Setelah melakukan perjalanan ke
Bandung-Banjar selama tujuh hari pada tanggal 17-24 Februari (baca di sini),
banyak hal yang terjadi dalam hidupku, tetapi belum sempat kutuliskan di sini.
Bulan Maret adalah titik transformasi
peranku sebagai manusia. Sebelum tanggal 16 Maret aku masih berstatus
mahasiswa, tetapi begitu diwisuda di Graha Sepuluh Nopember kampus ITS Surabaya
bersama ke-13 orang teman seangkatanku C-26, kami semua resmi menjadi sarjana
sain. Tanggal 16 Maret 2013 adalah titik perubahanku dari mahasiswa menjadi
bagian resmi dari masyarakat. Tidak ada lagi fasilitas-fasilitas mahasiswa.
Tidak ada beasiswa. Tidak ada Bank dengan biaya administrasi rendah. Tidak ada
cek kesehatan gratis. Tidak ada jalan-jalan gratis. Dimulai pada tanggal 16
Maret 2013, semua harus kulakukan secara mandiri sebagai bagian dari masyarakat
umum.
Lebih dari itu, beban di pundakku,
ternyata bukannya berkurang, justru bertambah. Beban kehidupan. Kehidupan yang
sesungguhnya.
Aku termasuk orang rata-rata.
Maksudnya, kemampuanku berada pada daerah rata-rata. Aku juga tidak memiliki
keahlian bidang yang menonjol. Jadi, aku sudah mempersiapkan mental untuk
diriku sendiri. Menghadapi kehidupan yang sebenarnya. Bahwa mencari pekerjaan
yang baik dengan gaji yang sebanding dan sesuai dengan bidang keahlian bukan
hal yang mudah. Oh, perlu dikoreksi. Bukan hal yang mudah bagi orang-orang
dengan kemampuan rata-rata sepertiku.
Terbukti sudah.
Hipotesaku tentang mencari pekerjaan
bukan hal yang mudah bagi orang-orang dengan kemampuan rata-rata, memang benar.
Sudah tiga minggu lebih terhitung sejak wisudaku, aku masih belum mendapat
panggilan dari ke-18 lamaran yang sudah kusebar di berbagai perusahaan di
daerah Sidoarjo-Surabaya. Ada beberapa panggilan, tetapi aku selalu gugur di
tahap pertama. Beberapa hari yang lalu aku juga sempat mengikuti tes psikologi
dalam sistem rekruitmen PT Pharos. Hasilnya baru diketahui dua sampai tiga
minggu mendatang.
Hemm. Sebenarnya saat ini kalau
dibilang nganggur, tidak sepenuhnya benar, karena aku mengisi waktu luangku
dengan menjadi pengajar honorer di salah satu sekolah kejuruan menengah swasta
di Surabaya. Sebut saja SMK Kesehatan Nusantara (nama sebenarnya). Aku mengajar
mata pelajaran kimia untuk kelas X, XI, dan XII. Aku juga masih memberi les
privat untuk mata pelajaran kimia, fisika, dan matematika. Sejujurnya, aku
tidak terlalu mahir fisika, tetapi untungnya ada buku pegangan. Hehehe.
Alhamdulillah, masih ada masukan
beberapa lembar ratusan ribu rupiah di setiap bulannya.
Baru-baru ini aku menambah pekerjaan
sebagai freelance surveyor untuk konsultan bisnis. Pekerjaannya gampang-gampang
sulit, yaitu mewawancarai responden yang aktif menggunakan internet. Tetapi si
responden harus orang surabaya selatan dan termasuk dalam golongan umur 20-29
tahun, 30-39 tahun, atau 40-55 tahun. Si responden juga harus aktif mengakses
streaming. Buat orang-orang yang pinter ngomong, mungkin mewawancarai responden
dengan mengajukan pertanyaan yang ditulis rapat-rapat dalam delapan lembar
kertas berukuran A4, adalah pekerjaan yang mudah. Tapi buat orang macam aku,
pekerjaan ini lumayan susah.
Di permulaan survey, aku banyak
mengeluh tentang betapa menyebalkannya pekerjaan ini. Aku bahkan menyesal sudah
menyanggupi mendapat dua puluh empat responden dalam waktu dua minggu. Hemm,
sebenarnya aku juga menyesal karena sudah bersedia mengambil pekerjaan ini.
Pada hari pertama melakukan survey,
karena malu-malu dan kurang bisa meyakinkan calon responden, maka aku hanya
mendapat satu orang responden.
Huff. Karena capek seharian berjalan di
atas sepatu high heels dan sebal ditolak berkali-kali oleh calon responden, aku
memutuskan menyudahi survey di hari pertama. Aku duduk di sebuah bangku dekat
orang berjualan es cincau. Sambil menikmati segarnya es cincau, aku melayangkan
pandangan ke sekitar. Di sana, di suatu sudut jalan yang penuh dengan tumpukan
sampah, ada seorang ibu memanggul karung besar di pundaknya. Penampilan ibu itu
kotor dan kumal, selayaknya pengepul sampah. Aku memperhatikan ibu itu dengan
telaten memilah sampah dan memasukkan botol-botol plastik yang ia temukan ke
dalam karung di pundaknya. Di lain tempat, aku melihat nenek-nenek yang menjual
kacang rebus dengan harga seribu lima ratus rupiah per ikatnya. Saat itulah
tiba-tiba ada beberapa pertanyaan hinggap di otakku.
Apakah pekerjaanku tidak lebih mudah
dari pekerjaan ibu itu?
Apakah hasil pekerjaanku tidak lebih
banyak dari hasil pekerjaan ibu itu?
Apakah rasa syukurku tidak lebih besar
dari rasa syukur ibu itu?
Apakah kesabaranku tidak lebih luas
daripada kesabaran ibu itu?
Seketika, aku menjadi merasa bersalah
dan malu. Aku malu karena lebih banyak mengeluh daripada bekerja. Aku malu
karena tidak bisa menghargai apa yang aku punya. Aku malu karena tidak pandai
bersyukur.
Yah, begitulah. Hingga sekarang,
setelah seminggu lewat, akhirnya kuisionerku bersisa tiga biji. Terimakasih Ibu
pemanggul karung besar dan Nenek penjual kacang rebus. Tanpa mereka sadari,
mereka telah mengajariku tentang rasa syukur dan kesabaran. Ya Allah, berilah
mereka kebahagiaan dan rasa syukur yang berlipat ganda. Aamiin.
Karena pengalamanku di hari pertama
survey, aku sampai update status di facebook, yang berbunyi:
Hasil dari ‘jalan-jalan’ hari ini;
lihatlah ke ‘bawah’ ketika bersyukur, dan lihatlah ke ‘atas’ ketika belajar.
Sudah tahu maknanya kan? Kalau belum,
ingatkan aku untuk bercerita di lain kesempatan. Terimakasih sudah mampir dan
bersedia membaca tulisanku yang membingungkan ini. Hehehe.
Ohya, besok aku akan mengikuti tes
tertulis dalam sistem rekruitmen PT Sampoerna. Wish me luck yaa.. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih ^^