok!

Rabu, 12 Desember 2012

Tentang yang Biasa dan Berharga --Si Supri

Hh.. Rangkaian kejadian dalam hidupku hari ini mirip sinetron bangeet.
Dimulai dengan mogoknya Si Supri (motorku) waktu perjalanan pulang dari ngajar les privat. Menurut perhitunganku, soalnya speedometer dan kawan-kawannya sudah gak berfungsi, bensinnya Si Supri masih aman. Tapi, kok mogok? Ah, mungkin aku yang salah perhitungan. Tanpa cek sana-sini, kudorong Si Supri menuju penjual bensin eceran terdekat. Sayangnya, arti dari kata 'terdekat' itu adalah sekitar 700 meter di depan. Huaah!
Oke, sampailah di kios bensin eceran yang kutuju. Lho, tapi kok... botolnya pada kosong? Ah, baiklah, di depan pasti ada kios bensin eceran lagi, maka dengan semangat kudorong Si Supri lebih cepat. Benar saja, beberapa meter berikutnya, kulihat kios bensin eceran. Alhamdulillah... Tapi... Setelah kuamati lagi, ternyata kios itu tutup, tidak ada botol-botol berisi bensin. Hei, jangan-jangan kelangkaan BBM sudah melanda Surabaya? Habislah kau Supri! Kasihan Si Supri, nasibnya sungguh buruk. Tanpa BBM, dia hanya akan mangkrak tak berguna sebagai besi tua.
Apa yang harus kulakukan?  Si Supri kehabisan bensin, dua kios bensin yang kutemui tidak punya stok bensin, dan pom bensin terdekat jaraknya masih berkilo-kilometer. Aargh! Pilihan? Coba kutebak, aku pasti punya pilihan. Pilihan pertama, aku akan diam saja dan menunggu seseorang datang dengan berbelas kasihan dan rela membantuku. Kedua, aku harus jalan terus, mencari bensin buat Si Supri. Ah, Ya! Pasti akan ada kios bensin eceran lagi sebelum sampai ke pom bensin yang masih berkilo-kilometer jauhnya itu.
Dengan optimisme super seperti superman, Si Supri pun kembali kudorong. Dan benarlah, beberapa menit kemudian, aku menemui kios bensin eceran yang botol-botolnya masih penuh. Alhamdulillah, ternyata kelangkaan BBM belum melanda Surabaya.
Aku menyapa Si Nenek Penjaga Kios Bensin Eceran, kita singkat saja menjadi Nenek Bensin. Nenek Bensin ternyata tidak berjualan bensin sendirian, tetapi dibantu oleh Cucu Si Nenek Penjaga Kios Bensin Eceran, kita singkat saja menjadi Cucu Bensin. Cucu Bensin dan Nenek Bensin saling bahu membahu memberi minum Si Supri dengan bensin. Pokoknya dramatis banget.
Oke, beres! Si Supri sudah gak dehidrasi, jadi dia pasti sudah sanggup berlari lagi. Kontak kuputar ke tombol on, ku pancal pedal starter nya (soalnya tombol starter Si Supri sudah gak bisa), dan.... Si Supri belum mau jalan. What's wrong???????
Ah, mungkin kurang panas. Kucoba lagi. Pancal lagi. Lagi-lagi, pancal lagi. Pancal, pancal, pancal, pancal lagi. Hhhh....
Mungkin karena kasihan melihatku, yang kelihatan putus asa, Nenek Bensin pun memanggil seseorang, "Mas, Mas, ini mbaknya dibantuin, dong.."
Sekian detik kemudian, datanglah mas-mas tegap dari dalam rumah Nenek Bensin...
