[Cerita Akbar]
Nadina. Dia sangat berbeda dari gadis-gadis pada umumnya.
Pembawaannya anggun dan lembut, namun tegas. Cara bicaranya tidak manja dan
dipanjang-panjangkan seperti gadis lainnya. Dia memiliki prinsip dan cita-cita
yang tegas untuk dirinya. Dan jilbabnya itu, yang semakin membuat perbedaan
dirinya dengan gadis lainnya.
Jilbabnya lebar, tetapi dia tidak membatasi pergaulannya. Dia bisa
berteman dengan siapa pun, mulai dari Alya yang sama-sama jilbaber sampai Rena
yang hobi memakai dress yang panjangnya tidak sampai selutut. Dia bahkan bisa
bersahabat dengan Agnes yang nasrani.
Nadina adalah seorang mahasiswi dan organisatoris. Nadina mengaku
berasal dari Solo, yang membuat orang-orang di sekitarnya mengangguk maklum
dengan cara bicaranya yang lembut, meskipun selalu ada ketegasan dari setiap
kata yang dia ucapkan.
Akbar mengenal Nadina dengan baik. Tetapi tidak dengan Nadina.
Hmm.. Ini semacam cinta yang bertepuk sebelah tangan bagi Akbar. Akbar selalu
melihat ke arah di mana Nadina berada, tetapi langsung memalingkan muka begitu
Nadina melihat ke arahnya. Akbar menjadi orang pertama yang tahu di mana
keberadaannya saat Nadina terlambat mengikuti praktikum. Pasti sholat dhuhur dulu. Akbar hafal mata
kuliah dan jadwal kelas yang diikuti Nadina. Akbar selalu tahu tentang Nadina.
Akbar bukannya tidak percaya diri untuk mendekatkan diri dengan
Nadina. Gadis mana sih yang tidak meleleh kalau didekati oleh si pangeran
Akbar? Ganteng, gaul, dan tajir. Hanya saja, Akbar tahu bahwa Nadina bukan
termasuk dalam kelompok gadis yang mengutamakan ketiga hal tadi. Akbar paham
betul bahwa Nadina tentu mengidamkan sosok lelaki yang tegas, sholeh, dan
dewasa. Bukan lelaki seperti dirinya, yang bahkan untuk sholat lima waktu pun
masih selalu mengulur-ulur waktu.
Akbar sendiri tidak yakin apa yang sebenarnya dia rasakan kepada
Nadina. Apakah kagum, suka, sayang, cinta? Ah, Akbar sendiri tidak tahu apa
bedanya.
Hmm... Semakin dipikirkan, semakin membuat Akbar pusing. Apakah
Nadina pernah berpikir tentang ini? Apakah Nadina juga pernah melihat Akbar
sebagai sosok lelaki? Apakah Nadina pernah menyelipkan kemungkinan bahwa Akbar
lah yang akan menjadi lelaki-nya?
Tidak ada yang mengetahui tentang perasaan Akbar kepada Nadina.
Huh, jangan sampai deh! Akbar kan bukan termasuk cowok-cowok masjid yang sering
disebut akhi. Akbar kan kapten klub basket di kampusnya. Mana bisa cowok basket
menjalin hubungan khusus dengan si cewek masjid macam Nadina. Yah, pokoknya
jangan sampai perasaannya diketahui oleh orang lain. Sebab kalau berita itu
sampai ke telinga orang lain, yang berarti pasti akan sampai juga ke telinga
Nadina, pasti Nadina tidak akan pernah menyapanya lagi. Nadina pasti akan
menjauhinya. Nadina pasti tidak akan mau berbicara dengannya lagi.
Hhhh... Susah deh! Bagaimana caranya agar Akbar bisa dekat dengan
Nadina?
Akbar sampai pernah mencoba ikut kajian di masjid kampus. Tujuannya
hanya satu: agar bisa bertemu dengan Nadina. Kalau beruntung, Akbar juga bisa
ngobrol singkat dengan Nadina. Tapi Allah tidak membiarkan kesempatan itu
datang. Di hari kajian, alih-alih bertemu Nadina, Akbar malah jadi bahan
olok-olokan di kampus karena ketahuan bolos latihan basket untuk mengikuti
kajian.
