Jumat, 01 Maret 2013

Bandung-Banjar: [masih] My First Backpacking



Hai hai, mau cerita lagi nih soal Bandung.
Di posting sebelumnya (baca di sini), aku sudah menceritakan dua hari di Bandung (tanggal 18 dan 19 Februari 2013). Nah, sekarang aku akan menceritakan hari ketiga di Bandung (tanggal 20 Februari 2013).
Di hari ketiga ini, aku dan Mbak Tica pergi ke Santosa Hospital untuk mengunjungi Mas Bagus (suami Mbak Tica) yang sedang diopname. Selesai menjenguk Mas Bagus, Mbak Tica mengajakku mampir ke toko brownies Amanda dan jalanan Punclut. Lucu ya, namanya Punclut? Sebenarnya nama Punclut adalah singkatan dari Puncak Cimbeleut. Punclut adalah daerah dataran tinggi, seperti Payung Malang atau Rembangan Jember. Di tepi jalan berjajar warung-warung makan yang memanjakan pembeli dengan pemandangan kota yang dilihat dari tempat tinggi. Mbak Tica mengajakku makan di salah satu warung untuk mencicipi nasi merah. Kami memilih salah satu warung yang cukup besar.
Pemandangan kota dilihat dari Punclut

Pemandangan dari warung tersebut cukup indah. Yah, pemandangan khas di dataran tinggi begitu lah. Suasananya mirip seperti Rembangan Jember (baca di sini), tetapi tidak ada kandang yang dibuat khusus untuk berdua (pacaran). Ohya, makanan di daerah sini cukup mahal lho. Aku memilih lauk ayam bakar, tempe, dan sambal. Sedangkan Mbak Tica memilih lauk ayam bakar, ikan asin, dan dadar jagung. Diperlukan selembar Rp 50.000,- untuk membayar dua porsi tersebut. Kalau di Surabaya, cukup Rp 15.000,- seporsi. Hehehe.
Selesai makan, Mbak Tica mengajakku mengunjungi tempat bernama Tahu Lembang. Masih sama seperti Rumah Sosis, aku juga mengira di dalam Tahu Lembang aku akan menjumpai banyak variasi tahu dan makanan serba tahu, bukan tahu aja tapi tahu banget. Eh ternyata... yang heboh malah jajanan lainnya. Selain pusat jajanan, di Tahu Lembang juga ada toko pakaian, toko oleh-oleh, kebun strawberry, playground, dan bus besar milik Rumah Sosis.
Aku banyak mengobrol dengan Mbak Tica di hari terakhir ini (besok pagi aku sudah harus naik kereta ke Banjar). Mbak Tica banyak berbagi tentang pengalamannya menjadi Ibu dan Istri. It’s such a wonderful time. Hoho.
Keesokan harinya pada pukul 05.00, aku naik ojek dari rumah Mbak Tica ke stasiun Kiara Condong untuk melanjutkan perjalanan ke Banjar. Aku naik kereta api Pasundan dengan tujuan stasiun Banjar. Harga tiket kereta api Pasundan, jauh dekat ternyata sama yaitu Rp 38.000,-. Kereta api ini, meskipun kelas ekonomi dengan harga tiket yang terjangkau, tetapi ternyata ber-AC dan cukup bersih. Aku sampai di stasiun Banjar pada pukul sepuluh lebih sedikit. Dari sana, aku dijemput oleh Dek Ana. Dek Ana adalah tetangga sekaligus teman baikku. Kok bisa tetangga? Ya, sebenarnya keluarga Dek Ana tinggal tepat di sebelah barat rumahku. Setelah lulus SMA, dia melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Kesehatan di kota Banjar, Jawa Barat, dengan jurusan diploma 3 kebidanan. Sekarang dia sudah lulus dan mulai bekerja di puskesmas kecamatan Pangandaran. Dari stasiun Banjar ke kecamatan Pangandaran dibutuhkan waktu sekitar 1-1,5 jam naik motor.
Ohya, kalau kalian sedang berada di Bandung dan ingin mengunjungi Pantai Pangandaran, lebih baik naik bus jurusan Bandung-Pangandaran dengan biaya perjalanan sekitar Rp 35.000,-.