Si Supri pun dipancal-pancal oleh mas-mas tegap, yang selanjutnya kita sebut saja sebagai Mas Bensin. Tapi sekuat apapun pancalan Mas Bensin, Si Supri tetep mogok. Akhirnya, Mas Bensin sampai pada kesimpulan bahwa busi nya Si Supri rusak, jadi harus diganti dengan yang baru. Aku pun, dengan perasaan deg-deg-an sambil berdoa semoga harga busi buat Si Supri tidak lebih dari Rp 20.000,- (karena cuma segitu yang ada di dompetku saat itu). Setelah berjalan agak jauh, akhirnya kutemukan bengkel yang masih menjual busi yang cocok buat Si Supri, yang katanya sudah agak jarang dijual. Dengan deg-deg-an, kutanya mas-mas penjaga bengkel, "berapa harganya mas?"
"Sepuluh ribu mbak," jawab mas-mas penjaga bengkel.
Alhamdulillah.. Masih kembali Rp 10.000,-. Masih bisa buat beli es teh. Haus bangettttt.
Aku kembali ke kios bensin dengan penuh harapan bahwa si Supri akan segera berhenti mogok jalan, dan bersedia mengantarku ke tempat tujuan berikutnya. Akan tetapi, ternyata setelah busi lama diganti dengan busi baru, Si Supri masih saja ngambek, belum mau jalan.... Aaah, Si Supri, kenapa ngambeknya di saat yang tidak tepat?
Aku frustasi. Hari ini seharusnya aku ngajar les privat tiga kali. Pertama, ngajar Ayu pukul 14.30-15.30 di Karangmenjangan. Kedua, ngajar Rio pukul 16.00-17.30 di Sukolilo. Ketiga, ngajar Eri pukul 19.00 di Sidoarjo. Ketiga adik lesku itu sedang menghadapi UAS di minggu yang sama, alhasil aku yang kerepotan membagi waktu.
Di tengah-tengah kesibukan itu, Si Supri malah ngambek gak karu-karuan. Dia malah mogok di tengah perjalananku menuju rumah Rio. Aku melirik jam di handphone. Sudah pukul 16.25. Akhirnya aku membatalkan les di rumah Rio. Maaf ya Riooo...
Si Supri masih saja mogok, meskipun Mas Bensin telah mencoba berbagai cara yang ia bisa. Akhirnya, Mas Bensin menyerah.
"Gak bisa saya, mbak," kata Mas Bensin.
"Iya deh, saya bawa ke bengkel aja ya Mas?"
"Iya deh, Mbak."
Dan kubawa Si Supri ke bengkel motor terdekat. Nah, karena persediaan uangku tinggal Rp 10.000,-, aku merasa perlu memanggil bala bantuan. Dan datanglah penyelamatku hari itu: Sulis!! Makasih. Makasih. Makasiiih. Hehehe.
Beberapa menit kemudian, setelah Si Supri diperiksa oleh Pak Bengkel, masalahnya pun ketahuan. Ternyata ada bagian kumparan di dalam 'Spul' nya Si Supri yang terbakar, sehingga karburator tidak mau menyala. Ah, entah deh. Intinya, Si Supri harus dibongkar dan baru bisa diambil keesokan harinya.
Aku menghembuskan napas.
Aku melihat motor-motor yang berlalu di jalan di depanku. Ah, seandainya Si Supri mau jalan seperti mereka... Seandainya Si Supri baik-baik saja... Seandainya Si Supri gak mogok, aku pasti bisa meluncur ke rumah Rio dan rumah Eri tanpa masalah. Seandainya Si Supri mau jalan, seperti biasa. Seperti BIASA.
Detik itu juga, aku menyadari bahwa sesuatu yang biasa akan berubah menjadi sesuatu yang amat berharga ketika sesuatu yang biasa itu hilang. Begitulah, hari itu aku belajar bahwa seharusnya kita menghargai sesuatu yang amat biasa yang sebenarnya amat berharga. Maka sejak hari itu, aku membuat kesepakatan pada diriku sendiri untuk selalu menjaga dan menghargai semua hal kecil yang terlihat biasa.
Terimakasih Supri...

