Selasa, 09 April 2013

Perkenalan


[Cerita Akbar]
Nadina. Dia sangat berbeda dari gadis-gadis pada umumnya. Pembawaannya anggun dan lembut, namun tegas. Cara bicaranya tidak manja dan dipanjang-panjangkan seperti gadis lainnya. Dia memiliki prinsip dan cita-cita yang tegas untuk dirinya. Dan jilbabnya itu, yang semakin membuat perbedaan dirinya dengan gadis lainnya.
Jilbabnya lebar, tetapi dia tidak membatasi pergaulannya. Dia bisa berteman dengan siapa pun, mulai dari Alya yang sama-sama jilbaber sampai Rena yang hobi memakai dress yang panjangnya tidak sampai selutut. Dia bahkan bisa bersahabat dengan Agnes yang nasrani.
Nadina adalah seorang mahasiswi dan organisatoris. Nadina mengaku berasal dari Solo, yang membuat orang-orang di sekitarnya mengangguk maklum dengan cara bicaranya yang lembut, meskipun selalu ada ketegasan dari setiap kata yang dia ucapkan.
Akbar mengenal Nadina dengan baik. Tetapi tidak dengan Nadina. Hmm.. Ini semacam cinta yang bertepuk sebelah tangan bagi Akbar. Akbar selalu melihat ke arah di mana Nadina berada, tetapi langsung memalingkan muka begitu Nadina melihat ke arahnya. Akbar menjadi orang pertama yang tahu di mana keberadaannya saat Nadina terlambat mengikuti praktikum.  Pasti sholat dhuhur dulu. Akbar hafal mata kuliah dan jadwal kelas yang diikuti Nadina. Akbar selalu tahu tentang Nadina.
Akbar bukannya tidak percaya diri untuk mendekatkan diri dengan Nadina. Gadis mana sih yang tidak meleleh kalau didekati oleh si pangeran Akbar? Ganteng, gaul, dan tajir. Hanya saja, Akbar tahu bahwa Nadina bukan termasuk dalam kelompok gadis yang mengutamakan ketiga hal tadi. Akbar paham betul bahwa Nadina tentu mengidamkan sosok lelaki yang tegas, sholeh, dan dewasa. Bukan lelaki seperti dirinya, yang bahkan untuk sholat lima waktu pun masih selalu mengulur-ulur waktu.
Akbar sendiri tidak yakin apa yang sebenarnya dia rasakan kepada Nadina. Apakah kagum, suka, sayang, cinta? Ah, Akbar sendiri tidak tahu apa bedanya.
Hmm... Semakin dipikirkan, semakin membuat Akbar pusing. Apakah Nadina pernah berpikir tentang ini? Apakah Nadina juga pernah melihat Akbar sebagai sosok lelaki? Apakah Nadina pernah menyelipkan kemungkinan bahwa Akbar lah yang akan menjadi lelaki-nya?
Tidak ada yang mengetahui tentang perasaan Akbar kepada Nadina. Huh, jangan sampai deh! Akbar kan bukan termasuk cowok-cowok masjid yang sering disebut akhi. Akbar kan kapten klub basket di kampusnya. Mana bisa cowok basket menjalin hubungan khusus dengan si cewek masjid macam Nadina. Yah, pokoknya jangan sampai perasaannya diketahui oleh orang lain. Sebab kalau berita itu sampai ke telinga orang lain, yang berarti pasti akan sampai juga ke telinga Nadina, pasti Nadina tidak akan pernah menyapanya lagi. Nadina pasti akan menjauhinya. Nadina pasti tidak akan mau berbicara dengannya lagi.
Hhhh... Susah deh! Bagaimana caranya agar Akbar bisa dekat dengan Nadina?
Akbar sampai pernah mencoba ikut kajian di masjid kampus. Tujuannya hanya satu: agar bisa bertemu dengan Nadina. Kalau beruntung, Akbar juga bisa ngobrol singkat dengan Nadina. Tapi Allah tidak membiarkan kesempatan itu datang. Di hari kajian, alih-alih bertemu Nadina, Akbar malah jadi bahan olok-olokan di kampus karena ketahuan bolos latihan basket untuk mengikuti kajian.
Akhirnya, suatu saat Bu Roni, dosen mata kuliah Technopreneur, memberi tugas kelompok. Kabar baiknya, Akbar berada di kelompok yang sama dengan Nadina. Tetapi selalu saja, waktu tidak berpihak pada Akbar. Kelompoknya malah memberi tugas kepada setiap anggota untuk mengerjakan bagiannya masing-masing yang sebelumnya sudah dibagi, kemudian baru dijadikan satu pada waktu yang sudah ditentukan. Jadi, sama sekali tidak ada kerja kelompok, yang berarti tidak ada kesempatan bagi Akbar untuk berinteraksi dengan Nadina.
