It’s
really long time for me to not see this blog. Miss it so much!
Seminggu
yang lalu, dari tanggal 17-24 Februari 2013 aku mengadakan suatu perjalanan
yang lumayan jauh. FYI, aku berdomisili di Jawa Timur, tepatnya Sidoarjo (1 jam
dari Surabaya). Lalu, dengan bondo nekat alias Bonek, aku mengadakan perjalanan
ke Jawa Barat. Aku tidak sendirian dalam perjalanan ini. Well, let me tell you
everything about this travelling.
Dulu
aku pernah menulis tentang resolusi di tahun 2013, dan salah satunya adalah
melakukan perjalanan ke Jawa Barat untuk memulai proyek “Around the Java” ku.
Aku girang sekali ketika mendengar bahwa Nurma, Janet, dan Norem akan pergi ke
Bandung untuk melakukan tes kesehatan dan pembekalan sebelum melakukan
ekspedisi ke Sulawesi yang diadakan oleh Kopasus.
Menurut jadwal awal, tes
kesehatan dilakukan pada tanggal 18 Februari, dan pembekalan akan dimulai pada
tanggal 21 Februari. Maka menurut perhitungan, masih ada tanggal 19 dan 20
Februari untuk setidaknya bersama menghabiskan waktu melihat-lihat Bandung.
Namun ternyata, setibanya di Bandung, ada perubahan jadwal. Ternyata, setelah
tes kesehatan para peserta ekspedisi harus geser saat itu juga ke lokasi
pembekalan materi di daerah Situ Lembang. Alhasil, kami harus berpisah jalan
pada tanggal 18 Februari. Janet, Nurma, dan Norem pergi ke daerah Batu Jajar
untuk tes kesehatan yang dilanjutkan dengan pembekalan materi di daerah Situ
Lembang. Sedangkan aku, setelah sebelumnya bingung memikirkan bagaimana nasibku
di tempat yang jauhnya lebih dari 700 Km dari Jawa Timur, akhirnya memutuskan
untuk menumpang di rumah salah seorang Sikluser yang kebetulan berada di daerah
Lembang. Hei, Situ Lembang dan Lembang ini bukan daerah yang sama atau
berdekatan ya! Menurut Bapak yang aku tanya, ternyata Situ Lembang berada di
dekat daerah Tasik, sedangkan Lembang adalah dataran tinggi yang terletak di
Bandung Utara.
setelah sarapan sebelum Norem, Janet dan Nurma berangkat ke Batujajar untuk tes kesehatan (dari ki-ka: Norem, Janet, Nurma, my self) |
Aku
berangkat ke Bandung naik kereta api Pasundan dengan tujuan stasiun Kiara
Condong pada tanggal 17 Februari bersama Janet dan Nurma (Norem sudah berangkat
ke Bandung satu hari sebelumnya bersama rombongan peserta ekspedisi yang lain).
Setibanya di Bandung, kami menginap semalam di sekretariat mahasiswa KSE ITB
(beasiswa Karya Salemba Empat). Esoknya, tanggal 18 Februari, aku berpisah dengan
Janet, Nurma, dan Norem. Setelah tanya sana-sini, untuk pergi ke Lembang dari
sekretariat KSE ITB, aku harus naik angkot dua kali oper. Pertama naik angkot
jurusan terminal Ledeng, lalu dilanjutkan dengan angkot jurusan Lembang. Aku
turun di Pasar Lembang, lalu dijemput oleh Mbak Tica. Mbak Tica adalah salah
seorang sikluser yang empat tahun lebih tua dariku, seorang ibu rumah tangga
dan sudah memiliki seorang bayi yang lucu.
Begitu
bertemu dengan Mbak Tica, aku langsung curhat tentang kondisiku saat itu, bahwa
aku sendirian dan sudah berpisah dengan Janet, Nurma, dan Norem.
Sesampainya
di rumah Mbak Tica, ternyata Mas Bagus (suaminya Mbak Tica) sedang sakit dan
akan berangkat ke rumah sakit untuk opname. Mbak Tica tidak bisa menemani Mas
Bagus ke rumah sakit karena harus menjaga Rezvan (bayinya Mbak Tica) yang juga
sedang tidak enak badan. Yah, kebetulan sekali aku datang di saat Mbak Tica
sedang repot-repotnya.
