Senin, 26 September 2011

Ini Ceritaku . . .

KOSONG dan CAMPUR ADUK dan ENTAHLAH!!!
Entah apa yang harus kulakukan selanjutnya. Membuangnya jauh-jauh, atau justru memaksanya agar mau berjalan ke arah yang sama denganku?
Aku bukan muslimah yang sangat muslimah. Aku hanya mengenakan kerudung sekenanya, dan masih nyaman dengan celana pensil. Tapi aku cukup mengerti tentang rukun Iman, rukun Islam, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, meskipun sebenarnya aku juga sering khilaf (namanya juga manusia, hehe J). Kekhilafanku yang paling besar adalah ketika aku berpacaran dengannya.
Dia mengaku beragama Islam. Waktu aku cek di KTP-nya, memang Islam, kok. Dia sangat menjadi dirinya, dan sangat berkarakter. Secara fisik, dia oke.
Awal mula cerita, kami diperkenalkan oleh takdir. Sekitar dua bulan setelah saling mengenal, dia bilang sayang dan cinta padaku. Mustahil sekali, menurutku. Tapi toh, meskipun awalnya aku menolak, akhirnya pun aku mau pacaran sama dia. Singkat kata, kami pun jadian.
Mungkin aku yang terlalu bodoh, polos, lugu, goblok, bego, dan yang sebangsanya lah. Aku gampangan banget percaya sama omongan dan janji-janjinya. Aku terlalu melihat sisi baiknya, tanpa mempertimbangkan dia punya sisi lain.
Sisi baiknya dia, dia sangat lembut dan sabar dan mau mengalah dan mau mengerti. Sedangkan sisinya yang lain, dia ternyata pandai berakting dan tahu bagaimana cara berbohong yang baik. Wow!!
***
TO BE CONTINUED . . .

Rabu, 14 September 2011

Sedang Tidurkah Ia?

Sedang Tidurkah Ia?

