Jumat, 30 November 2012

SEMRAWUT


Mungkin inilah saat-saat aku merasa paling tidak tertata dalam kehidupanku. Aku berjalan tanpa arah. Plin-plan dengan semua rencana yang sudah kususun. Sama sekali tidak ada komitmen untuk melakukannya. Rutinitas yang membosankan dan menyebalkan, ingin segera kuubah.
Lihatlah kamarku, semrawut. Pakaian kotor memang masih sudi masuk ke kontainernya, tapi tutup kontainer itu tidak tertutup dengan rapi. Pakaian kotorku menumpuk, sudah dua minggu tidak dicuci.
Aku seperti orang yang tidak punya cita-cita, padahal sebenarnya cita-citaku banyaaaak sekali, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sama sekali tidak ada usaha untuk melaksanakan semua yang sudah kususun.
Akhir-akhir ini, aku selalu tidur lagi setelah subuh, bangun minimal pukul 08.00, ngendon di kamar lama (membaca novel atau sekedar mengudara di internet), keluar kamar untuk sarapan dan mandi, ngobrol sebentar dengan Ibuk, lalu masuk kamar lagi, membaca novel atau mengudara lagi sampai ketiduran lagi.
Kalau harus ke kampus, paling berangkat siang. Pokoknya, aku sudah males banget pergi ke kampus, selain merasa jadi mahasiswa paling tua, juga merasa sudah gak berguna di sana. Mampir ke basecamp SIKLUS, paling cuma untuk numpang istirahat sebelum pergi ngajar les. Aku merasa menjadi manusia tidak berguna bagi manusia lainnya. Oh oke, murid lesku mungkin masih menganggapku berguna, karena bisa bantu mereka jawab soal-soal yang mereka nggak ngerti. Tapi kan, ngajar les dibayar. Maksudku, aku ingin menjadi manusia yang berguna tanpa harus dibayar.
Aku sedang vakum.
Bukan.
Ah, entahlah.
Bahkan untuk merasakan lebih lanjut apa yang sebenarnya ingin kucari pun aku malas. Sebagian diriku telah berkhianat kepada sebagian lainnya. Aku sedang takut  menghadapi masa depan. Aku takut tidak mampu.
Hmm, sebagai informasi, aku sedang menempuh semester sembilan, tapi sudah rampung tugas akhir. Kegiatanku yang paling nyata adalah bahwa aku sedang menunggu ijazah yang baru bisa kupegang bulan Maret 2013. Saat ini adalah masa-masa peralihan.
Jadi, aku takut menghadapi masa depanku setelah ini. Banyak kekhawatiran yang membayang-bayang: aku khawatir tidak akan mendapat kerja, aku khawatir tidak akan memenuhi harapan orang tua, aku khawatir cita-citaku hanya akan mengendap sebagai cita-cita tanpa realita.
Aku menyesal telah menghabiskan masa kuliah yang lebih lama daripada waktu normalnya, tanpa ada satu prestasi pun yang bisa kubanggakan. Rasa-rasanya aku iri kepada sahabatku Norma yang menjadi juara di kompetisi menulis EKSPEDISI CINCIN API KOMPAS, atau Nurma yang berhasil masuk nominasi CSL (Climate Smart Leader) 2012. Apa aku harus ganti nama jadi Nirma dulu biar bisa berprestasi mirip Nurma dan Norma?
Sekarang aku hanya menjadi sarjana Kimia yang payah dan tidak berkarakter seperti yang sedang panas-panasnya dibahas di lingkungan kampusku. Aku merasa sangat, sangat, sangat payah. Seperti pecundang.
Oke, tulisan ini sebenarnya kubuat untuk menenangkan diriku sendiri. Mencoba jujur kepada diri sendiri adalah jalan satu-satunya untuk melihat apa yang sebenarnya ingin kukejar. Aku sudah tahu dengan pasti apa cita-citaku, yaitu menjadi penulis yang menulis cerita yang berisi, tidak kosong tapi asyik. Tapi, ah, setiap kali aku menghadapi layar PC yang membentangkan jendela microsoft words, setiap kali aku ingin menuangkan ideku lewat rentetan kata dan kalimat, setiap kali aku mencoba tenang dan menulis, otakku mengalami kemacetan yang lebih parah daripada jalanan Jakarta saat banjir.  Akhirnya, yang keluar dari otakku hanya cerita tidak bermutu yang kekanakan dan tidak berisi.
Maka aku memutuskan untuk tidak menulis dalam beberapa waktu. Tapi, ah, aku selalu terpanggil lagi untuk menulis, meskipun sebenarnya aku belum tahu persis harus menulis cerita apa. Akhirnya, aku menghabiskan waktu berjam-jam di depan PC, dengan percuma. Microsoft word itu masih kosong dengan cerita berisi. Lagi-lagi, yang meluncur dari otakku hanya cerita kekanakan yang bahkan tidak sampai pada akhir cerita.
Kehidupanku sedang semrawut.
Tengah malam begini, aku jadi mengingat saat masih sekolah dulu. Rasanya gampang sekali mewujudkan cita-cita. Seperti ketika aku SD, aku bercita-cita masuk SMP favorit, dan puff namaku berada di urutan teratas di daftar siswa SMP itu. Lalu ketika SMP, aku bercita-cita masuk SMA favorit, dan lagi-lagi puff namaku masuk di daftar siswa baru (meskipun nggak di urutan teratas lagi). Terakhir, ketika aku SMA dan mau masuk ke kampusku ini, tidak terlalu puff, karena harus belajar intensif sebelum ujian masuk. Tapi hasilnya tetap memuaskan, setidaknya untuk diriku dan orang tuaku.
Dulu, aku merasa semua puff-puff itu hanya kebetulan bahwa Tuhan sedang baik padaku. Tapi setelah diingat-ingat lagi, sebenarnya di balik puff-puff itu aku pun berusaha. Tetapi berusaha dengan pikiran yang lugu. Saat itu aku hanya tahu perbandingan lurus yang menyatakan bahwa semakin banyak berusaha, semakin bagus hasilnya. Otak luguku tidak pernah memikirkan faktor X yang mungkin terjadi. Aku hanya perlu percaya dan berdoa, lalu puff. Semua itu terasa puff ketika bersungguh-sungguh...
Sekarang? Semua puff itu terasa beribu-ribu lebih berat setelah aku mulai mengenal faktor X. Aku khawatir akan gagal. Aku khawatir usahaku akan sia-sia. Aku tidak lagi mengenal perbandingan lurus, tetapi sesuatu yang acak, yang tidak mampu diprediksi.
*pokoknyahuffbanget*
Sekarang aku sedang semrawut, hidup tanpa perjuangan.
Aku tahu, mungkin hanya motivasi dan kepercayaan yang sedang kubutuhkan.
Ah, biarkan aku memperbaiki diriku dulu.