Mbak Tica dan bayinya, Rezvan |
Sampai
pukul 14.00, aku menghabiskan waktu di rumah Mbak Tica untuk beristirahat,
berkenalan dengan Rezvan (sumpah, Rezvan lucu banget!), dan browsing tentang
Bandung. Bodohnya, sebelum berangkat ke Bandung, aku sama sekali tidak mencari
tahu tentang Bandung. Yah, ini salah satu evaluasi kalau aku akan pergi
kemana-mana lagi. Kemudian, setelah lewat pukul 14.00 aku baru keluar rumah
Mbak Tica. Aku bingung mau pergi kemana. Mau ke Tangkuban Perahu (hanya 30
menit dari rumah Mbak Tica), sudah terlalu siang. Mau mampir ke mapala Ganesha
(mahasiswa pencinta alam ITB) atau UPI, tapi tidak memiliki kenalan di sana. Sebelumnya,
aku mendapat kabar dari Janet bahwa ternyata para peserta yang berjenis kelamin
wanita akan diberangkatkan ke Situ Lembang keesokan harinya, jadi hari ini
seharusnya masih bisa bertemu lagi. Tetapi, kami terlalu lama memutuskan akan
pergi ke mana, sebab jarak Lembang-Batu Jajar (tempat mereka tes kesehatan)
cukup jauh. Akhirnya, karena sudah siang dan tidak mau menghabiskan waktu lagi,
aku memutuskan untuk jalan-jalan sendiri dengan meminjam motor Mbak Tica. Dan
pilihanku hari itu adalah pasar buah Lembang, kampus UPI, dan Rumah Sosis.
You
have to know bahwa jalan-jalan sendirian itu sangat tidak menyenangkan. Sebagus
apa pun tempat yang kita kunjungi, tetapi kalau sendirian ya tetap saja tidak
akan menyenangkan. Aku ingat bertahun-tahun yang lalu Mbak Tica berkata, “naik
gunung itu bukan soal ke mana, tetapi dengan siapa.”
Aku
sangat setuju dengan kalimat itu, tetapi aku menggubahnya menjadi, “bukan soal
kemana, tetapi dengan siapa”. Maksudku, tidak menjadi masalah ke mana kita
pergi asalkan bersama dengan orang-orang yang menyenangkan. Aku jadi menyesal
tidak menerima ajakan Janet tadi. hikz.
Oke,
cukup sekian menyesalnya. Now I will tell you tentang tempat-tempat yang
kukunjungi hari itu. Pertama, Pasar Buah Lembang. Karena bukan musim liburan
dan bukan weekend, pasar ini sangaaaaaaaat sepi. Sebenarnya, aku tidak melihat
pengunjung lain selain aku. Tadi ketika Mbak Tica bercerita tentang pasar buah
ini, aku membayangkan pasar buah yang besar dan sangat ramai. Tetapi ternyata,
pasar ini kecil dan hanya terdiri dari beberapa warung. Ada beberapa warung
yang menjual oleh-oleh Bandung. Aku mampir ke salah satu warung untuk membeli
salegor (pisang sale goreng). Aku juga mampir ke salah satu warung yang menjual
kaus Bandung dan membeli dua kaus dengan harga Rp 24.000,-/kaus.
Setelah
mengunjungi Pasar Buah, aku beranjak menyusuri jalanan Lembang, lalu tiba-tiba
aku sudah berada di jalanan menuju Bandung kota. Karena sudah menjelang sore,
aku berhenti saja di kampus UPI. Begitu memasuki area kampus, aku langsung
mengaguminya. Kampus ini cukup luas dan besar, tetapi hanya memiliki satu area
parkir besar. Di beberapa tempat terdapat papan bertuliskan “BUDAYAKAN BERJALAN
KAKI DALAM KAMPUS”.
Benar-benar langkah kongkrit untuk mengurangi emisi
karbondioksida. Aku tidak melihat adanya publikasi soal eco campus di UPI, tetapi
sikapnya sangat eco campus. Talk less, do more! Please, don’t ask me about eco
campus in ITS.
BUDAYAKAN BERJALAN KAKI DALAM KAMPUS |
Setelah
dari kampus UPI, aku kembali ke Lembang. Namun sebelum mencapai Lembang, aku
melihat sebuah baliho besar bertuliskan Rumah SOSIS. Karena tertarik ingin
melihat dalamnya rumah sosis (apakah di dalamnya ada banyak sosis?), aku masuk.