Malam takbir, 30 Ramadhan 1431 Hijriah, 9 September 2010.
Aku memejamkan mataku. Malam ini tidak hening seperti biasanya. Banyak getaran suara yang masuk ke dalam indra pendengaranku. Tetapi, suara yang mendominasi malam ini adalah suara takbir. Suara manusia yang memanggil nama Tuhannya, memuji-Nya, berdoa kepada-Nya, memohon pengampunan-Nya.
Malam ini dingin. Dan hujan. Masih memejamkan mata, aku menarik napas panjang. Cardigan tipis ini tidak cukup mampu memberi kehangatan pada tubuhku, maka aku menyilangkan kedua tanganku, berharap mereka bisa membagi kehangatan dengan tubuhku, meski aku tahu suhu mereka adalah sama.
Ini daerah pegunungan, dan hujan, dan aku di luar, dan bajuku tidak sepenuhnya kering, dan aku hanya punya cardigan ini, dan aku lapar. Dingin. Dan apakah Tuhan tahu bahwa salah seorang umat-Nya, yang Ia bilang dalam kitab-Nya sangat Ia sayangi, sedang kedinginan dan hampir mati kelaparan di bawah pohon Mangga di sebuah desa terpencil di kaki gunung?
Aku percaya Tuhan ada. Tapi aku tidak percaya Dia maha mengetahui, maha penyayang, maha mendengar, maha pengabul doa. Tuhan tidak adil, itu menurutku.
Aku berkata demikian bukan tidak ada sebabnya. Tuhan cukup tahu seberapa kadar iman umat-Nya, itu kalau benar Dia maha mengetahui. Orang juga bilang bahwa Tuhan tidak akan memberi ujian atau cobaan di luar batas kemampuan umat-Nya, itu kalau benar Dia maha penyayang. Guru ngajiku pun sering mendengung-dengungkan bahwa Tuhan selalu mengabulkan doa kita jika kita berdoa sungguh-sungguh, itu kalau benar Dia maha mendengar dan pengabul doa.
Aku mengeluarkan sebatang suntikan, jarum suntik, dan botol kecil berisi racun dari dalam tas kecilku. Aku memasang jarum ke suntikan, lalu mengisinya dengan racun. Aku bebas sekarang. . .
***
Aku getir melihat jenazah adikku yang baru saja dimandikan. Pucat dengan bobot hanya 35 Kg. Sangat kurus untuk seorang anak laki-laki berumur 17 tahun dengan tinggi 172 cm. Bekas jarum-jarum suntik masih terlihat jelas di kulitnya yang putih. Kepalanya gundul total akibat kemoterapi. Adikku sayang, yang dua tahun lalu masih menjadi idola hampir semua gadis di sekolahnya, kini terbaring menyedihkan tanpa nyawa.
Leukimia. Kanker darah. Penyakit yang seakan-akan menentukan berapa lama lagi usia penderitanya. Padahal saat itu aku percaya Tuhan dapat memberi keajaiban untuk adikku dan memberinya kesembuhan. Aku dan Ibu telah memintanya, berdoa kepada-Nya setiap hari dan setiap malam. Tapi Tuhan tidak mengabulkannya. Tuhan tidak mendengar doa kami. Tuhan memalingkan muka-Nya, menutup mata-Nya, menulikan telinga-Nya. Atau mungkin, sedang tidurkah Ia saat aku dan ibu bangun di tengah malam untuk berdoa menghadap-Nya?
***
Adikku tampak sangat tampan dalam setelan jas hitamnya. Tingginya 162 cm, berat badannya 57 kg. Itu saat usianya 13 tahun. Kulitnya putih bersih, hidungnya mancung, bibirnya tipis, rambutnya coklat gelap, mirip Bapak yang keturunan Prancis. Apalagi mereka memakai setelan jas yang identik saat itu. Ibu bilang dia jadi seperti melihat masa muda Bapak.
Ibuku, yang asli Jawa, juga terlihat sangat cantik dalam balutan kebaya berwarna merah. Anggun dan berkelas, meski tidak bersanggul, karena ia mengenakan kerudung. Ibuku tersenyum dengan caranya yang khas, dan itu membuatnya tampak angkuh dengan tatapan yang sepertinya berarti saya–adalah–keturunan–darah–biru.
Dan aku. Tidak terlalu mirip dengan Ibu maupun Bapak. Aku adalah perpaduan mereka berdua. Rambutku hitam legam, seperti milik Ibu, tapi hanya Bapak, Ibu, dan Adik yang bisa melihatnya sekarang, karena aku mengenakan kerudung sejak usiaku 12 tahun. Kulitku putih, seperti Bapak. Wajahku tirus seperti Ibu, tapi hidung dan mataku seperti Bapak. Dan aku tidak terlalu tinggi seperti Adik, karena postur tubuhku lebih mirip Ibu, 160 cm dan 52 kg.
Kami adalah profil keluarga bahagia saat itu. Dengan setelan jas yang dipakai Adik dan Bapak, serta kebaya yang dipakai Ibu dan aku. Ibu dan Bapak duduk di kursi, sedangkan aku dan Adik berdiri di samping mereka. Dan Canon D450 yang sudah diletakkan di atas tripod dan diatur agar bisa memotret secara otomatis oleh adikku, melukis kami dengan cahaya dari angel terbaik yang juga telah diatur adikku, sehingga menimbulkan bunyi yang sangat familiar, “Jepret”.