Akhirnya, suatu saat Bu Roni, dosen mata kuliah Technopreneur,
memberi tugas kelompok. Kabar baiknya, Akbar berada di kelompok yang sama
dengan Nadina. Tetapi selalu saja, waktu tidak berpihak pada Akbar. Kelompoknya
malah memberi tugas kepada setiap anggota untuk mengerjakan bagiannya
masing-masing yang sebelumnya sudah dibagi, kemudian baru dijadikan satu pada
waktu yang sudah ditentukan. Jadi, sama sekali tidak ada kerja kelompok, yang
berarti tidak ada kesempatan bagi Akbar untuk berinteraksi dengan Nadina.
Huff. Selalu saja gagal. Akbar tidak tahu, benar-benar tidak tahu,
bagaimana dia bisa berinteraksi dengan Nadina. Bahkan untuk menanyakan kabar
pun selalu tidak ada kesempatan. Nadina sebenarnya ramah dan terbuka kepada
siapa saja yang ingin menjadi temannya, tetapi tentu saja ada batas-batas
pergaulan yang dia buat untuk teman lelakinya. Misalnya ketika harus berbicara
dengan teman lelakinya, maka Nadina akan menjaga jarak. Nadina juga menghindari
kontak fisik dengan teman lelakinya, bahkan Nadina menolak bersalaman dengan
teman lelakinya. Bukan karena tidak menghargai, tetapi begitulah ajaran Islam
yang Nadina tahu: bahwa tidak diperbolehkan adanya kontak fisik dengan lawan
jenis yang bukan muhrim. Jangankan kontak fisik, saling berpandangan saja sudah
disebut zinah!
[Cerita Nadina]
Namanya Akbar. Entah bagaimana, dia selalu menjadi pusat perhatian
para gadis di kampus. Padahal dia tidak bertingkah macam-macam. Dia orang yang
sederhana untuk ukuran anggota klub basket di kampus.
Dan, entah bagaimana juga, Nadina selalu merasa bahwa mata Akbar
selalu tertuju kepadanya. Seringkali, melalui sudut matanya, Nadina menangkap
gerakan mata Akbar yang mencuri pandang ke arahnya. Aneh sekali. Apa yang
sedang Akbar cari dari dirinya? Nadina tidak merasa cantik seperti gadis di
kampus yang memuja-muja Akbar. Lagipula, Nadina kan jilbaber. Mana bisa Akbar
sang kapten basket memperhatikannya.
Nadina harus mengakui bahwa Akbar ganteng. Ya, se-jilbaber apapun,
Nadina kan tetap cewek! Nadina bisa menilai lelaki ganteng itu siapa dan
bagaimana. Dan bagi Nadina, Akbar termasuk cowok ganteng dalam daftarnya.
Bukan, bukan karena wajah Akbar memang ganteng, tetapi Akbar memiliki sesuatu
yang membuatnya tampak ganteng di mata Nadina.
Pada suatu pagi, di tengah perjalanan menuju kampus, Nadina melihat
Akbar di tepi jalan sedang berusaha menaikkan barang dagangan seorang nenek tua
ke dalam mobilnya. Nadina yang mengendarai motor terus saja jalan tanpa menegur
Akbar. Sesampainya di kelas, rupanya Akbar belum hadir. Bahkan setelah bel
berbunyi dan dosen masuk kelas, Akbar masih belum muncul. Hingga lima belas
menit kemudian, akhirnya Akbar datang. Dengan gayanya yang
kapten-basket-banget, Akbar masuk kelas.
“Menurut peraturan, kalau ada mahasiswa yang terlambat sampai lima
belas menit, maka dia dianggap tidak mengikuti kelas,” kata Bu Ade menyindir
Akbar.
“Hehe, maaf Bu, tadi jalannya macet,” kata Akbar sambil
cengangas-cengenges.
Bu Ade menghembuskan nafas, lalu mempersilakan Akbar duduk. Lihat,
bahkan dosen pun jatuh cinta pada Akbar. Hanya dengan ‘haha-hehe’-nya,
Akbar bisa melelehkan Bu Ade yang biasanya langsung mengusir mahasiswa yang
datang terlambat saat kelasnya berlangsung.