Dari stasiun, kami pergi berkeliling sebentar di kota Banjar. Menurut cerita Dek Ana, kota Banjar adalah kota yang baru berusia sepuluh tahun. Lalu kami mampir ke warung untuk sarapan. Kalau di sini harga makanannya lebih murah. Segelas teh manis dan seporsi nasi dengan lauk ayam goreng dan dua potong tempe berharga Rp 10.000,-.
Hari itu, tanggal 21 Februari 2013, aku menghabiskan waktu di rumah Uwak (paman dan bibi) dan Mak (nenek) nya Dek Ana. Sebuah rumah sederhana yang sangat bersih. Kerennya, di halaman rumah ini berdirilah sebuah musholla. Aku menghabiskan waktu di rumah sambil beristirahat. Baru keesokan harinya, kami pergi ke Pantai Pangandaran.
Sebelum ke Pantai Pangandaran, Dek Ana mengajakku mampir ke Jawa Tengah. Iya, benar, Jawa Tengah. Ternyata Pangandaran ini merupakan daerah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kami berhenti di dekat gapura bertuliskan Jawa Tengah, lalu mengambil beberapa foto di sana. Setelah itu, baru kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Pangandaran.
Perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat

Pernah baca postingku yang bercerita tentang Pantai Papuma Jember? It’s a beautifull beach. Sama seperti Pantai Papuma, Pantai Pangandaran juga cantik. Aku tidak bisa bilang pantai mana yang lebih cantik, sebab setiap pantai memiliki kelebihannya masing-masing. Pantai Papuma memiliki batu-batu karang besar dan tinggi, pasirnya putih dan banyak tebing mengelilinginya. Sedangkan Pantai Pangandaran berada dalam kawasan cagar alam.
Saat pertama kali sampai ke pantai, aku terkejut melihat seekor rusa berkeliaran bebas di sana. Aku langsung memotret rusa itu. Kata penduduk setempat, ternyata hal itu adalah pemandangan yang biasa mereka lihat. Bahkan di hari lain, terkadang ada banteng yang berkeliaran di sana.
Aku masuk ke Pantai Pangandaran melalui pantai yang pasirnya hitam. Tidak ada tiket masuk, kecuali jika masuk pantai melalui cagar alam, di mana ada sisi pantai yang berpasir putih harus membayar tiket masuk sebesar Rp 8.500,-. Di sisi pantai yang berpasir hitam, berjajar banyak perahu milik penduduk setempat yang digunakan untuk melayani para pengunjung yang ingin pergi melihat sisi pantai yang lain dengan naik perahu.
Bagian pantai berpasir hitam
Setelah beberapa kali mengambil foto, aku dan Dek Ana mencari tumpangan perahu dengan harga yang murah. Kami menyepakati harga Rp 10.000,- yang ditawarkan seorang Bapak untuk mengantar kami dengan perahunya ke sisi pantai berpasir putih. Namun ternyata, di tengah jalan si Bapak menawarkan harga Rp 30.000,- per orang untuk melihat-lihat pantai lebih jauh lagi hingga melewati batas laut lepas. Setelah tawar-menawar, kami sepakat harga Rp 25.000,- per orang. Kalau kalian tertarik, sebaiknya naik perahu dengan rombongan saja agar tidak membayar mahal. Menurut Ang Engkos (sepupunya Dek Ana), biasanya satu perahu bisa dibayar dengan harga Rp 150.000,- untuk setiap rombongan. Jadi, kalau di dalam rombongan ada lima belas orang, per orang hanya perlu membayar Rp 10.000,- untuk tujuan yang sama dengan yang aku dan Dek Ana kunjungi. Cukup jauh kan selisih harganya? Ya maklum, waktu itu kami hanya berdua dan pantai sedang sepi karena bukan hari libur.
Sepanjang perjalanan, aku dan Dek Ana mengambil beberapa foto. Sedangkan si Bapak pengemudi perahu beberapa kali bercerita soal Pantai Pangandaran. Di tengah perjalanan, beberapa kali ombak tinggi melewati kami. Dengan noraknya, aku dan Dek Ana berteriak-teriak seperti waktu naik roller coaster -_-a. Hehe. Tapi si Bapak malah menertawakan kami dan bilang, “biasanya mah ombaknya tinggi, sampai ke puncak tebing itu neng.”
Si Bapak menunjuk salah satu tebing.