Minggu, 02 Desember 2012

Goes to Jemberrrrrrrrrrrrrrrrrrr [part 2]


Baca cerita sebelumnya di sini.

Oke. Adegan tadi hanya berarti, mengapa mereka (Slow, Beuh, Bambu) tega tidak membangunkan kami (aku, Nurma, Sulis) pukul 01.00 tadi? Karena mereka (Slow, Beuh, Bambu) khilaf tertidur sampai pukul 03.00. Oleh karena itu, mereka (Slow, Beuh, Bambu) harus bertanggung jawab untuk segera membawa kami (aku, Nurma, Sulis) pergi ke Pantai Papuma.
Setelah subuh dan bersiap-siap, kami pun berangkat ke Pantai Papuma. Sekitar pukul 06.00, sampailah kami di Pantai yang terkenal dengan batuan besarnya yang indah.

Pantai Papuma sangat indah. Air pantainya hijau kebiruan. Pasirnya putih, tetapi tidak lebih putih dari baju putih yang dicuci pakai R*NSO. Ombaknya tidak terlalu rendah, juga tidak terlalu tinggi. Beberapa meter dari pantai, ada beberapa bebatuan besar dan tinggi yang muncul dari dasar laut. Inilah yang menjadi ciri khas Pantai Papuma. Beberapa batu besar dengan ajaib menumpang di atas batu lainnya yang lebih kecil. 

salah satu batu besar yang menjadi icon Pantai Papuma. (ki-ka: nurma, aku)

menikmati ombak Papuma (ki-ka: Slow, aku, Bambu, Nurma)
Pantai Papuma membentang panjang dan melengkung. Untuk mencapai bagian lengkungan lainnya, kami mengendarai motor dengan sedikit nge-track, karena jalannya meninggi. Di bagian ini, rupanya pantai dan daratan dipisahkan oleh semacam tebing tanah berbatu yang tingginya dua sampai tiga meter. Kami menuruni tebing itu, dan bermain sepuasnya di pantai. *pokoknya-fiuh-banget-deh-kalau-sudah-sampai-di-sini*
Setelah basah-basahan, kami memutuskan untuk melihat-lihat ke bagian tebing yang lebih tinggi. Di bagian tebing yang lebih tinggi ini, kami bisa melihat bentangan pantai yang ternyata sangat panjang. Di salah satu bagian bentangan pantai, ada sebuah daratan yang terbentuk oleh batuan yang menjorok ke laut. Bagian yang menjorok itu terlihat sangat besar. Namun, ketika kami bergerak naik ke dataran yang lebih tinggi lagi, bagian itu terlihat kecil. Semakin tinggi, semakin kecil. Memberiku pemahaman tentang betapa agungnya Sang Maha Pencipta. 
batu yang menjadi ciri khas Pantai Papuma (ki-ka: aku, Sulis, Bambu, Nurma, Beuh)

bebatuan terlihat kecil, karena gambar diambil dari tebing yang lebih tinggi
Pantai Papuma indah sekali. Sempurna. Hanya satu kekurangannya: airnya tetep asin (Yaiyalah, namanya juga laut -_-).
Puas di Pantai Papuma, pukul 09.00 kami pun kembali ke basecamp BEKISAR. Setelah mandi, dhuhur dan makan, kami melanjutkan pencarian bangsa kerang dan semut di sebuah tempat yang disebut Rembangan. Konon, Rembangan adalah payungnya kabupaten Jember. Aku sempat mengira Rembangan terletak di persimpangan jalan yang gemerlap dengan lampu di malam hari. Tapi ternyata, Rembangan terletak di dataran tinggi, dimana kami bisa melihat kabupaten Jember yang lebih banyak hijaunya daripada gedungnya. Di Rembangan, berjajar warung-warung yang menjual minuman dan makanan ringan, hampir seperti warung-warung di Pantai Kenjeran. Bedanya, di Rembangan tidak ada warung yang menjual kupang (makanan khas Sidoarjo, bukan Surabaya lho!) seperti yang banyak dijual di warung-warung Pantai Kenjeran. Beberapa warung di Rembangan memiliki tempat lesehan yang disekat-sekat sempit seperti kandang ayam. Rupanya sekat-sekat itu berfungsi untuk “menghormati privasi” setiap pasangan yang akan menghabiskan waktu luang di sana. Memang ruang lesehan yang disekat itu hanya cukup untuk dua orang. Ternyata para pasangan yang memadu kasih di Rembangan lebih di-fasilitas-i daripada di Pantai Kenjeran. Sudah cukup sering ditemukan para pasangan yang menghabiskan waktu luangnya di Kenjeran harus bersembunyi di balik semak atau pohon, entah sedang berkegiatan apa. Lepas dari lesehan bersekat itu, Rembangan adalah objek wisata yang indah dan hijau. Sayangnya, waktu itu kami pergi ke Rembangan sore hari, padahal menurut narasumber pemandangan dari atas sini jauh lebih indah di malam hari karena lampu-lampu yang menyala di bawah sana.
Sebelum mengikuti rombongan pergi ke Rembangan, aku sempat diajak Slow pergi ke suatu tempat. Wow, rupanya tempat itu adalah kandang bebek. Ternyata, selain bersahabat dengan bangsa lele, Slow juga bersahabat dengan bangsa bebek. Jangan-jangan, bangsa bebek betina dan bangsa lele betina sedang memperebutkan Slow untuk menjadikannya bapak dari anak-anak mereka? Apapun itu, Slow layak diacungi jempol karena memiliki jiwa wirausaha yang oke.
Setelah merasa cukup menghabiskan waktu di Rembangan, kami kembali ke basecamp BEKISAR. Awal rencana, kami akan pulang sore itu setelah sholat ashar, ternyata si empunya basecamp tidak mempersilakan kami pulang sebelum menjajal wedang khas yang terkenal di Kabupaten Jember: Wedang Cor.
Kami tidak perlu menyesal pulang larut malam, sebab wedang cor memang lain, belum pernah kami temukan di Surabaya. Wedang cor [sepertinya] dibuat dari wedang jahe yang dicampur dengan susu kental manis, ditambah dengan tape ketan hitam yang semakin menghangatkannya. Segelas wedang cor saja sudah membuat kami amat kenyang. Selesai menikmati wedang cor, kami pun pulang naik bus menuju Surabaya.
Aku sampai di rumah pukul 02.00. Terimakasih buat Ayah dan Mama yang mau jemput aku dini hari di jalan arteri Porong. Hehe.
Jember sangat menyenangkan. Terimakasih buat para personil BEKISAR yang sudah mengajak kami pergi ke tempat-tempat yang indah dan menyenangkan, juga atas sambutan yang luar biasa ramah. Semoga tali silaturahmi kita tidak akan pernah terputus. Aamiin. I’m waitin for your visiting to Surabaya, Pantai Kenjeran yang penuh dengan “fenomena” pun menunggu kalian. Hahaha.