Huff. Selalu saja gagal. Akbar tidak tahu, benar-benar tidak tahu, bagaimana dia bisa berinteraksi dengan Nadina. Bahkan untuk menanyakan kabar pun selalu tidak ada kesempatan. Nadina sebenarnya ramah dan terbuka kepada siapa saja yang ingin menjadi temannya, tetapi tentu saja ada batas-batas pergaulan yang dia buat untuk teman lelakinya. Misalnya ketika harus berbicara dengan teman lelakinya, maka Nadina akan menjaga jarak. Nadina juga menghindari kontak fisik dengan teman lelakinya, bahkan Nadina menolak bersalaman dengan teman lelakinya. Bukan karena tidak menghargai, tetapi begitulah ajaran Islam yang Nadina tahu: bahwa tidak diperbolehkan adanya kontak fisik dengan lawan jenis yang bukan muhrim. Jangankan kontak fisik, saling berpandangan saja sudah disebut zinah!

[Cerita Nadina]
Namanya Akbar. Entah bagaimana, dia selalu menjadi pusat perhatian para gadis di kampus. Padahal dia tidak bertingkah macam-macam. Dia orang yang sederhana untuk ukuran anggota klub basket di kampus.
Dan, entah bagaimana juga, Nadina selalu merasa bahwa mata Akbar selalu tertuju kepadanya. Seringkali, melalui sudut matanya, Nadina menangkap gerakan mata Akbar yang mencuri pandang ke arahnya. Aneh sekali. Apa yang sedang Akbar cari dari dirinya? Nadina tidak merasa cantik seperti gadis di kampus yang memuja-muja Akbar. Lagipula, Nadina kan jilbaber. Mana bisa Akbar sang kapten basket memperhatikannya.
Nadina harus mengakui bahwa Akbar ganteng. Ya, se-jilbaber apapun, Nadina kan tetap cewek! Nadina bisa menilai lelaki ganteng itu siapa dan bagaimana. Dan bagi Nadina, Akbar termasuk cowok ganteng dalam daftarnya. Bukan, bukan karena wajah Akbar memang ganteng, tetapi Akbar memiliki sesuatu yang membuatnya tampak ganteng di mata Nadina.
Pada suatu pagi, di tengah perjalanan menuju kampus, Nadina melihat Akbar di tepi jalan sedang berusaha menaikkan barang dagangan seorang nenek tua ke dalam mobilnya. Nadina yang mengendarai motor terus saja jalan tanpa menegur Akbar. Sesampainya di kelas, rupanya Akbar belum hadir. Bahkan setelah bel berbunyi dan dosen masuk kelas, Akbar masih belum muncul. Hingga lima belas menit kemudian, akhirnya Akbar datang. Dengan gayanya yang kapten-basket-banget, Akbar masuk kelas.
“Menurut peraturan, kalau ada mahasiswa yang terlambat sampai lima belas menit, maka dia dianggap tidak mengikuti kelas,” kata Bu Ade menyindir Akbar.
“Hehe, maaf Bu, tadi jalannya macet,” kata Akbar sambil cengangas-cengenges.
Bu Ade menghembuskan nafas, lalu mempersilakan Akbar duduk. Lihat, bahkan dosen pun jatuh cinta pada Akbar. Hanya dengan ‘haha-hehe’-nya, Akbar bisa melelehkan Bu Ade yang biasanya langsung mengusir mahasiswa yang datang terlambat saat kelasnya berlangsung.
Nadina tercenung melihat itu. Nadina tahu bahwa jalanan macet bukan alasan Akbar terlambat masuk kelas. Nadina tahu bahwa nenek tua yang bersama Akbar tadi adalah alasan yang sebenarnya.
Sejak saat itu, Nadina mulai memperhatikan Akbar.
Nadina tahu bahwa Akbar sedikit bandel untuk urusan sholat lima waktu. Nadina tahu bahwa Akbar  suka hang-out bareng teman-temannya di kafe. Nadina tahu bahwa Akbar memiliki sisi lain, bahwa Akbar memiliki hati yang hangat, yang gemar membantu orang-orang di sekitarnya, tanpa perlu dipamerkan.
Apakah Nadina jatuh cinta kepada Akbar? Uuh. Terlalu dini untuk bicara cinta. Bagi Nadina, cinta kepada lawan jenis hanya akan tumbuh setelah terikat dengan tali pernikahan yang sah. Maka dari itu, Nadina memutuskan bahwa apa yang ia rasakan kepada Akbar hanya sebatas perasaan tertarik.
