Salah satu sifat burukku adalah menunda-nunda pekerjaan yang sebenarnya bisa dilakukan saat itu juga. Misalnya waktu mengerjakan tugas kuliah, meskipun aku sedang luang dan bisa mengerjakannya saat itu juga, tetapi aku akan lebih memilih mengerjakannya tepat di malam sebelum besok dikumpulkan. Ada satu kejadian ‘nggilani’ akibat sifat burukku ini.
Waktu itu aku masih kuliah di semester 2, dan sedang
menjalani pola pembinaan Anggota Muda (AM) di PLH SIKLUS ITS (baca di sini).
Salah satu kegiatan dalam pola pembinaan itu adalah praktek gunung hutan yang
diadakan di gunung Semar, Pundak, dan sekitarnya. Karena tidak memiliki tas
carrier, aku meminjam ke salah seorang teman sesama AM XXI yang tidak mengikuti
kegiatan tersebut. Sedangkan untuk peralatan naik gunung lainnya, seperti
nesting (semacam panci bersusun untuk memasak saat berkegiatan outdoor), kompor
portabel, parang, matras, tenda dan lainnya, aku meminjam ke divisi logistik
PLH SIKLUS ITS.
Kegiatan praktek gunung hutan berlangsung selama
beberapa hari. Sepulang dari kegiatan tersebut, rasanya seluruh badanku
pegal-pegal. Akhirnya begitu sampai di kos (di semester 2 kuliah aku masih
ngekos), seluruh perlengkapan naik gunung yang masih tersimpan di dalam carrier
yang kubawa, kuletakkan begitu saja di depan kamar kos, tanpa dibongkar.
Setelah itu aku langsung mandi, dan menidurkan diri di kasur yang empuk. Hemm,
nikmatnya dunia, sampai-sampai aku lupa soal harus membongkar dan membersihkan
isi carrier.
Berhari-hari selanjutnya, rutinitasku berjalan seperti
biasa: kuliah, SIKLUS, dan kos.
Sebenarnya di PLH SIKLUS ITS ada divisi logistik yang
bertugas mengawasi perpustakaan dan logistik kepunyaan PLH SIKLUS ITS. Tapi,
entah mengapa waktu itu aku tidak menerima warning dari divisi logistik untuk
segera mengembalikan barang-barang yang kupinjam untuk mengikuti praktek gunung
hutan. Jadilah, selama berminggu-minggu carrier dan seluruh isinya masih berada
di depan kamar kosku secara “kemproh”.
Pada akhirnya, si empunya carrier akhirnya
mengingatkanku untuk segera mengembalikan carriernya karena akan dibawa pergi
naik gunung. Dengan jantung dag-dig-dug dan perasaan was-was, aku membuka carrier
itu. Aku khawatir akan menemukan hal-hal yang tidak ingin kutemukan, misalnya
hewan-hewan kecil yang bergerak dengan perutnya, yang menggeliat-geliat super “nggilani”.
Hrrr.
Well done! Carrier sudah berhasil kubuka. Datanglah
saatnya untuk membongkar barang-barang yang sudah dipacking di dalam carrier
sejak berminggu-minggu yang lalu. Mula-mula aku mengucapkan Bismillah. Lalu dengan
jantung yang masih dag-dig-dug dan perasaan was-was serta khawatir akan
menemukan hewan-hewan kecil yang bergerak dengan perut dan menggeliat “nggilani”,
aku mulai mengambil satu-persatu barang dari dalam carrier.
Barang pertama kuambil dengan selamat tanpa menemukan
satu pun hewan kecil yang bergerak dengan perut dan menggeliat “nggilani”.
Barang kedua selamat. Begitu juga dengan barang keempat dan seterusnya hingga
seluruh barang berhasil kuambil dari dalam carrier.
Setelah isi carrier kosong, saatnya mencuci seluruh
barang yang sejak berminggu-minggu itu tidak tersentuh. Coba bayangkan baunya.
Hemm, “harum” sekali.
Aku membuat larutan sabun di dua bak berukuran
sedang. Bak pertama kugunakan untuk merendam carrier, jas hujan, dan sepatu.
Bak kedua untuk merendam baju-baju. Warna baju-bajuku sudah tidak jelas lagi
karena sudah tercampur dengan lumpur dan dibiarkan di dalam tas carrier selama
berminggu-minggu. Selanjutnya, sambil menunggu waktu merendam, aku mulai
membongkar nesting. Nah, di bagian ini lah yang paling membutuhkan nyali. FYI,
aku paling “nggilani” kalau melihat hewan kecil yang bergerak dengan perut dan
menggeliat “nggilani”.