Jumat, 23 November 2012

Sang Penguasa



aku ingin menyatu bersama alam
meluruh menjadi partikel terkecil dan terbang bersama udara
hinggap di tempat-tempat tak tentu
menjadi bagian dari yang tak terlihat, namun bisa merasa
melayang dalam malam
naik turun bersama ritme Sang Penguasa

aku ingin mengembun dalam hujan
berseru saat menukik jatuh bersama butiran lainnya
mendarat di tempat-tempat tak tentu
berselancar di dalam takdir Sang Penguasa

aku ingin membaur bersama cahaya
menyusuri lorong gelap
sampai di tempat-tempat tak tentu
jatuh di permukaan kristal
membias menjadi pecahan energi
menari dalam warna-warni
mendengar seruan gembira mereka saat melihatku
bersyukur atas pemberian Sang Penguasa

Senin, 19 November 2012

Bermain bersama hujan


Sore itu hujan. Akhirnya. Setelah mendung yang lama menggelayut di langit pulau di utara Surabaya: Madura.
Sabtu, 17 November 2012, aku menyaksikan bagian lain dari kehidupan yang akhir-akhir ini sedang kuanggap monoton. Hujan.
Sudah lama aku merindukan hujan. Hujan itu turun beberapa saat setelah aku keluar dari kendaraan sekedar untuk berfoto di sebuah tambang batu kapur. Titik-titik air jatuh dari langit, pelan membentuk gerimis. Butiran air itu mendarat halus di kerudung, kemeja, celana, serta bagian kulitku yang terbuka. Aku menengadahkan wajah, sejenak menikmati kesegaran yang memeluk. Tersenyum sambil berbisik, “Waaah, hujan...” hingga titik-titik air itu masuk ke dalam kerongkonganku.
Belum sempat aku menikmati hujan, membasuh rinduku pada hujan, seorang rekan memberi isyarat untuk segera masuk ke dalam kendaraan dan melanjutkan perjalanan. Mereka tidak tahu betapa aku menantikan hujan.
Maka sepanjang perjalanan itu aku melihat ke luar jendela, mengamati tetes hujan. Butiran air menimpa kaca jendela mobil, membuatnya sedikit buram namun lebih indah. Butiran itu sempurna menghiasi sore hariku dalam perjalanan ini.
Di luar jendela, bisa kulihat anak-anak berlarian dalam hujan, saling kejar dan tertawa. Anak-anak itu tidak peduli apakah dingin hujan mampu menurunkan sistem imun mereka hingga bisa jadi selesai bermain bersama hujan, mereka malah jatuh sakit: demam. Yang mereka tahu adalah mereka mencintai hujan. Mereka menantikan hujan. Lama sekali. Hingga ketika hujan itu datang, tidak peduli larangan ibu mereka masing-masing, mereka berhamburan ke luar rumah. Menyambut hujan. Bermain bersama hujan.