Suatu saat, Nadina melihat Akbar yang memakai baju koko dan kopiah memasuki masjid. Ini bukan sesuatu yang biasa. Sore-sore begini, biasanya Akbar sedang latihan basket di lapangan. Nadina tahu itu, karena setiap berangkat ke masjid untuk mengikuti kajian, Nadina melewati lapangan dan melihat Akbar sedang latihan basket di sana.
“Akbar ikut kajian? Aneh ya, jangan-jangan ada udang di balik batu,” kata seorang peserta kajian yang duduk di dekat Nadina.
Nadina tersenyum menanggapinya dan berkata, “orang ingin belajar kok dibilang aneh.”
Tapi ini memang aneh, batin Nadina.

Huff. Akbar menyerah untuk mencari cara mendekati Nadina tanpa disadari oleh Nadina. Sudahlah. Pasti bukan Akbar yang disebut pantas oleh Nadina untuk menjadi lelakinya.
Akbar mengamati wajahnya di cermin di kamarnya. Percuma saja mempunyai wajah ganteng, tetapi sama sekali tidak dilihat oleh orang yang ia ingin melihatnya. Nadina. Nadina. Ya, tentu saja Akbar ingin Nadina menganggapnya ada. Akbar ingin Nadina melihatnya sebagai lelaki. Ah, sudahlah, lupakan...
“Akbar, ayo berangkat, nak,” panggil Bu Ratna, Ibu Akbar. Sore ini Akbar diminta ibunya mengantarkan pesanan kue ke rumah Bu Anisa di komplek sebelah. Kue bikinan Bu Ratna memang terkenal di kalangan warga komplek.
Sesampainya di rumah Bu Anisa, Akbar melihat sesuatu, maksudnya seseorang, yang tidak ia sangka-sangka. Nadina. Ya, itu Nadina. Yang sedang berdiri di dekat Bu Anisa di depan gerbang rumahnya itu adalah Nadina.
“Assalamualaikum Bu Anisa, maaf ya agak terlambat,” sapa Bu Ratna kepada Bu Anisa sambil ber-cipika-cipiki ala ibu-ibu komplek.
“Waalaikumalam, tidak apa-apa kok Bu, Ibu-Ibu pengajian juga pada belum dateng,” jawab Bu Anisa.
“Yasudah, Akbar, kamu masukin kue-kue nya ke dalem ya, Ibu masuk duluan sama Bu Anisa,” kata Bu Ratna.
“Nadina bantu masukin kue juga ya, nduk?” kata Bu Anisa. Nadina mengangguk. Di dalam hatinya, dia tersenyum. Tidak disangka akan bertemu dengan Akbar di rumah Bibinya, Bu Anisa.
Bu Anisa dan Bu Ratna sudah melangkah masuk ke dalam rumah, tetapi Akbar masih bengong saja karena surprise melihat Nadina. Setelah Nadina memanggil namanya, Akbar baru sadar dari bengongnya.
“Akbar?” kata Nadina.
“Nadina?” jawab Akbar.
Akhirnya kesempatan itu datang juga.

Maret to April


Setelah melakukan perjalanan ke Bandung-Banjar selama tujuh hari pada tanggal 17-24 Februari (baca di sini), banyak hal yang terjadi dalam hidupku, tetapi belum sempat kutuliskan di sini.
Bulan Maret adalah titik transformasi peranku sebagai manusia. Sebelum tanggal 16 Maret aku masih berstatus mahasiswa, tetapi begitu diwisuda di Graha Sepuluh Nopember kampus ITS Surabaya bersama ke-13 orang teman seangkatanku C-26, kami semua resmi menjadi sarjana sain. Tanggal 16 Maret 2013 adalah titik perubahanku dari mahasiswa menjadi bagian resmi dari masyarakat. Tidak ada lagi fasilitas-fasilitas mahasiswa. Tidak ada beasiswa. Tidak ada Bank dengan biaya administrasi rendah. Tidak ada cek kesehatan gratis. Tidak ada jalan-jalan gratis. Dimulai pada tanggal 16 Maret 2013, semua harus kulakukan secara mandiri sebagai bagian dari masyarakat umum.
Lebih dari itu, beban di pundakku, ternyata bukannya berkurang, justru bertambah. Beban kehidupan. Kehidupan yang sesungguhnya.