Bismillahirrohmanirrohiim..
Aku membongkar nesting yang sebelumnya terbungkus
dengan rapat. Ohya, entah mengapa (aku lupa alasannya), nesting yang sudah
digunakan untuk memasak dan makan di tempat kami camping, tidak kami cuci
terlebih dahulu sebelum dibungkus dan dibawa pulang. Hemm, mungkin saja karena
di sekitar tempat kami camping waktu itu tidak ada mata air, jadi kami
memutuskan untuk membawa pulang nesting tanpa dicuci. Rencananya, nesting dan
semua barang perlengkapan praktek gunung hutan akan kami cuci setibanya kami di
kampus. Namun kenyataannya, aku malah langsung pulang ke kos. Hehe.
Nah, karena tidak dicuci dan terbungkus selama
berminggu-minggu, maka aku yakin 100% bahwa makanan sisa yang menempel di
dinding nesting pasti sudah membusuk dan sangat ‘harum’. Hemm, dan tentu saja
aku sangat yakin sudah terbentuk “kerajaan” baru di dalam sana. Well, apapun
konsekuensinya ya harus dihadapi. Aku harus bertanggung jawab atas kelalaianku.
Hhh. Di saat-saat seperti ini aku sangat menyesalkan sifat burukku yang suka
menunda-nunda pekerjaan. Kalau saja aku tidak menunda-nunda untuk segera
membongkar dan mencuci barang-barang ini, tentu aku tidak perlu menemui “kerajaan”
baru tersebut. Huff.
Okelah, dengan jantung yang berkali-kali lebih keras
ber-dag-dig-dug, aku membuka bungkus nesting. Hmm, tiba-tiba aku punya ide.
Untuk berjaga-jaga, agar tangan dan kakiku tidak menyentuh atau kecipratan apa
pun yang ada di dalam nesting itu, aku harus mengenakan sarung tangan dan
sepatu boots. Eh, tapi aku kan tidak punya sepatu boots. Ah, baiklah. Tiada
rotan akar pun jadi, tiada sepatu boots, tas kresek pun jadi. Maka aku
mengambil tas kresek yang cukup besar dan membungkuskannya pada kakiku.
Sedangkan untuk sarung tangan, aku menggunakan sarung tangan yang cukup tebal
dan panjang yang biasa digunakan untuk membersihkan WC. Untung saja di kosku
sedang sepi karena musim liburan. Kalau tidak, pasti aku akan jadi
bulan-bulanan. Teman-teman kosku pasti bilang, “ngakunya anak Mapala, tapi kok
takut sama #SENSOR#”
Dan mereka pasti tertawa. Lalu aku terpojok.
Meringkuk di sudut kamar sambil menyesali nasib. ~~~
Aaah. Untunglah mereka tidak tahu.
Nah, setelah peralatan perang sudah lengkap, aku
mengambil dengklek atau bangku kecil yang biasanya digunakan untuk duduk
sambil mencuci. Kami, para anak kos di Mintil Kingdom (begitu kami menyebut
kos-kosan kami), membutuhkan dengklek untuk mencuci baju atau piring
sebab tempat cuci kami bukan tempat cuci berdiri. Aku berjongkok di atas dengklek, tentu
saja kakiku kunaikkan ke atas dengklek, sekedar berjaga-jaga kalau-kalau
isi nesting itu tumpah. Oke, posisiku sudah aman.
Perlahan-lahan aku membongkar nesting. Ohya, satu set
nesting ini terdiri dari tiga panci berbentuk balok tanpa tutup dan dipacking secara
bersusun sedemikian rupa untuk menghemat ruang. Benar saja. Di dalam ketiga
panci nesting, aku menemukan “kerajaan” baru yang tumbuh dengan makmurnya.
Bagaimana tidak, bahan makanan tersedia secara melimpah di sana. Para penghuni “kerajaan”
tersebut gendut-gendut dan beranak pinak dengan suburnya karena mendapat asupan
gizi yang sangat banyak dari makanan di dalam nesting. Sumpah “nggilani” bener!
Hewan-hewan kecil yang bergerak dengan perut itu terus menggeliat-geliat secara
“nggilani”.
Aaaah!! Rasanya aku ingin berteriak saat itu juga,
tetapi aku harus menahan diri demi harga diriku. Jangan sampai ada yang datang
kemari karena mendengar teriakanku dan memergokiku sedang berjuang melawan “kerajaan”
baru itu dengan wajah membiru karena ketakutan sekaligus “nggilani”. Aku males
banget kalau ada yang menudingku sambil bilang, “anak mapala kok takut sama
#SENSOR#”. Hrr, please deh, ya, memangnya anak mapala nggak boleh ya takut atau
merasa “nggilani” sama hewan-hewan yang “nggilani” begitu?