Dan ternyata... Lagi-lagi aku menjadi satu-satunya pengunjung di sana. Krik
krik krik.
Terdapat
enam bagian di dalam rumah sosis: kolam renang, playground untuk anak-anak,
toko oleh-oleh, restoran, toko sosis, dan kedai sosis bakar. Restoran dan toko
oleh-oleh hanya buka di hari weekend. Karena tidak tertarik dengan kolam renang
dan playgroundnya, aku pun melihat-lihat di toko sosis. Sebelum memasukinya,
aku membayangkan betapa meriahnya toko sosis itu. Namanya saja toko sosis di
dalam rumah sosis, pastilah sosis-sosis di dalamnya adalah sosis-sosis yang istimewa
dan meriah. Namun ternyata... Toko ini tidak lebih luas daripada minimart. Di
beberapa sudut toko terdapat beberapa freezer untuk menyimpan sosis-sosis yang
dijual. Tidak ada sosis-sosis yang digantung dari atas langit-langit. Tidak ada
poster-poster sosis yang ditempel di dindiing toko. Tidak ada mainan berbentuk
sosis di dalamnya. Yah, everything is just usual. Ternyata yang meriah hanya
namanya. Mengerti kan maksudku? Sebuah bangunan yang disebut Rumah Cermin, maka
di dalamnya terdapat berbagai macam cermin di setiap bagiannya. Bangunan yang
disebut Rumah Hantu juga memiliki banyak hantu di dalamnya. Yah, pokoknya
bagian dalam rumah harus semeriah namanya.
Setelah
melihat toko sosis yang mengecewakan, aku mampir ke kedai sosis bakar dan
memesan satu tusuk sosis rasa blackpepper seharga Rp 12.000,-. Iya benar, hanya
satu tusuk, karena sosisnya memang ukuran jumbo, tidak seperti sosis pada
umumnya. Yang bisa kusimpulkan dari rumah sosis adalah bahwa yang istimewa
hanya sosis-sosisnya: enak, besar dan panjang. Bangunan dan design nya tidak
mewakili nama dari rumah sosis itu sendiri. Biasa saja.
Sosis bakar rasa blackpepper di Rumah Sosis |
Dari
rumah sosis, aku langsung beranjak ke daerah Lembang. Karena ternyata hari
belum gelap, aku memutuskan untuk mengunjungi satu tempat lagi: Floating Market
(Pasar Apung). And you know what? Lagi-lagi aku mengunjungi tempat yang seeepiiii.
Sebelum membayar tiket masuk seharaga Rp 10.000,- dan biaya parkir Rp 1.000,-,
aku bertanya kepada petugas di pintu masuk.
Aku:
Pak, kok kelihatannya sepi ya. Lagi tutup ya Pak?
Petugas:
Buka kok neng, ramenya pas Sabtu Minggu.
Aku:
Lha yang disebut pasar apungnya sebelah mana Pak? (soalnya dari pintu masuk aku
cuma bisa melihat warung-warung dan kebun)
Petugas:
itu di sebelah sana neng (sambil menunjuk ke suatu tempat), tapi sekarang lagi tutup.
Aku:
Tadi katanya buka...
Petugas:
Pasar apungnya lagi pada tutup neng, soalnya sepi pengunjung, yang buka cuma
dua warung yang itu sama yang itu (sambil menunjuk ke dua warung yang buka).
Aku:
*dalam hati* percuma dong bayar Rp 10.000,- tapi gak bisa lihat pasar apung nya.
Aku:
Oo, gak jadi deh Pak. Maaf ya Pak. (kabur)
Dasar.
Kalau pasar apungnya (yang bahkan jadi nama tempatnya) tutup, kenapa pula masih
dibuka. Hrrr!!
Selepas
itu, aku mampir ke sebuah warung pinggir jalan untuk mencicipi ketan bakar. Ada
tiga pilihan topping untuk si ketan bakar: oncom, parutan kelapa yang
disangrai, dan kacang. Aku memilih parutan kelapa dan kacang untuk topping.
Ternyata... Rasanya biasa saja. Si ketan bakar tidak berasa seperti ketan,
tetapi seperti nasi. Pernah makan lemper kan? Aku membayangkan rasa ketan si
ketan bakar ini mirip dengan rasa ketan si lemper: wangi dan sedikit berminyak.