Aku termasuk orang rata-rata. Maksudnya, kemampuanku berada pada daerah rata-rata. Aku juga tidak memiliki keahlian bidang yang menonjol. Jadi, aku sudah mempersiapkan mental untuk diriku sendiri. Menghadapi kehidupan yang sebenarnya. Bahwa mencari pekerjaan yang baik dengan gaji yang sebanding dan sesuai dengan bidang keahlian bukan hal yang mudah. Oh, perlu dikoreksi. Bukan hal yang mudah bagi orang-orang dengan kemampuan rata-rata sepertiku.
Terbukti sudah.
Hipotesaku tentang mencari pekerjaan bukan hal yang mudah bagi orang-orang dengan kemampuan rata-rata, memang benar. Sudah tiga minggu lebih terhitung sejak wisudaku, aku masih belum mendapat panggilan dari ke-18 lamaran yang sudah kusebar di berbagai perusahaan di daerah Sidoarjo-Surabaya. Ada beberapa panggilan, tetapi aku selalu gugur di tahap pertama. Beberapa hari yang lalu aku juga sempat mengikuti tes psikologi dalam sistem rekruitmen PT Pharos. Hasilnya baru diketahui dua sampai tiga minggu mendatang.
Hemm. Sebenarnya saat ini kalau dibilang nganggur, tidak sepenuhnya benar, karena aku mengisi waktu luangku dengan menjadi pengajar honorer di salah satu sekolah kejuruan menengah swasta di Surabaya. Sebut saja SMK Kesehatan Nusantara (nama sebenarnya). Aku mengajar mata pelajaran kimia untuk kelas X, XI, dan XII. Aku juga masih memberi les privat untuk mata pelajaran kimia, fisika, dan matematika. Sejujurnya, aku tidak terlalu mahir fisika, tetapi untungnya ada buku pegangan. Hehehe.
Alhamdulillah, masih ada masukan beberapa lembar ratusan ribu rupiah di setiap bulannya.
Baru-baru ini aku menambah pekerjaan sebagai freelance surveyor untuk konsultan bisnis. Pekerjaannya gampang-gampang sulit, yaitu mewawancarai responden yang aktif menggunakan internet. Tetapi si responden harus orang surabaya selatan dan termasuk dalam golongan umur 20-29 tahun, 30-39 tahun, atau 40-55 tahun. Si responden juga harus aktif mengakses streaming. Buat orang-orang yang pinter ngomong, mungkin mewawancarai responden dengan mengajukan pertanyaan yang ditulis rapat-rapat dalam delapan lembar kertas berukuran A4, adalah pekerjaan yang mudah. Tapi buat orang macam aku, pekerjaan ini lumayan susah.
Di permulaan survey, aku banyak mengeluh tentang betapa menyebalkannya pekerjaan ini. Aku bahkan menyesal sudah menyanggupi mendapat dua puluh empat responden dalam waktu dua minggu. Hemm, sebenarnya aku juga menyesal karena sudah bersedia mengambil pekerjaan ini.
Pada hari pertama melakukan survey, karena malu-malu dan kurang bisa meyakinkan calon responden, maka aku hanya mendapat satu orang responden.
Huff. Karena capek seharian berjalan di atas sepatu high heels dan sebal ditolak berkali-kali oleh calon responden, aku memutuskan menyudahi survey di hari pertama. Aku duduk di sebuah bangku dekat orang berjualan es cincau. Sambil menikmati segarnya es cincau, aku melayangkan pandangan ke sekitar. Di sana, di suatu sudut jalan yang penuh dengan tumpukan sampah, ada seorang ibu memanggul karung besar di pundaknya. Penampilan ibu itu kotor dan kumal, selayaknya pengepul sampah. Aku memperhatikan ibu itu dengan telaten memilah sampah dan memasukkan botol-botol plastik yang ia temukan ke dalam karung di pundaknya. Di lain tempat, aku melihat nenek-nenek yang menjual kacang rebus dengan harga seribu lima ratus rupiah per ikatnya. Saat itulah tiba-tiba ada beberapa pertanyaan hinggap di otakku.
Apakah pekerjaanku tidak lebih mudah dari pekerjaan ibu itu?
Apakah hasil pekerjaanku tidak lebih banyak dari hasil pekerjaan ibu itu?
Apakah rasa syukurku tidak lebih besar dari rasa syukur ibu itu?
Apakah kesabaranku tidak lebih luas daripada kesabaran ibu itu?
Seketika, aku menjadi merasa bersalah dan malu. Aku malu karena lebih banyak mengeluh daripada bekerja. Aku malu karena tidak bisa menghargai apa yang aku punya. Aku malu karena tidak pandai bersyukur.
