Aku bulan, yang selalu mengamatinya
menemaninya
menghangatkan sebagian tubuhnya yang gelap
dengan cahaya dari matahari
Bumiku ini, selalu ceria, dulu
Selalu kudengar suara tawa anak manusia,
auman harimau, dan dengusan kuda-kuda
Angin berhembus dengan sejuknya, bersih dan
menghilangkan gerah
Hutan-hutan selalu bercanda dengan desikan
angin, mengibaskan dedaunan, memberi warna hijau bagi bumiku
Atmosfer melindungi bumiku dengan sempurna
dari sinar matahari yang kuat
Hujan selalu datang tepat waktu, sehingga
kemarau tak pernah mau tinggal berlama-lama
Bumiku, selalu tersenyum, dulu
Kini bumiku murung
Tampak jelas, meskipun ribuan kilometer
memisahkan kami
Bumiku diam, tak mau bicara
Bumiku muram
Bukan karena malam
Mungkinkah yang di sana telah menyakitinya?
Aku resah
Kutarik tubuhku lebih mendekat padanya,
tapi ribuan kilometer tetap menjadi jarak kami
Kutanya pada Bumiku, “apakah ia telah
berbuat tak adil terhadap dirimu atau kedelapan saudaramu?”
Bumiku menjawab, “Tidak, ia masih
membagikan sinarnya dengan adil”
“Katakan, Bumiku, lalu apa yang membuatmu
murung?”
Bumiku diam
Lamat-lamat Bumiku mulai bercerita
“Manusia telah berubah,
mereka tidak lagi menyayangiku,
mereka merontokkan hutan-hutan,
satwa liar kehilangan habitat,
semakin banyak flora dan fauna yang punah,
ekosistem tidak berjalan lancar,
siklus air mengacau,
selimut atmosferku semakin tipis,
sinar matahari menghujaniku tanpa ampun,
aku merasa semakin panas,
dan perutku terasa kosong karena manusia
serakah mengerukku habis-habisan...”
Aku terhanyut dalam ceritanya
Ternyata Bumiku menderita
Sedangkan aku tidak mampu menolongnya
Aku menangis ketika di akhir ceritanya,
Bumiku berkata,
“Mungkin aku tidak akan bertahan lama lagi”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih ^^