***
Kami semua tersenyum dalam potret itu, menggambarkan kebahagiaan keluarga kami satu tahun yang lalu. Sekarang aku berusia 16 tahun, adikku 14 tahun. Ibu telah menjadi janda dengan anak-anak yang baru beranjak remaja.
Ibu memandangi potret itu dalam hening, matanya tidak pernah kering sejak kepergian Bapak tiga hari yang lalu. Bapakku pergi menghadap Tuhan dengan cara yang tidak wajar. Seseorang rupanya telah sangat iri karena kesuksesan Bapak memimpin perusahaan yang Bapak dirikan sendiri. Seseorang itu pun merencanakan tabrak lari yang membuka jalan Bapak menuju akhirat.
***
“Stadium 3, Bu. . .” kata Pak Dokter.
Ibu menatapnya shock. Sedetik kemudian, aku dapat melihat tetes demi tetes air mata membasahi pipinya. Tak lama kemudian, tubuh Ibu mulai berguncang karena menangis. Aku merengkuh tubuh Ibu, memeluknya. Kami berdua menangis bersama di ruang Pak Dokter.
***
Ibu benar-benar menolak pergi ke pemakaman Adik. Dia bilang, “Aku mau tinggal di rumah saja, siapa tahu Adikmu pulang kembali. Kalau Aku ikut pergi kesana, siapa yang akan membukakan pintu untuknya?”
“Mbak, Egi sudah pergi ke alam baka, dia tidak mungkin kembali ke dunia kita. Mbak harus bisa menerima itu,” kata Tante Ranti, “sekarang sebaiknya Mbak ikut pergi mengantar Egi, ya?”
Ibuku tampaknya tidak terima dengan perkataan Tante Ranti, ia menatap Tante Ranti tajam dan berteriak, “Kau gila!! Egi tidak mungkin pergi, dia sudah janji akan menjagaku dan kakaknya setelah Bapaknya meninggal!! Kau gila!! Kau gila!!”
***
“Nina, mau kemana?”
“Ke perpustakaan.”
“Ooh, baru aja adzan dhuhur, gimana kalo sholat dulu?”
“Kamu duluan aja, nanti aku menyusul kalo Ia sudah bangun.”
“Hah? Siapa yang tidur, Nin?”
Aku menggeleng. Aku berjalan pergi ke arah perpustakaan. Kubiarkan saja Farhan bingung dengan ucapanku barusan.
Tuhan mungkin telah benar-benar memalingkan mukanya padaku. Atau kurasa, Ia sedang tidur. Dan aku berhenti sholat sekarang, karena menurutku Tuhan sudah tidak melihatku lagi.
***
Aku melihat Ibu yang sedang duduk diam di dalam suatu ruangan bercat putih. Ibu terlihat bahagia, meskipun pandangannya kosong. Tangan pucat Ibu menggenggam selembar potret.
“Ibu terlihat bahagia, apa yang sedang Ibu lihat?” tanyaku sambil membelainya.
Ibuku memalingkan mukanya kepadaku, seakan ia baru menyadari kehadiranku. Ia tersenyum lembut menatapku. Itu tatapan rindu, penuh kasih sayang, yang bercampur dengan tatapan sedih, tersayat. Setelah itu, air matanya keluar. Lalu, ia menangis sampai tubuhnya terguncang. Aku ikut menangis dan memeluknya.
Selalu saja begini. Setiap aku mengunjunginya di rumah sakit, selalu saja begini. Ini bukan rumah sakit biasa, ini rumah sakit bagi para penyandang gangguan jiwa.
Maafkan aku, Ibu. Maafkan aku karena tidak bisa menghibur hatimu. Maafkan aku karena Tuhan telah berpaling dari kita, atau mungkin Ia sedang tidur.
***
“Assalamualaikum, Nin, aku boleh duduk disini?”
Aku memandangnya sekilas, dan berkata, “Silakan.”
“Kamu sedang apa, Nin?”
“Membaca.”
“Baca buku apa?”
“Bisa lihat, kan?”
“Bukunya disampul, sih, jadi gak bisa. Hehe.”
Aku memperlihatkan isi bukuku kepadanya. Sebenarnya itu bukan buku, dan aku tidak sedang membaca. Itu sebuah album kecil yang berisi potret-potret sebuah keluarga bahagia yang diambil beberapa tahun lalu. Saat Ibu masih sehat, saat Adik dan Bapakku masih ada.
***
“Egi, jangan lari-larian ke jalan!” teriak Ibu, “Nina, jaga Egi dong! Ibu masih masak nih.”
“Gak mau! Nina lagi main game!” jawabku bersungut-sungut.
“Udah, jangan paksa Nina. Biar aku saja yang jaga Egi,” kata Bapak sambil beranjak dari aktifitas membaca korannya.
Kenangan-kenangan seperti itu selalu terlintas di benakku tiap kali masuk ke rumah ini. Aku ingin sekali mengulangnya. Tapi tidak mungkin, mereka semua telah pergi. Bapak, Ibu, dan Adik telah pergi ke alam baka.
***
“Ibumu mungkin sudah tidak kuat menanggung semuanya, Nin,” kata Tante Ranti.
“Ibu tidak pernah menanggungnya. Ibu hanya menyerah dengan keadaan, dan Ibu telah lupa dia masih punya aku,” jawabku dengan nada hampa. Sepersekian detik kemudian, aku menangis di pelukan Tante Ranti. Mungkin jiwa Ibu masih ada di sekitar pemakamannya, kuharap ia mendengar perkataanku barusan.