Yah, begitulah. Hingga sekarang, setelah seminggu lewat, akhirnya kuisionerku bersisa tiga biji. Terimakasih Ibu pemanggul karung besar dan Nenek penjual kacang rebus. Tanpa mereka sadari, mereka telah mengajariku tentang rasa syukur dan kesabaran. Ya Allah, berilah mereka kebahagiaan dan rasa syukur yang berlipat ganda. Aamiin.
Karena pengalamanku di hari pertama survey, aku sampai update status di facebook, yang berbunyi:
Hasil dari ‘jalan-jalan’ hari ini; lihatlah ke ‘bawah’ ketika bersyukur, dan lihatlah ke ‘atas’ ketika belajar.
Sudah tahu maknanya kan? Kalau belum, ingatkan aku untuk bercerita di lain kesempatan. Terimakasih sudah mampir dan bersedia membaca tulisanku yang membingungkan ini. Hehehe.
Ohya, besok aku akan mengikuti tes tertulis dalam sistem rekruitmen PT Sampoerna. Wish me luck yaa.. Aamiin.

Jumat, 01 Maret 2013

Bandung-Banjar: [masih] My First Backpacking



Hai hai, mau cerita lagi nih soal Bandung.
Di posting sebelumnya (baca di sini), aku sudah menceritakan dua hari di Bandung (tanggal 18 dan 19 Februari 2013). Nah, sekarang aku akan menceritakan hari ketiga di Bandung (tanggal 20 Februari 2013).
Di hari ketiga ini, aku dan Mbak Tica pergi ke Santosa Hospital untuk mengunjungi Mas Bagus (suami Mbak Tica) yang sedang diopname. Selesai menjenguk Mas Bagus, Mbak Tica mengajakku mampir ke toko brownies Amanda dan jalanan Punclut. Lucu ya, namanya Punclut? Sebenarnya nama Punclut adalah singkatan dari Puncak Cimbeleut. Punclut adalah daerah dataran tinggi, seperti Payung Malang atau Rembangan Jember. Di tepi jalan berjajar warung-warung makan yang memanjakan pembeli dengan pemandangan kota yang dilihat dari tempat tinggi. Mbak Tica mengajakku makan di salah satu warung untuk mencicipi nasi merah. Kami memilih salah satu warung yang cukup besar.
Pemandangan kota dilihat dari Punclut

Pemandangan dari warung tersebut cukup indah. Yah, pemandangan khas di dataran tinggi begitu lah. Suasananya mirip seperti Rembangan Jember (baca di sini), tetapi tidak ada kandang yang dibuat khusus untuk berdua (pacaran). Ohya, makanan di daerah sini cukup mahal lho. Aku memilih lauk ayam bakar, tempe, dan sambal. Sedangkan Mbak Tica memilih lauk ayam bakar, ikan asin, dan dadar jagung. Diperlukan selembar Rp 50.000,- untuk membayar dua porsi tersebut. Kalau di Surabaya, cukup Rp 15.000,- seporsi. Hehehe.
Selesai makan, Mbak Tica mengajakku mengunjungi tempat bernama Tahu Lembang. Masih sama seperti Rumah Sosis, aku juga mengira di dalam Tahu Lembang aku akan menjumpai banyak variasi tahu dan makanan serba tahu, bukan tahu aja tapi tahu banget. Eh ternyata... yang heboh malah jajanan lainnya. Selain pusat jajanan, di Tahu Lembang juga ada toko pakaian, toko oleh-oleh, kebun strawberry, playground, dan bus besar milik Rumah Sosis.
Aku banyak mengobrol dengan Mbak Tica di hari terakhir ini (besok pagi aku sudah harus naik kereta ke Banjar). Mbak Tica banyak berbagi tentang pengalamannya menjadi Ibu dan Istri. It’s such a wonderful time. Hoho.
Keesokan harinya pada pukul 05.00, aku naik ojek dari rumah Mbak Tica ke stasiun Kiara Condong untuk melanjutkan perjalanan ke Banjar. Aku naik kereta api Pasundan dengan tujuan stasiun Banjar. Harga tiket kereta api Pasundan, jauh dekat ternyata sama yaitu Rp 38.000,-. Kereta api ini, meskipun kelas ekonomi dengan harga tiket yang terjangkau, tetapi ternyata ber-AC dan cukup bersih. Aku sampai di stasiun Banjar pada pukul sepuluh lebih sedikit. Dari sana, aku dijemput oleh Dek Ana. Dek Ana adalah tetangga sekaligus teman baikku. Kok bisa tetangga? Ya, sebenarnya keluarga Dek Ana tinggal tepat di sebelah barat rumahku. Setelah lulus SMA, dia melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Kesehatan di kota Banjar, Jawa Barat, dengan jurusan diploma 3 kebidanan. Sekarang dia sudah lulus dan mulai bekerja di puskesmas kecamatan Pangandaran. Dari stasiun Banjar ke kecamatan Pangandaran dibutuhkan waktu sekitar 1-1,5 jam naik motor.
