Selasa, 09 April 2013

Maret to April


Setelah melakukan perjalanan ke Bandung-Banjar selama tujuh hari pada tanggal 17-24 Februari (baca di sini), banyak hal yang terjadi dalam hidupku, tetapi belum sempat kutuliskan di sini.
Bulan Maret adalah titik transformasi peranku sebagai manusia. Sebelum tanggal 16 Maret aku masih berstatus mahasiswa, tetapi begitu diwisuda di Graha Sepuluh Nopember kampus ITS Surabaya bersama ke-13 orang teman seangkatanku C-26, kami semua resmi menjadi sarjana sain. Tanggal 16 Maret 2013 adalah titik perubahanku dari mahasiswa menjadi bagian resmi dari masyarakat. Tidak ada lagi fasilitas-fasilitas mahasiswa. Tidak ada beasiswa. Tidak ada Bank dengan biaya administrasi rendah. Tidak ada cek kesehatan gratis. Tidak ada jalan-jalan gratis. Dimulai pada tanggal 16 Maret 2013, semua harus kulakukan secara mandiri sebagai bagian dari masyarakat umum.
Lebih dari itu, beban di pundakku, ternyata bukannya berkurang, justru bertambah. Beban kehidupan. Kehidupan yang sesungguhnya.
Aku termasuk orang rata-rata. Maksudnya, kemampuanku berada pada daerah rata-rata. Aku juga tidak memiliki keahlian bidang yang menonjol. Jadi, aku sudah mempersiapkan mental untuk diriku sendiri. Menghadapi kehidupan yang sebenarnya. Bahwa mencari pekerjaan yang baik dengan gaji yang sebanding dan sesuai dengan bidang keahlian bukan hal yang mudah. Oh, perlu dikoreksi. Bukan hal yang mudah bagi orang-orang dengan kemampuan rata-rata sepertiku.
Terbukti sudah.
Hipotesaku tentang mencari pekerjaan bukan hal yang mudah bagi orang-orang dengan kemampuan rata-rata, memang benar. Sudah tiga minggu lebih terhitung sejak wisudaku, aku masih belum mendapat panggilan dari ke-18 lamaran yang sudah kusebar di berbagai perusahaan di daerah Sidoarjo-Surabaya. Ada beberapa panggilan, tetapi aku selalu gugur di tahap pertama. Beberapa hari yang lalu aku juga sempat mengikuti tes psikologi dalam sistem rekruitmen PT Pharos. Hasilnya baru diketahui dua sampai tiga minggu mendatang.
Hemm. Sebenarnya saat ini kalau dibilang nganggur, tidak sepenuhnya benar, karena aku mengisi waktu luangku dengan menjadi pengajar honorer di salah satu sekolah kejuruan menengah swasta di Surabaya. Sebut saja SMK Kesehatan Nusantara (nama sebenarnya). Aku mengajar mata pelajaran kimia untuk kelas X, XI, dan XII. Aku juga masih memberi les privat untuk mata pelajaran kimia, fisika, dan matematika. Sejujurnya, aku tidak terlalu mahir fisika, tetapi untungnya ada buku pegangan. Hehehe.
Alhamdulillah, masih ada masukan beberapa lembar ratusan ribu rupiah di setiap bulannya.
Baru-baru ini aku menambah pekerjaan sebagai freelance surveyor untuk konsultan bisnis. Pekerjaannya gampang-gampang sulit, yaitu mewawancarai responden yang aktif menggunakan internet. Tetapi si responden harus orang surabaya selatan dan termasuk dalam golongan umur 20-29 tahun, 30-39 tahun, atau 40-55 tahun. Si responden juga harus aktif mengakses streaming. Buat orang-orang yang pinter ngomong, mungkin mewawancarai responden dengan mengajukan pertanyaan yang ditulis rapat-rapat dalam delapan lembar kertas berukuran A4, adalah pekerjaan yang mudah. Tapi buat orang macam aku, pekerjaan ini lumayan susah.
Di permulaan survey, aku banyak mengeluh tentang betapa menyebalkannya pekerjaan ini. Aku bahkan menyesal sudah menyanggupi mendapat dua puluh empat responden dalam waktu dua minggu. Hemm, sebenarnya aku juga menyesal karena sudah bersedia mengambil pekerjaan ini.
Pada hari pertama melakukan survey, karena malu-malu dan kurang bisa meyakinkan calon responden, maka aku hanya mendapat satu orang responden.
Huff. Karena capek seharian berjalan di atas sepatu high heels dan sebal ditolak berkali-kali oleh calon responden, aku memutuskan menyudahi survey di hari pertama. Aku duduk di sebuah bangku dekat orang berjualan es cincau. Sambil menikmati segarnya es cincau, aku melayangkan pandangan ke sekitar. Di sana, di suatu sudut jalan yang penuh dengan tumpukan sampah, ada seorang ibu memanggul karung besar di pundaknya. Penampilan ibu itu kotor dan kumal, selayaknya pengepul sampah. Aku memperhatikan ibu itu dengan telaten memilah sampah dan memasukkan botol-botol plastik yang ia temukan ke dalam karung di pundaknya. Di lain tempat, aku melihat nenek-nenek yang menjual kacang rebus dengan harga seribu lima ratus rupiah per ikatnya. Saat itulah tiba-tiba ada beberapa pertanyaan hinggap di otakku.
Apakah pekerjaanku tidak lebih mudah dari pekerjaan ibu itu?
Apakah hasil pekerjaanku tidak lebih banyak dari hasil pekerjaan ibu itu?
Apakah rasa syukurku tidak lebih besar dari rasa syukur ibu itu?
Apakah kesabaranku tidak lebih luas daripada kesabaran ibu itu?
Seketika, aku menjadi merasa bersalah dan malu. Aku malu karena lebih banyak mengeluh daripada bekerja. Aku malu karena tidak bisa menghargai apa yang aku punya. Aku malu karena tidak pandai bersyukur.
Yah, begitulah. Hingga sekarang, setelah seminggu lewat, akhirnya kuisionerku bersisa tiga biji. Terimakasih Ibu pemanggul karung besar dan Nenek penjual kacang rebus. Tanpa mereka sadari, mereka telah mengajariku tentang rasa syukur dan kesabaran. Ya Allah, berilah mereka kebahagiaan dan rasa syukur yang berlipat ganda. Aamiin.
Karena pengalamanku di hari pertama survey, aku sampai update status di facebook, yang berbunyi:
Hasil dari ‘jalan-jalan’ hari ini; lihatlah ke ‘bawah’ ketika bersyukur, dan lihatlah ke ‘atas’ ketika belajar.
Sudah tahu maknanya kan? Kalau belum, ingatkan aku untuk bercerita di lain kesempatan. Terimakasih sudah mampir dan bersedia membaca tulisanku yang membingungkan ini. Hehehe.
Ohya, besok aku akan mengikuti tes tertulis dalam sistem rekruitmen PT Sampoerna. Wish me luck yaa.. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih ^^