PS: foto kelihatan gak maksimal karena menggunakan kamera beresolusi rendah.

Goes to Jemberrrrrrr [part 1]


Perjalanan kami sore itu dimulai dengan adegan semacam Rangga-Cinta di film “Ada Apa dengan Cinta?”. Bedanya, lokasi kejar-kejarannya bukan di Bandara, melainkan di Stasiun Gubeng Surabaya. Bedanya lagi, aku dan temanku tidak sedang mengejar pacar atau gebetan, tetapi mengejar waktu keberangkatan kereta.
Peserta perjalanan Goes to Jember kali ini berjumlah empat orang, aku dan tiga orang temanku (Zahro, Nurma, dan Sulis). Aku dan Zahro sudah berencana pergi ke Jember untuk menghadiri acara diesnatalis organisasi Mapala (mahasisawa pencinta alam) Politeknik Jember a.k.a. BEKISAR, jadi kami sudah membeli tiket kereta dua hari sebelum keberangkatan. Lucunya, beberapa jam sebelum keberangkatan, aku dan Zahro berhasil menghasut Nurma dan Sulis untuk bergabung bersama kami: Goes to Jember.
Maka di hari keberangkatan, Zahro dan Nurma berangkat ke stasiun lebih awal untuk membeli dua tiket tambahan. Sedangkan aku dan Sulis masih harus melakukan beberapa hal di kampus.
Jam keberangkatan kereta yang tertera pada tiket waktu itu adalah pukul 13.50. Perjalanan dengan motor dari kampus ke stasiun membutuhkan waktu paling tidak lima belas menit. Sedangkan, aku dan Sulis baru saja menyelesaikan urusan kami pukul 13.35. Pas, lima belas menit. Tapi sayangnya masih kepotong dengan waktu sholat yang mungkin lebih dari lima menit. Jadi, aku dan Sulis hanya punya waktu kurang dari sepuluh menit untuk bisa sampai ke stasiun. Alhasil, kami harus ngebut gak karu-karuan di jalan.
Di tengah kebut-kebutan itu, Zahro menelepon, “Mbak, nanti kalau kereta nya udah berangkat, kamu sama Mbak Sulis naik bus atau kereta yang jam tiga aja ya?”
*huftbanget*
Sesampainya di stasiun kami mendapat satu kabar baik dan satu kabar buruk. Kabar baiknya, kereta datang terlambat! *fiuhbangetdeh*. Kabar buruknya, tiket kereta sudah habis, jadi terpaksa Nurma dan Sulis harus berangkat naik bus, gak bareng sama aku dan Zahro.