Ohya, kalau kalian sedang berada di Bandung dan ingin mengunjungi Pantai Pangandaran, lebih baik naik bus jurusan Bandung-Pangandaran dengan biaya perjalanan sekitar Rp 35.000,-.
Dari stasiun, kami pergi berkeliling sebentar di kota Banjar. Menurut cerita Dek Ana, kota Banjar adalah kota yang baru berusia sepuluh tahun. Lalu kami mampir ke warung untuk sarapan. Kalau di sini harga makanannya lebih murah. Segelas teh manis dan seporsi nasi dengan lauk ayam goreng dan dua potong tempe berharga Rp 10.000,-.
Hari itu, tanggal 21 Februari 2013, aku menghabiskan waktu di rumah Uwak (paman dan bibi) dan Mak (nenek) nya Dek Ana. Sebuah rumah sederhana yang sangat bersih. Kerennya, di halaman rumah ini berdirilah sebuah musholla. Aku menghabiskan waktu di rumah sambil beristirahat. Baru keesokan harinya, kami pergi ke Pantai Pangandaran.
Sebelum ke Pantai Pangandaran, Dek Ana mengajakku mampir ke Jawa Tengah. Iya, benar, Jawa Tengah. Ternyata Pangandaran ini merupakan daerah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kami berhenti di dekat gapura bertuliskan Jawa Tengah, lalu mengambil beberapa foto di sana. Setelah itu, baru kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Pangandaran.
Perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat

Pernah baca postingku yang bercerita tentang Pantai Papuma Jember? It’s a beautifull beach. Sama seperti Pantai Papuma, Pantai Pangandaran juga cantik. Aku tidak bisa bilang pantai mana yang lebih cantik, sebab setiap pantai memiliki kelebihannya masing-masing. Pantai Papuma memiliki batu-batu karang besar dan tinggi, pasirnya putih dan banyak tebing mengelilinginya. Sedangkan Pantai Pangandaran berada dalam kawasan cagar alam.
Saat pertama kali sampai ke pantai, aku terkejut melihat seekor rusa berkeliaran bebas di sana. Aku langsung memotret rusa itu. Kata penduduk setempat, ternyata hal itu adalah pemandangan yang biasa mereka lihat. Bahkan di hari lain, terkadang ada banteng yang berkeliaran di sana.
Aku masuk ke Pantai Pangandaran melalui pantai yang pasirnya hitam. Tidak ada tiket masuk, kecuali jika masuk pantai melalui cagar alam, di mana ada sisi pantai yang berpasir putih harus membayar tiket masuk sebesar Rp 8.500,-. Di sisi pantai yang berpasir hitam, berjajar banyak perahu milik penduduk setempat yang digunakan untuk melayani para pengunjung yang ingin pergi melihat sisi pantai yang lain dengan naik perahu.
Bagian pantai berpasir hitam
Setelah beberapa kali mengambil foto, aku dan Dek Ana mencari tumpangan perahu dengan harga yang murah. Kami menyepakati harga Rp 10.000,- yang ditawarkan seorang Bapak untuk mengantar kami dengan perahunya ke sisi pantai berpasir putih. Namun ternyata, di tengah jalan si Bapak menawarkan harga Rp 30.000,- per orang untuk melihat-lihat pantai lebih jauh lagi hingga melewati batas laut lepas. Setelah tawar-menawar, kami sepakat harga Rp 25.000,- per orang. Kalau kalian tertarik, sebaiknya naik perahu dengan rombongan saja agar tidak membayar mahal. Menurut Ang Engkos (sepupunya Dek Ana), biasanya satu perahu bisa dibayar dengan harga Rp 150.000,- untuk setiap rombongan. Jadi, kalau di dalam rombongan ada lima belas orang, per orang hanya perlu membayar Rp 10.000,- untuk tujuan yang sama dengan yang aku dan Dek Ana kunjungi. Cukup jauh kan selisih harganya? Ya maklum, waktu itu kami hanya berdua dan pantai sedang sepi karena bukan hari libur.