Nadina tercenung melihat itu. Nadina tahu bahwa jalanan macet bukan
alasan Akbar terlambat masuk kelas. Nadina tahu bahwa nenek tua yang bersama
Akbar tadi adalah alasan yang sebenarnya.
Sejak saat itu, Nadina mulai memperhatikan Akbar.
Nadina tahu bahwa Akbar sedikit bandel untuk urusan sholat lima
waktu. Nadina tahu bahwa Akbar suka
hang-out bareng teman-temannya di kafe. Nadina tahu bahwa Akbar memiliki sisi
lain, bahwa Akbar memiliki hati yang hangat, yang gemar membantu orang-orang di
sekitarnya, tanpa perlu dipamerkan.
Apakah Nadina jatuh cinta kepada Akbar? Uuh. Terlalu dini untuk
bicara cinta. Bagi Nadina, cinta kepada lawan jenis hanya akan tumbuh setelah
terikat dengan tali pernikahan yang sah. Maka dari itu, Nadina memutuskan bahwa
apa yang ia rasakan kepada Akbar hanya sebatas perasaan tertarik.
Suatu saat, Nadina melihat Akbar yang memakai baju koko dan kopiah
memasuki masjid. Ini bukan sesuatu yang biasa. Sore-sore begini, biasanya Akbar
sedang latihan basket di lapangan. Nadina tahu itu, karena setiap berangkat ke
masjid untuk mengikuti kajian, Nadina melewati lapangan dan melihat Akbar
sedang latihan basket di sana.
“Akbar ikut kajian? Aneh ya, jangan-jangan ada udang di balik
batu,” kata seorang peserta kajian yang duduk di dekat Nadina.
Nadina tersenyum menanggapinya dan berkata, “orang ingin belajar
kok dibilang aneh.”
Tapi ini memang aneh, batin Nadina.
Huff. Akbar menyerah untuk mencari cara mendekati Nadina tanpa
disadari oleh Nadina. Sudahlah. Pasti bukan Akbar yang disebut pantas oleh
Nadina untuk menjadi lelakinya.
Akbar mengamati wajahnya di cermin di kamarnya. Percuma saja
mempunyai wajah ganteng, tetapi sama sekali tidak dilihat oleh orang yang ia
ingin melihatnya. Nadina. Nadina. Ya, tentu saja Akbar ingin Nadina
menganggapnya ada. Akbar ingin Nadina melihatnya sebagai lelaki. Ah, sudahlah,
lupakan...
“Akbar, ayo berangkat, nak,” panggil Bu Ratna, Ibu Akbar. Sore ini
Akbar diminta ibunya mengantarkan pesanan kue ke rumah Bu Anisa di komplek
sebelah. Kue bikinan Bu Ratna memang terkenal di kalangan warga komplek.
Sesampainya di rumah Bu Anisa, Akbar melihat sesuatu, maksudnya
seseorang, yang tidak ia sangka-sangka. Nadina. Ya, itu Nadina. Yang sedang
berdiri di dekat Bu Anisa di depan gerbang rumahnya itu adalah Nadina.
“Assalamualaikum Bu Anisa, maaf ya agak terlambat,” sapa Bu Ratna
kepada Bu Anisa sambil ber-cipika-cipiki ala ibu-ibu komplek.
“Waalaikumalam, tidak apa-apa kok Bu, Ibu-Ibu pengajian juga pada
belum dateng,” jawab Bu Anisa.
“Yasudah, Akbar, kamu masukin kue-kue nya ke dalem ya, Ibu masuk
duluan sama Bu Anisa,” kata Bu Ratna.
“Nadina bantu masukin kue juga ya, nduk?” kata Bu Anisa. Nadina
mengangguk. Di dalam hatinya, dia tersenyum. Tidak disangka akan bertemu dengan
Akbar di rumah Bibinya, Bu Anisa.
Bu Anisa dan Bu Ratna sudah melangkah masuk ke dalam rumah, tetapi
Akbar masih bengong saja karena surprise melihat Nadina. Setelah Nadina
memanggil namanya, Akbar baru sadar dari bengongnya.
“Akbar?” kata Nadina.
“Nadina?” jawab Akbar.
Akhirnya kesempatan itu datang juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih ^^