Kemarin Dokter yang menangani Ibu meneleponku dan mengabarkan Ibu telah mengiris nadinya dengan pecahan kaca.
***
Sebatang kara sangat menyedihkan. Adik, Bapak, Ibu, tunggulah, sebentar lagi aku akan menyusul kalian. Aku menyuntikkan jarum suntik ke pembuluh darahku. Obat dalam suntikan itu pun masuk dan meracuni tubuhku lewat sistem aliran darahku.
Aku merasakan sakit yang luar biasa. Seperti ada sesuatu yang diambil paksa dalam diriku. Seperti dikuliti. Seperti disayat di semua bagian tubuhku.
***
Seberkas cahaya putih. Dan tiba-tiba menjadi kelam, penuh api. Seekor makhluk beranatomi ganjil dan sangat menakutkan menghampiriku.
“Siapa Tuhanmu?” tanyanya.
“Aku tidak punya Tuhan.” jawabku.
“Kenapa?”
“Tuhan tidak pernah menolongku. Dia selalu memalingkan mukanya dariku. Dia tidak pernah melihatku. Kalau tidak begitu, kurasa mungkin Ia sedang tidur. Jadi aku tidak punya Tuhan.”
“Hahahaha,” makhluk seram itu tertawa terbahak-bahak, “Aku sebenarnya tidak suka menyampaikan hal ini, tapi apa kau tahu? Tuhanmu itu sangat menyayangimu. Dia telah mempersiapkan takdir yang sangat bagus untukmu.”
“Aku tidak percaya denganmu, makhluk jelek,” bantahku, “Takdirku yang sebelah mana yang bagus? Kau lihat, semua orang dalam kehidupanku Dia ambil, tidak menyisakan sedikitpun untukku.”
“Hahahaha, kau tidak percaya denganku maupun dengan Tuhanmu,” kata makhluk seram itu, “Kalau begitu, mari kuperlihatkan padamu, takdir yang telah Tuhanmu persiapkan untukmu.”
Tiba-tiba aku berada di suatu kondisi yang sama seperti saat sebelum aku menyuntikkan jarum suntik ke pembuluh darahku. Disana aku melihat ‘diriku’ sedang meringkuk. Jarum suntik di sebelahnya masih penuh. Aku bisa merasakan apa yang ‘diriku di sana’ rasakan.
“Aku tidak boleh melakukannya. Aku belum berakhir. Bapak, Adik, Ibu, aku akan terus memperjuangkan diriku untuk kalian. Aku akan hidup untuk kalian. Nanti, kita akan hidup bahagia di akhirat. Tuhan, bawalah aku kembali menuju jalan-Mu,” itulah yang ‘diriku disana’ pikirkan.
“Bagaimana mungkin tiba-tiba aku punya pikiran seperti itu?”
“Karena dirimu yang di sana mendengar nama Tuhannya di saat-saat terakhir, dan mengingat bagaimana Tuhan pernah memberinya kehidupan yang sangat manis, dan dirimu yang di sana yakin bahwa Tuhan akan memberinya lagi suatu saat nanti.”
“Lalu kenapa saat itu aku tidak?”
“Karena kau menutup telinga dan hatimu dari Tuhanmu. Kau sendiri yang tidak mengijinkannya masuk ke dalam hatimu, bahkan di saat-saat terakhir. Kau seharusnya tahu bahwa Tuhanmu sangat menyayangimu. Mari kita lihat apa yang terjadi satu tahun kemudian.”
***
Makhluk itu membawaku pergi ke suatu tempat, tidak terlalu jelas, tapi sepertinya sebuah pesantren. Aku melihat ‘diriku yang lain’ sedang mengajar anak-anak kecil mengaji. Aku ingat saat masih bersama Bapak, Ibu, dan Adik, aku begitu mahir mengaji.
‘Diriku yang lain’ itu tampak lebih gendut. Dia mengenakan kerudung dan baju terusan. Beberapa menit kemudian, acara mengaji usai, dan anak-anak kecil itu bubar. Tiba-tiba seorang pria, yang kukenal sebagai Farhan, seseorang yang pernah menyapaku saat aku sedang melihat album keluarga, datang dan mengelus lembut perut ‘diriku yang lain’. Mereka ngobrol dan tersenyum bahagia.
“Mengapa mereka...”
“Setelah membuang suntikan itu, kau pergi mencari masjid, dan di sana kau bertemu Farhan. Kau menceritakan semuanya, dan Farhan membantumu bangkit perlahan-lahan. Beberapa bulan kemudian, Farhan menikahimu dan kalian memutuskan tinggal di pesantren milik Bapak Farhan.”
“Mengapa terdengar begitu indah? Aku ingin seperti dia,” kataku pelan.
“Hahahaha,” makhluk itu tertawa lagi, “Mana mungkin!! Kau kan sudah mati, sudah tidak bisa!!”
“Bolehkah aku kembali?? Kumohon...”
“Tidak bisa!! Kini tempatmu pergi hanya satu, yaitu neraka,” jawab makhluk itu, “Hahahaha.”
Aku tahu tidak punya pilihan apapun. Aku berakhir di neraka. Aku tahu itu. Aku tidak akan pernah lagi berkumpul dengan mereka.
“Jangan terlalu sedih,” kata makhluk itu, “Ibumu mungkin juga ada di sana.”
Seharusnya aku tidak mendahului takdirku. Seharusnya aku menunggu Tuhan yang bertindak atas takdirku. Seharusnya. . . Seandainya begitu, mungkin aku masih bisa bersama mereka.


TAMAT