Sepanjang perjalanan, aku dan Dek Ana mengambil beberapa foto. Sedangkan si Bapak pengemudi perahu beberapa kali bercerita soal Pantai Pangandaran. Di tengah perjalanan, beberapa kali ombak tinggi melewati kami. Dengan noraknya, aku dan Dek Ana berteriak-teriak seperti waktu naik roller coaster -_-a. Hehe. Tapi si Bapak malah menertawakan kami dan bilang, “biasanya mah ombaknya tinggi, sampai ke puncak tebing itu neng.”
Si Bapak menunjuk salah satu tebing.
Menikmati ombak
Ada beberapa tempat menarik di sisi Pantai Pangandaran yang dapat dilihat selama perjalanan dengan perahu. Ada pantai pasir putih yang merupakan batas kawasan cagar alam. Ada kumpulan karang tempat para nelayan mencari lobster. Batu karang itu juga berperan sebagai penanda batas laut lepas. Satu jam dari batu karang itu, kita bisa mencapai Pulau Nusa Kambangan. Setelah menjumpai batu karang, ada pantai pasir putih yang tertutup untuk tempat bertelurnya kura-kura (si Bapak yakin banget kalau itu kura-kura, bukan penyu). Ada batu duduk yang bentuknya mirip seperti manusia yang sedang duduk. Si Bapak cerita bahwa dahulu kala ada anak seorang nelayan yang kerjaannya hanya memancing. Anak nelayan itu nakal dan tidak mau menaati nasihat orang tuanya, sehinngga dia dikutuk menjadi batu. Dan puff, jadilah batu duduk. Sayangnya si Bapak tidak sampai mengantar lebih dekat ke batu duduk itu, jadi aku hanya bisa mengambil gambarnya dari kejauhan. Jika naik perahu lebih jauh lagi, sebenarnya akan ada gua yang kata si Bapak ada batu kelamin di dalamnya. Kata si Bapak, batu itu dinamai batu kelamin karena bentuknya yang menyerupai kelamin. Ada dua jenis batu kelamin di dalam gua itu, yaitu batu kelamin laki-laki dan batu kelamin wanita. Nah, kali ini kelamin siapa ya yang dikutuk? Hihihi.
batu karang pembatas laut lepas
Aku dan Dek Ana memutuskkan untuk masuk ke cagar alam, sehingga si Bapak hanya mengantar kami sampai ke pantai pasir putih. Di sana ada beberapa orang yang menyewakan alat untuk snorkling. Aku sebenarnya ingin mencoba snorkling, tapi Dek Ana lagi gak enak badan, jadi batal deh. Mana enak snorkling sendirian, hehe. Jadi kami cukup mengambil beberapa foto di pantai pasir putih ini, mencari beberapa batu karang kecil di tepi pantai, dan melanjutkan perjalanan untuk masuk ke cagar alam.
Ketika berada di pantai pasir putih, aku melihat serombongan anak-anak SMA yang kegirangan bermain di pantai. Saat kutanya, ternyata mereka berasal dari kota Banjar yang hanya membutuhkan waktu sekitar dua jam untuk mencapai pantai ini. Bisa kupastikan mereka sering mengunjungi pantai ini. Tetapi sepertinya mereka tidak pernah bosan. Itu juga yang kudengar dari Dek Ana. Dia sudah berkali-kali mengunjungi Pantai Pangandaran, tetapi belum juga bosan. Aku jadi teringat dengan apa yang ditulis oleh Mbak Azzura Dayana dalam novelnya: Tahta Mahameru. Dalam novel itu, Mbak Azzura Dayana menulis bahwa anak pantai sekalipun, akan tetap berteriak kegirangan setiap melihat pantai. Maksudnya, meskipun sehari-hari terbiasa melihat pantai, tetapi ketika bermain di pantai, tetap saja itu akan menyenangkan hati mereka.
Dari pantai pasir putih, aku dan Dek Ana mulai berjalan ke dalam cagar alam. Di sepanjang perjalanan, ada beberapa gua Jepang. Ternyata, dulu para tentara Jepang pernah mendarat di area pantai ini, sehingga dibangunlah beberapa gua pertahanan. Kalau berjalan di dalam cagar alam ini sebaiknya jangan mengenakan perhiasan yang mencolok, sebab banyak kera yang berkeliaran secara bebas. Aku dan Dek Ana sempat dikejar kera yang lebih besar dari yang lain. Aku yang notabene-nya lebih sering berkegiatan alam bebas, malah lari lebih cepat dari Dek Ana. Payah, nih, masak aku lebih penakut daripada Dek Ana. Hehe.