Setelah kurang dari lima jam perjalanan, kereta pun berhenti di stasiun Jember. Kami –aku dan Zahro, memutuskan untuk sholat Magrib dan Isyak sekalian mandi di stasiun. Biar seger, soalnya kami sudah amat kegerahan akibat beradegan Ada Apa dengan Cinta. Patut di-like this, kamar mandi stasiun Jember sangat bersih dan wangi.
Setelah dandan maksimal (padahal cuma pakai pelembab, bedak dan parfum), dua orang personil BEKISAR datang menjemput kami, namanya Beuh dan Kecambah. Nama Beuh diambil dari bahasa Madura yang berarti bau. Iya, BAU. Bau yang gak sedap. Sedangkan nama Kecambah diambil dari salah satu nama sayur: kecambah alias toge. Hahaha. Jangan heran deh, itu memang salah satu tradisi mapala, memberi nama lapangan (yang selalu aneh) kepada setiap anggotanya. Tapi istimewa buat aku dan teman-teman di SIKLUS, karena kami tidak membudidayakan tradisi satu itu.
AH, back to the...
Kami segera bergegas ke basecamp BEKISAR.
Rupanya acara diesnatalis sudah akan dimulai saat kami tiba. Ohya, ngomong-ngomong Nurma dan Sulis masih dalam perjalanan di dalam bus. Acara berlangsung menyenangkan, dimulai dengan sambutan-sambutan, dilanjutkan dengan pembacaan kode etik pencinta alam, pembacaan doa, ucapan selamat dari perwakilan organisasi yang diundang, dan diakhiri dengan ramah tamah yang terdiri dari acara makan dan konser kecil-kecilan. Konser diisi oleh band-band yang cukup terkenal di Jember dan kalangan mapala Jawa Timur. Ada satu band indie yang patut diacungi jempol, namanya TAMASYA. Tamasya Band cukup terkenal di kalangan mapala Jawa Timur, tapi mungkin di luar jawa timur juga cukup wellknown. Lagu-lagu Tamasya Band berisi seputar alam dan kehidupan mapala. Begini  penggalan lirik salah satu lagunya yang berjudul “Periculum in mora”:
bila nanti pohon terakhir, telah tumbang dan gak ada pohon yang lain
bila nanti burung terakhir, telah tertembak mati dan gak ada lagi
oh ya, oh ya
gak ada waktu lagi tuk menanti, gak ada lagi kicau burung bernyanyi
yang ada hanya uang, hanya perhiasan
yang ada hanyalah lukisan, lukisan pemandangan

