Mungkin inilah
saat-saat aku merasa paling tidak tertata dalam kehidupanku. Aku berjalan tanpa
arah. Plin-plan dengan semua rencana yang sudah kususun. Sama sekali tidak ada
komitmen untuk melakukannya. Rutinitas yang membosankan dan menyebalkan, ingin
segera kuubah.
Lihatlah kamarku, semrawut.
Pakaian kotor memang masih sudi masuk ke kontainernya, tapi tutup kontainer itu
tidak tertutup dengan rapi. Pakaian kotorku menumpuk, sudah dua minggu tidak
dicuci.
Aku seperti orang
yang tidak punya cita-cita, padahal sebenarnya cita-citaku banyaaaak sekali,
baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sama sekali tidak ada usaha untuk
melaksanakan semua yang sudah kususun.
Akhir-akhir ini, aku
selalu tidur lagi setelah subuh, bangun minimal pukul 08.00, ngendon di kamar lama (membaca novel
atau sekedar mengudara di internet), keluar kamar untuk sarapan dan mandi,
ngobrol sebentar dengan Ibuk, lalu masuk kamar lagi, membaca novel atau
mengudara lagi sampai ketiduran lagi.
Kalau harus ke
kampus, paling berangkat siang. Pokoknya, aku sudah males banget pergi ke
kampus, selain merasa jadi mahasiswa paling tua, juga merasa sudah gak berguna
di sana. Mampir ke basecamp SIKLUS, paling cuma untuk numpang istirahat sebelum
pergi ngajar les. Aku merasa menjadi manusia tidak berguna bagi manusia
lainnya. Oh oke, murid lesku mungkin masih menganggapku berguna, karena bisa
bantu mereka jawab soal-soal yang mereka nggak ngerti. Tapi kan, ngajar les
dibayar. Maksudku, aku ingin menjadi manusia yang berguna tanpa harus dibayar.
Aku sedang vakum.
Bukan.
Ah, entahlah.
Bahkan untuk
merasakan lebih lanjut apa yang sebenarnya ingin kucari pun aku malas. Sebagian
diriku telah berkhianat kepada sebagian lainnya. Aku sedang takut menghadapi masa depan. Aku takut tidak mampu.
Hmm, sebagai
informasi, aku sedang menempuh semester sembilan, tapi sudah rampung tugas
akhir. Kegiatanku yang paling nyata adalah bahwa aku sedang menunggu ijazah
yang baru bisa kupegang bulan Maret 2013. Saat ini adalah masa-masa peralihan.
Jadi, aku takut
menghadapi masa depanku setelah ini. Banyak kekhawatiran yang membayang-bayang:
aku khawatir tidak akan mendapat kerja, aku khawatir tidak akan memenuhi harapan
orang tua, aku khawatir cita-citaku hanya akan mengendap sebagai cita-cita
tanpa realita.
Aku menyesal telah menghabiskan
masa kuliah yang lebih lama daripada waktu normalnya, tanpa ada satu prestasi
pun yang bisa kubanggakan. Rasa-rasanya aku iri kepada sahabatku Norma yang
menjadi juara di kompetisi menulis EKSPEDISI CINCIN API KOMPAS, atau Nurma yang
berhasil masuk nominasi CSL (Climate Smart Leader) 2012. Apa aku harus ganti
nama jadi Nirma dulu biar bisa berprestasi mirip Nurma dan Norma?
Sekarang aku hanya
menjadi sarjana Kimia yang payah dan tidak berkarakter seperti yang sedang
panas-panasnya dibahas di lingkungan kampusku. Aku merasa sangat, sangat,
sangat payah. Seperti pecundang.
Oke, tulisan ini
sebenarnya kubuat untuk menenangkan diriku sendiri. Mencoba jujur kepada diri
sendiri adalah jalan satu-satunya untuk melihat apa yang sebenarnya ingin kukejar.
Aku sudah tahu dengan pasti apa cita-citaku, yaitu menjadi penulis yang menulis
cerita yang berisi, tidak kosong tapi asyik. Tapi, ah, setiap kali aku
menghadapi layar PC yang membentangkan jendela microsoft words, setiap kali aku
ingin menuangkan ideku lewat rentetan kata dan kalimat, setiap kali aku mencoba
tenang dan menulis, otakku mengalami kemacetan yang lebih parah daripada
jalanan Jakarta saat banjir. Akhirnya,
yang keluar dari otakku hanya cerita tidak bermutu yang kekanakan dan tidak
berisi.
Maka aku memutuskan
untuk tidak menulis dalam beberapa waktu. Tapi, ah, aku selalu terpanggil lagi
untuk menulis, meskipun sebenarnya aku belum tahu persis harus menulis cerita
apa. Akhirnya, aku menghabiskan waktu berjam-jam di depan PC, dengan percuma. Microsoft
word itu masih kosong dengan cerita berisi. Lagi-lagi, yang meluncur dari
otakku hanya cerita kekanakan yang bahkan tidak sampai pada akhir cerita.
Kehidupanku sedang
semrawut.
Tengah malam begini,
aku jadi mengingat saat masih sekolah dulu. Rasanya gampang sekali mewujudkan
cita-cita. Seperti ketika aku SD, aku bercita-cita masuk SMP favorit, dan puff namaku berada di urutan teratas di
daftar siswa SMP itu. Lalu ketika SMP, aku bercita-cita masuk SMA favorit, dan
lagi-lagi puff namaku masuk di daftar
siswa baru (meskipun nggak di urutan teratas lagi). Terakhir, ketika aku SMA
dan mau masuk ke kampusku ini, tidak terlalu puff, karena harus belajar intensif sebelum ujian masuk. Tapi
hasilnya tetap memuaskan, setidaknya untuk diriku dan orang tuaku.
Dulu, aku merasa
semua puff-puff itu hanya kebetulan
bahwa Tuhan sedang baik padaku. Tapi setelah diingat-ingat lagi, sebenarnya di
balik puff-puff itu aku pun berusaha. Tetapi berusaha dengan pikiran yang lugu.
Saat itu aku hanya tahu perbandingan lurus yang menyatakan bahwa semakin banyak
berusaha, semakin bagus hasilnya. Otak luguku tidak pernah memikirkan faktor X
yang mungkin terjadi. Aku hanya perlu percaya dan berdoa, lalu puff. Semua itu terasa puff ketika bersungguh-sungguh...
Sekarang? Semua puff itu terasa beribu-ribu lebih berat
setelah aku mulai mengenal faktor X. Aku khawatir akan gagal. Aku khawatir
usahaku akan sia-sia. Aku tidak lagi mengenal perbandingan lurus, tetapi
sesuatu yang acak, yang tidak mampu diprediksi.
*pokoknyahuffbanget*
Sekarang aku sedang
semrawut, hidup tanpa perjuangan.
Aku tahu, mungkin
hanya motivasi dan kepercayaan yang sedang kubutuhkan.
Ah, biarkan aku
memperbaiki diriku dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih ^^