gua Jepang di cagar alam pangandaran
 Di cagar alam ini juga banyak rusa yang berkeliaran dengan bebas. Mungkin rusa yang tadi kulihat di pantai juga termasuk kawanan rusa dari cagar alam ini ya? Hehe. Aku juga sempat melihat bunglon di pepohonan. Wow, untunglah tidak ada harimau atau hewan buas lainnya yang sudi bertemu dengan kami. Huffbanget.
rusa-rusa di cagar alam
Sebenarnya kami juga agak was-was karena saat itu cagar alamnya sedang sangat sepi pengunjung. Jalanannya juga agak tidak jelas lewat mana. Tapi untunglah, kami berhasil keluar dari cagar alam tanpa kekurangan suatu apa pun. Di pintu keluar yang juga pintu masuk cagar alam, kami bertemu seorang ibu bersama kedua orang anaknya. Ibu itu berkata kepada kami bahwa mereka tidak berani masuk karena barusan dikejar-kejar oleh kera.
Keluar dari cagar alam, Dek Ana mengantarku mencari aksesoris khas Pangandaran. Awalnya ingin membeli beberapa lembar kaus dan celana pantai. Tapi waktu ke toko, aku jadi kehilangan selera. Jangan tanya penyebabnya ya. Salah satunya karena mahal, tetapi bukan sepenuhnya karena itu. Akhirnya, aku hanya membeli beberapa gantungan kunci khas Pangandaran. Hoho.
Setelah mendapat gantungan kunci lucu berbentuk olive, kami pun pulang. Di tengah perjalanan, kami mampir ke warung bakso. Bakso di sini berbeda dengan bakso di Jawa Timur. Dan namanya bukan bakso, tetapi mie baso. Seporsi mie baso berisi mie kuning yang cukup banyak, beberapa butir baso daging sapi, dan sepotong daging sapi yang melekat pada tulangnya (entah bagian mana, hehe).
Selepas makan bakso, kami pulang ke rumah. Ohya, lucunya, aku dan Dek Ana sedang sama-sama tidak sholat, jadi kemana-mana seperti gak perlu lihat jam deh. Hehe. Ternyata waktu sampai rumah, jam sudah menunjukkan pukul dua siang. It’s really a nice day. Alhamdulillah.
Keesokan harinya, tanggal 23 Februari 2013, aku ngintil Dek Ana ke puskesmas tempatnya bekerja. Sehari menjadi bidan nih ceritanya, wkwkwk. Untung saja tidak ada pasien yang melahirkan. Kalau ada, wow! Iya, pokoknya harus bilang WOW! Siangnya, setelah pulang dari puskesmas, kami pergi ke warung karedok. Aku penasaran, sih, rasanya karedok itu seperti apa. Oalah, ternyata sayur-sayuran yang dicampur dengan bumbu kacang. Rasanya seperti gado-gado tanpa lontong dan tahu. Setelah dari warung karedok, Dek Ana mengantarku membeli ke toko salegor di daerah Padangherang.
Sorenya, aku bersiap-siap pulang. Aku akan naik kereta Mutiara Selatan untuk perjalanan ke Surabaya. Sebenarnya, keretaku baru akan tiba di stasiun Banjar pada pukul 20.58. Tetapi karena jarak rumah ke stasiun Banjar ditempuh selama 1-1,5 jam, maka kami tidak mengambil resiko berangkat malam. Apalagi jalanan yang ditempuh gelap dan naik turun seperti di daerah Trawas.
Pukul 16.30, aku dan Dek Ana naik bus menuju stasiun Banjar. Kami tidak naik motor karena mengkhawatirkan Dek Ana yang akan kembali ke rumah malam-malam. Kami sampai di stasiun Banjar tepat sebelum adzan Maghrib. Setelah mengobrol sebelum berpisah lagi, pada pukul 19.30 Dek Ana pun kembali ke rumah dengan bus dari Jakarta yang akan menuju ke Pangandaran. Hikz. Kapan kita akan ketemu lagi Dek? Ayo pulang aja ke Sidoarjo. Hehehe.

Well, itulah cerita seminggu di Bandung-Banjar. Walaupun selama di Bandung aku banyak jalan-jalan sendirian dan kurang merasa seru, tapi kalau dipikir-pikir aku jadi punya beberapa pengalaman baru soal backpacking. Apalagi waktu numpang di rumahnya Mbak Tica dan ngobrol dengannya, benar-benar menambah wawasan soal bagaimana menjadi ibu. Hohoho. Banjar juga menyenangkan, apalagi Pangandaran dan rumah Dek Ana. I’m gonna miss it. Jadi kepingin mampir lagi ke sana, hehehe. See ya Bandung dan Banjar!