Minggu, 18 November 2012

kami



Bagaimana bisa aku memintamu untuk mengenaliku secara utuh, jika bahkan untuk memahamimu pun aku belum bisa.
Sebaris kalimat itu menggantung di tengah udara dalam kamarku. Rupanya selama ini aku hanya sibuk mencari makna tentang kami, tanpa berusaha mencerna apa yang ia pikirkan. Masalah ini sepele baginya, tidak begitu rumit seperti yang kuanggap. Dia masih bisa tertidur dengan nyenyak dan yakin bahwa esok masih baik-baik saja buat kami. Sedangkan aku, sepanjang waktu selalu berusaha memastikan bahwa kami [masih] baik-baik saja. Dia melakukannya dengan sederhana.
Tapi rasaku tidak mampu menangkap kesederhanaan lakunya. Pertanyaan-pertanyaan itu terus kucercakan padanya, meski akhirnya tidak ada satu pun terjawab. Ah, lagi-lagi ia melakukannya dengan sederhana.
Dia sederhana dan dewasa.
Tapi hatiku belum bisa percaya.
Apa yang sebenarnya ia rasakan. Apa yang sebenarnya aku rasakan. Apakah kami tidak beresonansi?
Di tengah ‘musim dingin’ kami. I miss him.

Senin, 12 November 2012

Stargirl


book cover of Stargirl
Ada seorang gadis yang menamai dirinya ‘Stargirl’. Gadis ini aneh dan sangat tidak biasa. Dia suka memberi hadiah atau kartu ucapan kepada orang-orang yang berulangtahun, orang-orang yang baru sembuh dari sakitnya, atau orang-orang yang memenangkan perlombaan. Stargirl suka membawa ukulele ke sekolah, dan dia memainkan alat musik petik itu sambil menyanyikan lagu untuk temannya yang sedang berulangtahun. Pakaian-pakaian Stargirl pun tidak kalah aneh dengan dirinya sendiri. Pakaian yang ia kenakan selalu berkesan tempo dulu dan mirip baju biarawati: baju terusan yang teramat panjang hingga dasarnya selalu menyapu lantai dan bagian lehernya panjang dan berkerut-kerut. Stargirl berjalan kaki dari rumah menuju sekolah, padahal di setiap perjalanannya itu, dia harus melewati jalanan padang pasir yang panjang dan penuh dengan kaktus-kaktus besar seperti Saguaro. Di beberapa perjalanan, Stargirl sering menjatuhkan uang koin. Sahabat dekatnya bertanya kenapa, dan Stargirl menjawab, “bukankah di masa kecilmu, kau juga amat senang jika menemukan uang koin di jalanan?”
Stargirl menghidupkan sekolah, begitu pendapat beberapa orang teman. Sekolah yang dulu selalu terdengar sepi meskipun terlihat padat, sejak kehadiran Stargirl mulai benar-benar terdengar dan terlihat padat. Koridor-koridor sekolah yang dulu selalu sepi meskipun sesak, kini menjadi koridor yang berisik dan penuh dengan murid-murid yang saling bertegur sapa.
Setiap memberi hadiah atau kartu ucapan kepada orang-orang, Stargirl tidak pernah mencantumkan namanya. Sahabatnya bertanya kenapa, dan Stargirl kembali bertanya pada sahabatnya, “apakah perlu?”
Stargirl tidak mempunyai ego, begitu kata sahabat dekatnya. Stargirl selalu memikirkan kebahagiaan orang lain, dan melupakan bagaimana seharusnya bersikap. Bukan tanpa alasan sahabatnya berkata demikian. Menurut beberapa orang, mereka pernah melihat Stargirl di pemakaman orang yang sama sekali tidak ia kenal. Sahabatnya bertanya “kenapa?”, dan Stargirl menjawab “apa tidak boleh mendoakan orang yang sudah meninggal meskipun tidak mengenalnya?”
Dalam pertandingan-pertandingan basket, dimana Stargirl menjadi tim pemandu sorak, dia selalu bersorak. Benar-benar selalu bersorak di setiap momen pertandingan. Setiap kali ada pemain yang berhasil mencetak angka, Stargirl selalu bersorak, tidak peduli apakah pemain yang mencetak angka itu berasal dari tim sekolahnya atau tim lawan. Tentu saja teman-teman sekolahnya kurang setuju terhadap sikapnya. Lagi-lagi, sahabatnya bertanya, “kenapa?”, dan Stargirl menjawab, “bukankah tugas dari pemandu sorak adalah bersorak untuk para pemain?”