Basecamp BEKISAR terletak di gedung pusat kegiatan mahasiswa Polije (Politeknik Jember), berjajar dengan basecamp UKM lain. Beruntung karena ada beberapa ruang yang masih kosong, jadi malam itu, kami, para wanita, menginap di salah satu ruang kosong.
Esoknya, kami menghabiskan waktu di tiga tempat berbeda. Pertama, tentu saja di basecamp BEKISAR. Setelah bangun subuh, lalu solat subuh, lalu tidur lagi, lalu bangun lagi, lalu sarapan, lalu ngobrol, lalu nonton TV, lalu tidur lagi, lalu bangun lagi, lalu dhuhur, lalu akhirnya pindah ke tempat kedua: kolam lele muda milik calon eksekutif muda lele muda! Panggil saja si eksmud ini dengan nama Slow (singkatan dari Slobena, silakan cari sendiri arti nama ini, karena huffbanget).
Kenapa tempatnya disebut kolam lele muda? Karena kolam tersebut memang berisi lele-lele muda berumur beberapa hari. Kenapa disebut eksekutif muda? Sebenarnya ini agak fitnah, tapi harus ada penghormatan bagi sodara Slow. Tidak enak juga kalau disebut eksekutif tua.
kolam lele muda milik eksekutif muda lele muda (ki-ka: Slow, aku)
Mulanya, kami berniat memancing lele yang agak besar untuk dimasak.  Tapi akhirnya peri ke-lele-an kami pun muncul, ketika seekor lele membujuk kami untuk tidak memakannya. “Tuan Slow, biarkan kami tumbuh dewasa dengan cantik, dan kami akan melahirkan anak-anak, menjadi ibu bagi anak-anakmu,” begitu kata si lele betina. Tuan Slow terbujuk oleh rayuan si lele betina yang ternyata bersedia menjadi ibu bagi anak-anaknya. Akhirnya, dengan rasa senang yang meluap-luap, Slow pun membiarkan si-lele-betina-calon-ibu-bagi-anak-anaknya untuk kembali menghirup air tidak segar di kolam lele muda. Kami sangat terharu ketika melihat adegan Slow yang mengembalikan si-lele-betina-calon-ibu-bagi-anak-anaknya ke dalam kolam. Adegan itu sungguh lebih mengharukan daripada adegan bandara nya Cinta dan Rangga.
Setelah puas memberi makan para lele muda, kami bermigrasi ke tempat ketiga: Rumah Beuh. Rumah Beuh sangat nyaman, ditambah lagi ada mushola yang luasnya melebihi ruang tamunya. Maka kami sholat ashar lalu magrib lalu isyak di mushola ini.
Setelah menghabiskan hidangan yang super enak dan super banyak, kami pun beranjak ke tempat ketiga: Gumuk Kerang. Ternyata kabupaten Jember terkenal oleh gumuk-gumuknya yang amat banyak menghias angkasa, aku ingin terbang dan menari, jauh tinggi ke tempat Kau berada. Lho bukan, gumuk bukan berarti bintang, melainkan bukit. Karena banyak gumuk yang bertempat di kabupaten Jember, maka kabupaten Jember juga dijuluki sebagai kota seribu gumuk. Sayang sekali, ternyata gumuk-gumuk itu sudah mulai banyak di eksploitasi, diambil pasirnya, atau diratakan untuk dijadikan pemukiman. Berkuranglah gumuk-gumuk itu.
Salah satu gumuk itu diberi nama Gumuk Kerang, karena mungkin dulunya ada sekumpulan kerang yang bisa terbang dan memutuskan untuk pindah dari Bikini Bottom ke Gumuk sebelum mereka semua diadopsi oleh Patrick dan Sponge Bob.
Gumuk kerang tidak terlalu tinggi, tetapi cukup untuk melihat keindahan lampu-lampu yang menghiasai malamnya Jember. Kami berdiam sejenak di puncak Gumuk Kerang. Menikmati selimut malam yang dingin. Membiarkan angin membelai wajah kami. Merelakan kaki-kaki kami digigit semut. Ternyata bangsa semut dan kerang sudah bersatu untuk melindungi Gumuk Kerang. Serangan semut itu pun membuat kami memutuskan untuk segera turun dari Gumuk Kerang, kembali menuju ke tempat kedua.
Kami menghabiskan malam di tempat kedua. Rencananya, kami akan berangkat ke Pantai Papuma pukul 01.00 dini hari agar dapat melihat sunrise. Tetapi karena Tuan Slow tertidur bersama bangsa lele, bangsa semut dan bangsa kerang, kami pun ikutan tertidur. Akhirnya dunia kembali damai, karena bangsa manusia dan bangsa semut-kerang-lele tidak saling menyerang.
Pukul 03.00 dini hari, aku terbangun dan mendapati aku sedang tergeletak di kamar Beuh bersama Nurma dan Sulis. Ohya, Zahro sudah pulang ke Surabaya lebih dulu untuk membantu Power Rangers melawan Gorgon. Tunggu, kami, para gadis berada dalam kamar laki-laki? Apa yang... Oh, tidak! Bagaimana bisa? Aku berteriak tercekat... Mula-mula Nurma bangun, lalu Sulis, lalu Beuh, lalu Slow, lalu Bambu (personil yang bergabung sejak kami pergi menuju tempat pertama), lalu bangsa lele, lalu bangsa semut, lalu bangsa kerang... Dunia kembali kacau.
“Mengapa kalian tega?” tanyaku.
“Tapi kami...” kata Beuh.
“Kami khilaf...” kata Slow.
“Sudahlah, nasi sudah menjadi bubur...” kata Bambu.
“Kalian harus bertanggung jawab...” kata Nurma.
“Benar. Cepat bawa kami pergi...” kata Sulis.

Mau tahu apa yang sudah dilakukan Beuh, Bambu, dan Slow kepada kami?
Baca kelanjutannya di sini.

PS: ada foto-foto yang lain di part 2.