Baca cerita sebelumnya di sini.
Oke. Adegan tadi hanya
berarti, mengapa mereka (Slow, Beuh, Bambu) tega tidak membangunkan kami (aku,
Nurma, Sulis) pukul 01.00 tadi? Karena mereka (Slow, Beuh, Bambu) khilaf
tertidur sampai pukul 03.00. Oleh karena itu, mereka (Slow, Beuh, Bambu) harus bertanggung
jawab untuk segera membawa kami (aku, Nurma, Sulis) pergi ke Pantai Papuma.
Setelah subuh dan
bersiap-siap, kami pun berangkat ke Pantai Papuma. Sekitar pukul 06.00, sampailah
kami di Pantai yang terkenal dengan batuan besarnya yang indah.
Pantai Papuma sangat indah. Air pantainya hijau kebiruan. Pasirnya putih, tetapi tidak lebih putih dari baju putih yang dicuci pakai R*NSO. Ombaknya tidak terlalu rendah, juga tidak terlalu tinggi. Beberapa meter dari pantai, ada beberapa bebatuan besar dan tinggi yang muncul dari dasar laut. Inilah yang menjadi ciri khas Pantai Papuma. Beberapa batu besar dengan ajaib menumpang di atas batu lainnya yang lebih kecil.
![]() | |||||
salah satu batu besar yang menjadi icon Pantai Papuma. (ki-ka: nurma, aku) |
![]() |
menikmati ombak Papuma (ki-ka: Slow, aku, Bambu, Nurma) |
Setelah basah-basahan,
kami memutuskan untuk melihat-lihat ke bagian tebing yang lebih tinggi. Di
bagian tebing yang lebih tinggi ini, kami bisa melihat bentangan pantai yang ternyata
sangat panjang. Di salah satu bagian bentangan pantai, ada sebuah daratan yang
terbentuk oleh batuan yang menjorok ke laut. Bagian yang menjorok itu terlihat
sangat besar. Namun, ketika kami bergerak naik ke dataran yang lebih tinggi
lagi, bagian itu terlihat kecil. Semakin tinggi, semakin kecil. Memberiku
pemahaman tentang betapa agungnya Sang Maha Pencipta.
Pantai Papuma indah
sekali. Sempurna. Hanya satu kekurangannya: airnya tetep asin (Yaiyalah,
namanya juga laut -_-).
![]() |
batu yang menjadi ciri khas Pantai Papuma (ki-ka: aku, Sulis, Bambu, Nurma, Beuh) |
![]() |
bebatuan terlihat kecil, karena gambar diambil dari tebing yang lebih tinggi |
Puas di Pantai Papuma,
pukul 09.00 kami pun kembali ke basecamp BEKISAR. Setelah mandi, dhuhur dan
makan, kami melanjutkan pencarian bangsa kerang dan semut di sebuah tempat yang
disebut Rembangan. Konon, Rembangan adalah payungnya kabupaten Jember. Aku
sempat mengira Rembangan terletak di persimpangan jalan yang gemerlap dengan
lampu di malam hari. Tapi ternyata, Rembangan terletak di dataran tinggi,
dimana kami bisa melihat kabupaten Jember yang lebih banyak hijaunya daripada
gedungnya. Di Rembangan, berjajar warung-warung yang menjual minuman dan
makanan ringan, hampir seperti warung-warung di Pantai Kenjeran. Bedanya, di
Rembangan tidak ada warung yang menjual kupang (makanan khas Sidoarjo, bukan
Surabaya lho!) seperti yang banyak dijual di warung-warung Pantai Kenjeran. Beberapa
warung di Rembangan memiliki tempat lesehan yang disekat-sekat sempit seperti
kandang ayam. Rupanya sekat-sekat itu berfungsi untuk “menghormati privasi” setiap
pasangan yang akan menghabiskan waktu luang di sana. Memang ruang lesehan yang
disekat itu hanya cukup untuk dua orang. Ternyata para pasangan yang memadu
kasih di Rembangan lebih di-fasilitas-i daripada di Pantai Kenjeran. Sudah
cukup sering ditemukan para pasangan yang menghabiskan waktu luangnya di
Kenjeran harus bersembunyi di balik semak atau pohon, entah sedang berkegiatan
apa. Lepas dari lesehan bersekat itu, Rembangan adalah objek wisata yang indah
dan hijau. Sayangnya, waktu itu kami pergi ke Rembangan sore hari, padahal
menurut narasumber pemandangan dari atas sini jauh lebih indah di malam hari
karena lampu-lampu yang menyala di bawah sana.
Sebelum mengikuti rombongan
pergi ke Rembangan, aku sempat diajak Slow pergi ke suatu tempat. Wow, rupanya
tempat itu adalah kandang bebek. Ternyata, selain bersahabat dengan bangsa
lele, Slow juga bersahabat dengan bangsa bebek. Jangan-jangan, bangsa bebek
betina dan bangsa lele betina sedang memperebutkan Slow untuk menjadikannya
bapak dari anak-anak mereka? Apapun itu, Slow layak diacungi jempol karena
memiliki jiwa wirausaha yang oke.
Setelah merasa cukup
menghabiskan waktu di Rembangan, kami kembali ke basecamp BEKISAR. Awal
rencana, kami akan pulang sore itu setelah sholat ashar, ternyata si empunya
basecamp tidak mempersilakan kami pulang sebelum menjajal wedang khas yang
terkenal di Kabupaten Jember: Wedang Cor.
Kami tidak perlu
menyesal pulang larut malam, sebab wedang cor memang lain, belum pernah kami
temukan di Surabaya. Wedang cor [sepertinya] dibuat dari wedang jahe yang
dicampur dengan susu kental manis, ditambah dengan tape ketan hitam yang
semakin menghangatkannya. Segelas wedang cor saja sudah membuat kami amat
kenyang. Selesai menikmati wedang cor, kami pun pulang naik bus menuju
Surabaya.
Aku sampai di rumah
pukul 02.00. Terimakasih buat Ayah dan Mama yang mau jemput aku dini hari di
jalan arteri Porong. Hehe.
Jember sangat
menyenangkan. Terimakasih buat para personil BEKISAR yang sudah mengajak kami
pergi ke tempat-tempat yang indah dan menyenangkan, juga atas sambutan yang
luar biasa ramah. Semoga tali silaturahmi kita tidak akan pernah terputus.
Aamiin. I’m waitin for your visiting to Surabaya, Pantai Kenjeran yang penuh
dengan “fenomena” pun menunggu kalian. Hahaha.
PS: foto kelihatan gak maksimal karena menggunakan kamera beresolusi rendah.
PS: foto kelihatan gak maksimal karena menggunakan kamera beresolusi rendah.
nice ky,
BalasHapus;-)
nah, yg anonim kedua iki sopo? -_-
BalasHapus