Eh ternyata cuma berasa seperti nasi yang dibakar, sama sekali tidak ada wangi
ketannya. Yah, maklum lah warung pinggir jalan. Tapi menurutku, harga Rp
5.000,- terlalu mahal untuk ketan bakar macam begitu.
Baiklah,
perut sudah terisi dan oleh-oleh sudah di tangan. Sekarang saatnya pulang ke
rumah Mbak Tica. Seharusnya, dari warung ketan bakar tadi, rumah Mbak Tica
dapat ditempuh dengan waktu kurang dari lima belas menit. Tetapi... I was lost!
Sebelum berangkat jalan-jalan tadi, Mbak Tica menggambarkan peta sederhana
untukku. Hemm. Tapi aku tidak menemukan satu tanda jalan yang digambarkan Mbak
Tica di peta. Dan mampusnya, aku tidak mencatat alamat lengkap rumah Mbak Tica.
Mampusnya lagi, HP ku secara sempurna mati karena kehabisan baterai. Setelah
berputar-putar selama satu jam (sudah menjelang Maghrib), aku memutuskan untuk
berhenti di pangkalan ojek terdekat. Aku bilang ke bapak-bapak tukang ojek
bahwa aku orang Surabaya yang sedang tersesat, HP ku mati, lupa alamat rumah
yang akan aku tuju, dan peta yang kubawa tidak bisa dijadikan petunjuk lagi.
Dengan tanpa perasaan, seorang tukang ojek malah menudingku sambil berkata, “Jangan-jangan
Neng ini penjahat hipnotis ya?!”
Sempurna
sudah. Aku sedang tersesat dan disangka penjahat! Kenapa nggak sekalian saja
dipanggilin polisi? *mewek*
Beruntungnya,
ada salah seorang tukang ojek yang berbaik hati. Bapak tukang ojek itu mengantarku
ke warung terdekat dan meminta tolong kepada pemilik warung agar aku bisa
menumpang nge-charge HP. Begitu HP ku bisa menyala, aku langsung menghubungi Mbak
Tica. Dengan bodohnya, aku lupa menanyakan alamat lengkap rumah Mbak Tica. Aku
malah bertanya, “Mbak, nanti belok di mana?”
Mbak
Tica menjawab, “kamu ikuti jalan besar aja, nanti setelah nemu lapangan kosong,
baru belok ke gang. Kalau sudah sampai di sana telepon lagi, ya.”
Setelah
berterimakasih kepada pemilik warung dan bapak-bapak tukang ojek, aku bergegas
menyusuri jalan sesuai petunjuk Mbak Tica. Karena sudah malam dan sedikitnya
lampu jalan, kesannya jadi seram. Tiba-tiba di tengah perjalanan, aku merasa
ada yang mengikutiku dari belakang. Entah darimana, aku mendapat teori bahwa
jika sedang berkendara dengan kendaraan bermotor dan diikuti dari jarak yang
cukup dekat, sebaiknya segera berhenti mendadak agar si penguntit bisa
mendahului kita sehingga kita bisa berbalik arah dan kabur secepatnya. Aku akan
mengamalkan teori itu, tetapi belum sempat berhenti mendadak si penguntit sudah
menjajari ku. Oh geez, ternyata si penguntit adalah seorang lelaki tua. Ah,
bagaimana ini kalau aku di-apa-apa-kan?! Kalau minta uang, aku kasih saja deh,
toh di dompetku sisa selembar uang lima puluh ribuan. Tapi bagaimana kalau
bapak tua ini malah mau memperk*sa-ku? Oh tidaaaaaaaak! Ya Allah, selamatkan
hamba-Mu Ya Allah. Sumpah, aku kuatir banget waktu itu.
Ternyata...
Si Bapak tua bertanya, “Neng, bapak antarkan saja, bapak tau lapangannya kok.”
Nah
lho, darimana si Bapak tua ini tahu aku lagi mencari lapangan yang dikatakan
Mbak Tica tadi? Ah, positive thinking saja lah. Belum tentu juga si Bapak tua
ini penjahat. Akhirnya, aku mengikuti Bapak tua tadi. Tapi kok jauh ya. Tadi
Mbak Tica sempat bilang kalau rumahnya bisa ditempuh dalam waktu 10 menit dari
warung tempatku nge-charge HP tadi. Aku terus bersholawat waktu itu, meminta
pertolongan agar diselamatkan oleh Allah.
