Aku
terlarut dalam malam. Hancur lebur menjadi partikel. Aku menyatu
dengan gelap. Aku merasakan hadirmu.
Dua
puluh empat bulan yang lalu kau dan aku masih berlari-lari kecil di
pinggir Pantai Papuma. Musik lautan dimainkan oleh ombak yang
bersinergi dengan air laut membunyikan suara-suara alam yang selalu
kau banggakan padaku. Kau membawa kameramu, berusaha merekam setiap
ekspresi yang muncul dari wajahku. Kau bilang aku cantik.
Tiga
puluh satu bulan yang lalu kau dan aku masih duduk di tepian sebuah
kolam, yang kita juluki “kolam pengakuan”. Di sana pertama
kalinya hati kita bertemu. Bulan dan bintang menemani kita dengan
lukisan langit yang selalu kau kagumi. Kita tertawa mendengar suara
kodok yang bernyanyi setelah hujan turun. Bahkan malam itu pun, hujan
turun ingin menyaksikan kita. Angin malam datang memberi salam kepada
kita. Sang bulan tampaknya telah memberi kabar kepada seluruh elemen
alam tentang kita.
Delapan
belas bulan yang lalu kau dan aku menapaki tanah Mahameru. Aku
seorang lemah yang tiba-tiba menjadi kuat untukmu, semata-mata ingin
menunjukkan bahwa aku adalah wanita yang tepat untukmu. Kau ingat,
matamu selalu berbinar-binar cemerlang saat menceritakan apa yang kau
lihat di Ranu Kumbolo, apa yang kau pikirkan di Oro-Oro Ombo, apa
yang kau rasakan di Mahameru. Aku ingin merasuki rasamu secara utuh.
Dua
puluh bulan yang lalu kau dan aku berada di tengah padatnya kota
Surabaya. Kau bilang ingin menunjukkan tempat yang menakjubkan
kepadaku. Aku buta arah, kau mengerti itu. Maka kau tidak pernah
sekali pun melepaskan tautan jari tanganmu dari jari tanganku.
Sepanjang jalan bernama “Jalan Semarang” itu, kau dan aku
bergandengan tangan mencari buku-buku tua dan murah yang sudah lama
kita cari.
Enam belas bulan yang lalu kau dan aku duduk berhadapan di sebuah meja kafe es krim. Aku ingin mentraktirmu sebagai ucapan terimakasih atas semua kebaikan yang kau tanamkan padaku. Saat itu kau baru saja pulang dari pendakian Gunung Rinjani. Aku memesan satu porsi es krim coklat favoritmu dan satu porsi es krim vanilla favoritku. Aku menunggu binar-binar matamu saat menceritakan perjalanan Rinjani mu.
Namun kau diam.
Matamu sayup.
Aku
bertanya mengapa. Matamu menatap mataku, mengisyaratkan bahwa kita
sudah selesai. Kau tidak perlu bicara, aku sudah mengerti.
Rasamu
telah berbeda.
Kau
bilang kau bertemu lagi dengannya. Wanita itu. Yang selalu kau
ceritakan. Yang tidak pernah kau lupakan. Yang selalu kau banggakan.
Yang selalu kau hadirkan bahkan saat kita bersama.
Seketika.
Aku melupakan nikmatnya rasa es krim vanilla favoritku. Aku merasakan
hatiku tertusuk tombak. Otakku memaksa agar air mataku tidak keluar.
Namun hatiku lebih kuat. Hatiku mengambil kendali atas seluruh
tubuhku. Otakku tidak berfungsi. Serta merta air mataku jatuh.
Aku
menangkupkan tangan di wajahku, berharap kau akan meraihnya dan
mengatakan bahwa kau akan tetap bersamaku. Tetapi kau diam. Aku
menangis sendirian. Kau dan aku hening di sudut kafe es krim yang
ramai pengunjung. Kau menungguiku hingga aku lelah menangis. Aku
membuka tanganku, meskipun aliran air mata masih belum bisa
kuhentikan. Aku melihatmu menatapku.
Kau
menatapku nanar. Aku bisa merasakan kekacauan di dalam hatimu. Saat
itu kita tidak saling bicara. Kau hanya menatapku, dan aku mengerti.
Bahwa kita telah usai. Bahwa wanita itu telah menunggumu untuk segera
kembali padanya.
Bahwa
kau tidak memilihku. Bahwa wanita itu telah meninggalkanmu, dan kau
tetap memilih bersamanya.
Kau
berucap maaf, lalu pergi meninggalkanku menangis sendirian di sudut
kafe es krim. Aku memaksa tersenyum dan berkata kepadamu sebelum kau
pergi, “terimakasih.”
Enam
belas bulan yang lalu. Kau ingat? Hatiku masih saja perih.
masih terjebak dalam masa lalu, moga cepet move on ya :)
BalasHapusini saya lagi belajar bikin cerpen Pak, bukan pengalaman pribadi -___-a
HapusSEMANGAT YONG!!!!
BalasHapushaduuuu, ini bukan pengalaman pribadi cin, ini cuma belajar nyerpen, hehehe
HapusSetelah aku baca lagi, aku jahat banget sama tokoh utamanya ya, hikz :'(
Hapus