--bukan cerita, tapi tetep buat Janet--
Malam ini aku
terngiang-ngiang oleh sebuah impian. Mataku sudah ingin terpejam, tapi otakku
tidak mau bekerja sama. Otakku masih betah saja terjaga oleh alamku sendiri. Tubuhku
tepat berada di kasur di kamarku, tapi aku sudah tak tahu lagi di mana tepatnya
pikiranku. Di tengah-tengah kebisingan itu, ada satu hal yang berontak ingin
keluar dari diriku. Ini tentang impian.
Aku catat dalam
sebaris kalimat bahwa hari ini adalah hari terlemahku, di mana pengendalian
diriku tidak dapat ku raih. Otak dan perasaanku tidak bekerja dalam satu
komando, mereka sporadis. Huff, aku sangat ingin menjadi manusia yang santai
dan sederhana saja; tanpa rencana, melakukan apa yang bisa dilakukan sekarang.
Tapi, sungguh, ku tekan jauh ke dalam pun, perasaan tentang impian itu
selalu kembali ke permukaan hatiku. Impian itu ingin aku tengok, pelihara, dan
rawat hingga ia menjadi nyata dan terwujud.
Impian itu, aku
sendiri pun belum tahu bagaimana wujudnya. Impian itu sangat absurd, membuatku
kebingungan mau memulai dari mana. Oh, aku punya banyak impian. Oh, tidak perlu
banyak impian. Aku hanya ingin sebuah jati diri, di mana impian itu lah yang
membentuknya. Hanya satu impian. Hanya satu tujuan.
Benar. Menurut
pahamku, impian adalah tujuan. Bukankah dalam hidup selalu banyak pilihan? Jika
kita telah memiliki satu tujuan, maka semua pilihan yang akhirnya kita pilih
dalam hidup tentu mengarah pada satu tujuan itu. Jika kita tidak memiliki satu
tujuan, maka hidup kita akan abstrak, dan bisa jadi kebahagiaan yang kita temukan
di dalamnya juga abstrak.
Impian. Hah, aku
semakin tersiksa dan lemah ketika satu sifat tipikal manusia yang kucoba buang
jauh-jauh mengendap-endap masuk lagi ke dalam hatiku. Aku melihat seorang
sahabat yang sudah semakin dekat dengan impiannya. Sungguh, aku turut senang
atas apa yang telah ia raih. Aku mengucapkan selamat dan apresiasi kepadanya.
Lalu, pikiran itu meracuni otakku begitu saja. Aku lepas kendali atas diriku,
dan sifat yang tadi mengendap-endap itu kini muncul terang-terangan, tapi tentu
saja hanya aku yang tahu. Konflik itu terjadi begitu saja dalam hatiku.
Ah, biar saja! Aku
cuek! Aku tidak peduli!
Aku mencoba menjadi
apatis bagi hatiku sendiri dan masih hidup dengan gaya yang sama, yang itu-itu
saja, yang rutinitasnya monoton. Lagi-lagi, aku mengabaikan pemberontakan dalam
hatiku, menyimpan lagi impian itu dalam kotak besi yang lalu kutanam jauh-jauh
dalam hatiku. Namun impian itu terus memberontak, ia tumbuh menjadi besar dan
semakin besar sampai kotak besi dalam hatiku tidak mampu menampungnya. Kotak
besi itu pun pecah, dan si impian merangkak pelan tapi pasti menuju permukaan
hatiku. Kini, di permukaan hatiku, impian itu memberontak dengan kerasnya.
Aku pun menyerah. Aku
tak bisa lagi apatis bagi hatiku sendiri. Aku ingin hidup secara sederhana,
tapi aku bahagia dengan tidak menjadi sederhana. Aku merasa lengkap dengan
impian yang membuatku menjadi lebih kompleks, tidak sederhana.
Aku merelakan hatiku
untuk impian itu, menyediakan ruang lebih banyak bagi impian itu. Ya, impian
itu adalah milikku, aku sendiri yang telah menciptakannya untukku. Bagaimana
bisa aku mematikan apa yang telah aku hidupkan dalam hatiku? Impianku telah
menempati ruang tersendiri, istimewa, dalam hatiku. Kini, aku, hatiku, dan
impianku telah menjadi satu.
Impian itu pun telah
mewujudkan dirinya dengan lebih tidak abstrak. Sudah kubilang, ia merangkak
keluar dari kotak besi menuju permukaan hatiku dengan pelan tapi pasti. Kini,
kepastian wujudnya pun semakin jelas. Aku sudah bisa melihat satu impianku,
satu tujuanku.
Aku memejamkan mata,
tidak untuk tidur, hanya untuk menyambangi impian dalam hatiku. Kini impian itu
tumbuh dengan suburnya. Aku telah siap menyiangi impian itu dengan harapan. Esok,
aku akan mengarahkan hidupku menuju impian itu, agar impian yang saat ini masih
hanya hidup dalam hatiku, suatu saat akan menempati dunia yang ku tinggali.
Malam ini, aku harus tidur dulu untuk mengistirahatkan aku, otakku, pikiranku,
dan hatiku agar mereka bisa bekerja sama lagi untuk mencapai satu visi yang
sama, yaitu impianku. Jangan sporadis lagi, ya, unsur-unsur dalam diriku. :)
Ini salah satu impian yang tidak sporadis..,semangat2
BalasHapusapa impianmu?
BalasHapus