Si
Bapak tua berhenti dan menunjukkan lapangan yang dia maksud. Hehe. Ternyata Si
Bapak tua tidak punya niat jahat kok. Alhamdulillah. Aku segera masuk ke gang
di dekat lapangan, sesuai petunjuk Mbak Tica. Hemm, tapi jalan di dalam gang
ini berbeda dengan gang waktu aku berangkat tadi. Ah, mungkin karena malam jadi
terlihat berbeda, pikirku saat itu. Kemudian, aku mengikuti saja jalan sesuai
instingku. Dan sampailah aku ke sebuah jalan super sempit dan gelap yang hanya
muat dilewati oleh satu motor. Jalan itu tidak dilapisi aspal, melainkan hanya
tanah coklat yang agak basah. Jalanannya meliuk-liuk dan panjang. Sisi
kanan-kirinya dibatasi oleh besek bambu yang berjajar sepanjang jalanan.
Aku masih terus bergumam sholawat dan basmalah memohon perlindungan Allah.
Kalau di tempat sesempit ini sih, aku lebih mengkhawatirkan adanya makhluk gaib
jahat daripada manusia jahat. Bahkan pikiran bodoh sempat menghinggapi otakku:
jangan-jangan jalanan ini berujung pada dunia lain?
Hahaha.
Ternyata
jalanan tersebut berujung pada jalan raya yang juga gelap dan sepi. Dan
jelaslah semuanya! Lapangan yang dimaksud oleh si bapak tua dan Mbak Tica
adalah lapangan yang berbeda. Ini berarti aku masih tersesat! Well, sekarang
ada dua pilihan: masuk ke jalan raya yang gelap itu tanpa tahu jalan itu menuju
ke arah mana atau kembali menyusuri jalanan sempit yang gelap tadi sampai
kembali ke lapangan dan menelepon Mbak Tica. Aku memilih yang terakhir.
Masih
dengan membaca basmalah dan sholawat, aku kembali menyusuri jalanan sempit itu.
Di tengah perjalanan, satu tas oleh-olehku jatuh. Aku berhenti. Dengan kepala
menunduk dan melihat ke bawah (aku tidak berani menoleh kemana-mana sebab takut
akan melihat sesuatu yang tidak lazim), aku berusaha men-jagang motor
tetapi tidak bisa karena jalanan yang tidak rata. Aku turun dari motor. Satu
tangan memegangi motor agar tidak jatuh, dan satu tangan lagi berusaha
menggapai tas oleh-olehku yang jatuh. Setelah berhasil, aku segera kabur dari
jalanan seram itu. Setelah selamat dari jalanan seram itu, aku berhenti di tepi
lapangan yang ditunjukkan oleh Bapak tua tadi. Aku menelepon Mbak Tica dan
menanyakan alamat lengkap rumahnya. Ternyata, rumah Mbak Tica ada di tempat bernama
Babakan Lengsir. Babakan Lengsir ini berada di daerah Lembang yang menuju arah
Maribaya. Setelah bertanya tiga kali, akhirnya aku menemukan gang menuju rumah
Mbak Tica. Alhamdulillah... Aku bernapas lega.
Keesokan
harinya, pada tanggal 19 Februari 2013, Mbak Tica berencana mengajakku
berkunjung ke rumah sakit tempat suaminya dirawat. Namun karena hujan, rencana
itu batal. Akhirnya setelah cuaca agak cerah, aku keluar rumah lagi menggunakan
motor Mbak Tica. Kali ini tujuanku adalah Cihampelas Walk yang katanya bagus. Menemukan
Cihampelas Walk dari daerah Lembang cukup gampang. Ikuti saja papan hijau
penunjuk jalan.
Jujur
ya, buat aku yang baru pertama kali ke Ciwalk (Cihampelas Walk) ini bangunannya
cukup membingungkan. Hehe. Aku tidak paham mana yang bagian Yogya Walk (kalau
gak salah sih gitu namanya, hehe), mana yang bagian Ciwalk. Bego ya? Hehe. Tapi
konsep mall nya memang bagus. Ada bagian outdoor yang dibikin dengan konsep
Broadway. Sayang sekali aku sengaja tidak membawa kamera. Pikirku saat itu, halah
cuma mall aja pake difoto. Eh ternyata, di sana banyak yang melakukan
pemotretan -_-a
Buat
yang berdomisili di Surabaya dan sekitarnya, pernah jalan-jalan ke Ciputra
World? Di lantai di bawah XXI juga dibikin dengan konsep Broadway, tidak jauh
beda dengan di Cihampelas Walk, hanya saja yang di Ciputra World tidak dibikin
outdoor. By the way, terus kalau hujan gimana ya nasib si broadway yang di
Cihampelas Walk?