Menikmati ombak
Ada beberapa tempat menarik di sisi Pantai Pangandaran yang dapat dilihat selama perjalanan dengan perahu. Ada pantai pasir putih yang merupakan batas kawasan cagar alam. Ada kumpulan karang tempat para nelayan mencari lobster. Batu karang itu juga berperan sebagai penanda batas laut lepas. Satu jam dari batu karang itu, kita bisa mencapai Pulau Nusa Kambangan. Setelah menjumpai batu karang, ada pantai pasir putih yang tertutup untuk tempat bertelurnya kura-kura (si Bapak yakin banget kalau itu kura-kura, bukan penyu). Ada batu duduk yang bentuknya mirip seperti manusia yang sedang duduk. Si Bapak cerita bahwa dahulu kala ada anak seorang nelayan yang kerjaannya hanya memancing. Anak nelayan itu nakal dan tidak mau menaati nasihat orang tuanya, sehinngga dia dikutuk menjadi batu. Dan puff, jadilah batu duduk. Sayangnya si Bapak tidak sampai mengantar lebih dekat ke batu duduk itu, jadi aku hanya bisa mengambil gambarnya dari kejauhan. Jika naik perahu lebih jauh lagi, sebenarnya akan ada gua yang kata si Bapak ada batu kelamin di dalamnya. Kata si Bapak, batu itu dinamai batu kelamin karena bentuknya yang menyerupai kelamin. Ada dua jenis batu kelamin di dalam gua itu, yaitu batu kelamin laki-laki dan batu kelamin wanita. Nah, kali ini kelamin siapa ya yang dikutuk? Hihihi.
batu karang pembatas laut lepas
Aku dan Dek Ana memutuskkan untuk masuk ke cagar alam, sehingga si Bapak hanya mengantar kami sampai ke pantai pasir putih. Di sana ada beberapa orang yang menyewakan alat untuk snorkling. Aku sebenarnya ingin mencoba snorkling, tapi Dek Ana lagi gak enak badan, jadi batal deh. Mana enak snorkling sendirian, hehe. Jadi kami cukup mengambil beberapa foto di pantai pasir putih ini, mencari beberapa batu karang kecil di tepi pantai, dan melanjutkan perjalanan untuk masuk ke cagar alam.
Ketika berada di pantai pasir putih, aku melihat serombongan anak-anak SMA yang kegirangan bermain di pantai. Saat kutanya, ternyata mereka berasal dari kota Banjar yang hanya membutuhkan waktu sekitar dua jam untuk mencapai pantai ini. Bisa kupastikan mereka sering mengunjungi pantai ini. Tetapi sepertinya mereka tidak pernah bosan. Itu juga yang kudengar dari Dek Ana. Dia sudah berkali-kali mengunjungi Pantai Pangandaran, tetapi belum juga bosan. Aku jadi teringat dengan apa yang ditulis oleh Mbak Azzura Dayana dalam novelnya: Tahta Mahameru. Dalam novel itu, Mbak Azzura Dayana menulis bahwa anak pantai sekalipun, akan tetap berteriak kegirangan setiap melihat pantai. Maksudnya, meskipun sehari-hari terbiasa melihat pantai, tetapi ketika bermain di pantai, tetap saja itu akan menyenangkan hati mereka.
Dari pantai pasir putih, aku dan Dek Ana mulai berjalan ke dalam cagar alam. Di sepanjang perjalanan, ada beberapa gua Jepang. Ternyata, dulu para tentara Jepang pernah mendarat di area pantai ini, sehingga dibangunlah beberapa gua pertahanan. Kalau berjalan di dalam cagar alam ini sebaiknya jangan mengenakan perhiasan yang mencolok, sebab banyak kera yang berkeliaran secara bebas. Aku dan Dek Ana sempat dikejar kera yang lebih besar dari yang lain. Aku yang notabene-nya lebih sering berkegiatan alam bebas, malah lari lebih cepat dari Dek Ana. Payah, nih, masak aku lebih penakut daripada Dek Ana. Hehe.
gua Jepang di cagar alam pangandaran
 Di cagar alam ini juga banyak rusa yang berkeliaran dengan bebas. Mungkin rusa yang tadi kulihat di pantai juga termasuk kawanan rusa dari cagar alam ini ya? Hehe. Aku juga sempat melihat bunglon di pepohonan. Wow, untunglah tidak ada harimau atau hewan buas lainnya yang sudi bertemu dengan kami. Huffbanget.
rusa-rusa di cagar alam
Sebenarnya kami juga agak was-was karena saat itu cagar alamnya sedang sangat sepi pengunjung. Jalanannya juga agak tidak jelas lewat mana. Tapi untunglah, kami berhasil keluar dari cagar alam tanpa kekurangan suatu apa pun. Di pintu keluar yang juga pintu masuk cagar alam, kami bertemu seorang ibu bersama kedua orang anaknya. Ibu itu berkata kepada kami bahwa mereka tidak berani masuk karena barusan dikejar-kejar oleh kera.