Dalam salah satu pertandingan, ada seorang pemain dari tim lawan yang terjatuh hingga tidak dapat bangkit berdiri karena kesakitan. Dengan kecepatan yang melebihi siapa pun yang ada di stadion, Stargirl menghampiri dan memangkukan kepala si pemain yang terjatuh pada kakinya. Melihat itu, semua orang dalam stadion terkejut, terlebih teman sekolah dan teman-teman dalam tim pemandu soraknya. Bagaimana bisa seorang pemandu sorak begitu khawatir dan bergegas membantu pemain tim lawan yang terjatuh di arena pertandingan? Sahabatnya kembali bertanya, dan Stargirl menjawab, “aku hanya bersimpati dan ingin membantunya.”
Sejak pertandingan itu, Stargirl yang awalnya menjadi panutan bagi teman-teman di sekolah, mulai dijauhi. Rupanya tidak sedikit teman yang setuju atas tindakan simpati Stargirl. Mereka mulai memalingkan muka setiap berpapasan dengan Stargirl, dan tidak mau makan siang di meja yang sama dengan Stargirl.
Kini giliran Stargirl bertanya kepada sahabatnya, “kenapa?”, dan sahabatnya menjawab, “karena tindakanmu tidak normal.”
Maka sejak itu, Stargirl mencoba berubah. Stargirl tidak lagi memakai pakaian-pakaian tempo dulu, tidak membawa-bawa ukulele, dan tidak bersorak untuk tim lawan. Stargirl telah memakai baju-baju seperti yang dikenakan oleh gadis lainnya dan bersikap sebiasa mungkin. Stargirl benar-benar ingin menjadi gadis biasa. Dan... Ohya, namanya bukan lagi Stargirl, sebab Stargirl bukan nama aslinya. Stargirl telah mati, begitu kata Susan yang pernah menamai dirinya sebagai Stargirl.
Namun tetap saja, lingkungan sekolah masih membuangnya dari lingkaran pergaulan, sehingga Susan tidak tahu lagi harus berbuat apa. Maka, dia pun menghilang dari lingkaran itu. Kini, baik Stargirl maupun Susan telah hilang. Tidak ada satu pun teman di sekolah yang tahu maupun peduli dimana Susan atau Stargirl berada.
Pada suatu malam, ketika perayaan promnight untuk sekolah, Stargirl kembali muncul. Rupanya Susan menjelma kembali menjadi Stargirl, sebab kehadirannya malam itu membawa kesan anggun sekaligus heboh. Stargirl menghidupkan malam promnight dan memimpin teman-temannya menari hingga keluar dari gedung promnight. Pesta jadi amat meriah bagi mereka yang menari bersama Stargirl. Beberapa anak yang tidak ikut menari bersama Stargirl jadi merasa tersisihkan. Ketika rombongan penari yang dipimpin stargirl tiba di gedung promnight, seorang anak yang masih saja menyimpan kebencian pada Stargirl menghampirinya, lalu menamparnya. Seluruh mata dalam gedung itu menunggu dengan cemas apa yang akan mereka lihat selanjutnya. Betapa terkejutnya mereka, ketika Stargirl, alih-alih membalas tamparan, malah mencium pipi si penampar sambil tersenyum. Setelah itu, Stargirl pergi dan tidak pernah muncul lagi.
Kemana Stargirl pergi? Entahlah, hanya Tuhan dan Jerry Spinelli, sang penulis novel “Stargirl”, yang mengetahuinya.
Dalam novel ini, Jerry Spinelli seakan-akan ingin menyampaikan pesan-pesan perdamaian melalui tokoh utamanya. Stargirl yang selalu ingin berbuat baik kepada orang lain, sama sekali tidak mengharapkan imbalan ataupun kenangan terhadap dirinya. Dia melakukannya dengan ikhlas. Stargirl tidak memiliki ego untuk dirinya sendiri, egonya hanya diperuntukkan bagi orang lain.