Biar
jalan-jalannya gak garing, aku membeli sepotong kue (apa ya namanya?) di
BreadTalk. Aku lupa nama kuenya, pokoknya bentuknya bulat dan berisi cream,
lalu dibberi topping kacang almond. It’s my favourite! Hoho.
Setelah
duduk-duduk gak jelas, keliling-keliling gak jelas, berdiri-berdiri gak jelas,
aku pun keluar dari mall dan melanjutkan melihat-lihat jalan Cihampelas yang
katanya mirip jalan Malioboro di Jogja. Aku tidak bisa membandingkan karena
belum pernah mampir di Malioboro. Di jalan Cihampelas ini banyak pedagang kaki
lima yang menjual oleh-oleh khas Bandung, mulai dari kaus sampai pisang sale.
Selain pedagang kaki lima, berjejer juga toko-toko yang menjual pakaian dan
kaus-kaus Bandung. Aku masuk ke dalam beberapa toko untuk membandingkan
harganya. Dan... Yang paling murah tetap saja di kaki lima. Hehehe. Jangan
khawatir soal kualitas. Kaus dengan bahan dan ukuran yang sama dijual seharga
Rp 15.000,- di kaki lima tapi berubah harga menjadi Rp 16.500,- di toko. Yah,
memang hanya selisih Rp 1.500,- tetapi kalau beli banyak kan selisihnya juga
jadi banyak. Apalagi buat backpacker dan para pelancong ala ransel. Iya kan?
Iya kan? Hehe.
Setelah
tawar-menawar, aku membeli dua kaus berwarna hitam dan putih. Ohya, kalau
jalan-jalan ke Bandung dan ingin membeli kaus Bandung, sebaiknya beli saja di
kaki lima Cihampelas, sebab di tempat lain harganya bisa jauh lebih
tinggi. Seperti ketika aku membeli kaus di pasar buah Lembang. Kaus dengan bahan
yang sama tadi harganya mencapai Rp 24.000,-. Dasar wong dodolan...
Puas
melihat-lihat jalan Cihampelas, aku segera kembali ke daerah Lembang. Aku tidak
mau berkeliaran di jalan sampai malam, bisa-bisa aku tersesat lagi seperti
kemarin. Dan Alhamdulillah, aku tidak tersesat lagi kali ini. Aku sudah hafal
jalan menuju rumah Mbak Tica setelah tersesat gak karuan kemarin.
Sebelum
pergi ke Cihampelas, aku sempat jajan siomay di warung pinggir jalan daerah
Lembang. Aku ingin merasakan makan siomay di tempat asalnya. Hehe. Tapi
ternyata, rasanya sama saja seperti di Surabaya atau Sidoarjo. Ikan tengirinya
kurang berasa nih. Ya maklum, harganya saja cuma Rp 8.000,-. Itu pun sudah
ditambah dengan es jeruk. Ohya, kebiasaan di Jawa Barat ini ternyata kalau
makan di warung secara otomatis akan mendapat teh tawar gratis. Tapi karena
lidahku tidak terlalu cocok dengan teh tawar, aku selalu memesan minum. Yah,
setidaknya teh manis. Atau air putih saja sekalian daripada teh tawar. Hehe.
Kalau itu sih menurut selera masing-masing yaa.
Waduh,
udah kepanjangan nih ya, ceritanya? Okelah, dilanjutkan di posting selanjutnya
saja yaa.. hehe. See ya!
lanjutan ceritanya bisa di baca di sini ^^
lanjutan ceritanya bisa di baca di sini ^^
HUAAA..EKKYYY..SERU-SERU..PERJALANAN YANG LUAR BIASA..MENEGANGKAN!!! bagus-bagus... amazing banget wekekekkk
BalasHapusHehehe, nuriiil.. kapan ni kita jalan2 bareng???? jalan2 sendirian melulu kamu :(
Hapus