Keluar dari cagar alam, Dek Ana mengantarku mencari aksesoris khas Pangandaran. Awalnya ingin membeli beberapa lembar kaus dan celana pantai. Tapi waktu ke toko, aku jadi kehilangan selera. Jangan tanya penyebabnya ya. Salah satunya karena mahal, tetapi bukan sepenuhnya karena itu. Akhirnya, aku hanya membeli beberapa gantungan kunci khas Pangandaran. Hoho.
Setelah mendapat gantungan kunci lucu berbentuk olive, kami pun pulang. Di tengah perjalanan, kami mampir ke warung bakso. Bakso di sini berbeda dengan bakso di Jawa Timur. Dan namanya bukan bakso, tetapi mie baso. Seporsi mie baso berisi mie kuning yang cukup banyak, beberapa butir baso daging sapi, dan sepotong daging sapi yang melekat pada tulangnya (entah bagian mana, hehe).
Selepas makan bakso, kami pulang ke rumah. Ohya, lucunya, aku dan Dek Ana sedang sama-sama tidak sholat, jadi kemana-mana seperti gak perlu lihat jam deh. Hehe. Ternyata waktu sampai rumah, jam sudah menunjukkan pukul dua siang. It’s really a nice day. Alhamdulillah.
Keesokan harinya, tanggal 23 Februari 2013, aku ngintil Dek Ana ke puskesmas tempatnya bekerja. Sehari menjadi bidan nih ceritanya, wkwkwk. Untung saja tidak ada pasien yang melahirkan. Kalau ada, wow! Iya, pokoknya harus bilang WOW! Siangnya, setelah pulang dari puskesmas, kami pergi ke warung karedok. Aku penasaran, sih, rasanya karedok itu seperti apa. Oalah, ternyata sayur-sayuran yang dicampur dengan bumbu kacang. Rasanya seperti gado-gado tanpa lontong dan tahu. Setelah dari warung karedok, Dek Ana mengantarku membeli ke toko salegor di daerah Padangherang.
Sorenya, aku bersiap-siap pulang. Aku akan naik kereta Mutiara Selatan untuk perjalanan ke Surabaya. Sebenarnya, keretaku baru akan tiba di stasiun Banjar pada pukul 20.58. Tetapi karena jarak rumah ke stasiun Banjar ditempuh selama 1-1,5 jam, maka kami tidak mengambil resiko berangkat malam. Apalagi jalanan yang ditempuh gelap dan naik turun seperti di daerah Trawas.
Pukul 16.30, aku dan Dek Ana naik bus menuju stasiun Banjar. Kami tidak naik motor karena mengkhawatirkan Dek Ana yang akan kembali ke rumah malam-malam. Kami sampai di stasiun Banjar tepat sebelum adzan Maghrib. Setelah mengobrol sebelum berpisah lagi, pada pukul 19.30 Dek Ana pun kembali ke rumah dengan bus dari Jakarta yang akan menuju ke Pangandaran. Hikz. Kapan kita akan ketemu lagi Dek? Ayo pulang aja ke Sidoarjo. Hehehe.

Well, itulah cerita seminggu di Bandung-Banjar. Walaupun selama di Bandung aku banyak jalan-jalan sendirian dan kurang merasa seru, tapi kalau dipikir-pikir aku jadi punya beberapa pengalaman baru soal backpacking. Apalagi waktu numpang di rumahnya Mbak Tica dan ngobrol dengannya, benar-benar menambah wawasan soal bagaimana menjadi ibu. Hohoho. Banjar juga menyenangkan, apalagi Pangandaran dan rumah Dek Ana. I’m gonna miss it. Jadi kepingin mampir lagi ke sana, hehehe. See ya Bandung dan Banjar!