Sampai mana tadi? Ohya, setelah berhasil membongkar
nesting, aku mengambil baskom, mengisinya dengan air secukupnya dan menambahkan
beberapa genggam sabun cuci bubuk. Aku mau memusnahkan “kerajaan” itu dengan
larutan sabun. Biar mereka mati seketika. Salah sendiri kenapa membentuk “kerajaan”
di tempat yang salah! Dengan geram, aku menuangkan larutan sabun yang kental
itu ke masing-masing panci nesting. Selanjutnya, kudiamkan dulu ketiga panci
nesting itu agar larutan sabun bisa menghancurkan “kerajaan” dengan sukses tak
bersisa.
Aku beralih kepada baju, jas hujan, sepatu, dan
carrier. Untung lah, aku tidak menemukan sama sekali hewan-hewan yang bergerak
dengan perut dan menggeliat “nggilani” di sana. Setelah beres, aku menyadari
sesuatu, bahwa ternyata carrier nya berbau kurang sedap. Hemm. Karena aku orang
yang cerdas (kata gue sendiri sih yaa, haha), maka aku merendam carrier itu di
dalam pewangi pakaian (sebenarnya tindakan ini bisa dibilang cerdas gak ya?
hemm ~~~).
Setelah itu, aku beralih lagi pada ketiga panci
nesting yang sudah berubah menjadi habitat “kerajaan”. Sepertinya tidak ada
yang berubah dengan larutan sabun di dalam panci nesting. Warnanya tetap putih.
Tidak ada warna merah darah atau warna lainnya. Juga tidak ada mayat-mayat yang
mengambang di permukaan larutan. Jangan-jangan “kerajaan” itu masih bisa
bertahan di dalam larutan sabun? Aduuuh.
Ah tidak peduli lah! Yang penting pekerjaan ini cepat
selesai. Aku mengambil batang lidi yang cukup kuat untuk mengaduk isi panci
nesting. Lalu, sambil menutup mata, aku menumpahkan isi nesting (larutan sabun
+ “kerajaan”) ke tempat pembuangan air.
Setelah membuang seluruh isinya, aku membuka mata, dan... Huff.
Untunglah, seluruh penghuni “kerajaan” itu sudah musnah tak bersisa. Yang
tersisa hanya sisa makanan yang sudah membusuk dan menempel keras di dinding
nesting. Ah, kalau makanan busuk begini sih gak masalah. Hehe. Dengan bantuan
pisau dan sabun cuci piring, beberapa menit kemudian, aku berhasil membuat
nesting itu kinclong kembali. Akhirnyaaa.. Badai telah berlalu.
Kejadian tersebut adalah pelajaran berharga. Sejak saat
itu, setiap pulang dari kegiatan outdoor, aku akan segera membongkar dan
mencuci seluruh perlengkapan yang sudah digunakan agar tidak lagi mendapati “kerajaan”
seperti yang kuceritakan barusan. Aku juga berjanji harus membuang jauh-jauh
sifat burukku yang suka menunda-nunda pekerjaan. Sekarang sudah mendingan sih,
tapi masih ada sedikit. Iya, sedikit. Hmm... Oh, baiklah, aku masih suka
bekerja mepet deadline. Hemmm. Sepertinya aku butuh terapi khusus untuk
menghilangkan sifat burukku yang satu ini.. ~~~
NB:
1. “nggilani” adalah bahasa Jawa yang berarti jijik.
2. Hewan-hewan kecil yang bergerak dengan perut dan
menggeliat “nggilani” itu adalah belat#ng. Tahu, kan maksudku? Itu lho, hewan
yang suka ada di tempat sampah basah.
3. Bagian yang kena #SENSOR# itu karena aku sedang
berusaha untuk menyebut hewan-hewan kecil yang bergerak dengan perut dan
menggeliat “nggilani”, seperti belat#ng, c#c#ng, ul#t, lint#h, dan hewan-hewan
sejenis lainnya.
Untungnya kamu bukan tipe orang kayak aku yang baru bau nasi basi aja bisa muntah2, gimana kalo lihat kerajaan nggilanimu itu... ga jadi nyuci nesting deh, haha..
BalasHapusHey.. blog yg sering aku apdet yg http://nurulaneh.blogspot.com kalo yg dunia kata jaraanggg bgt, dah lama juga ga kuisi :D
Waah, nurul sampai ke sini hehe, makasih yaa :D
Hapusoualah, kirain yg blog nurulaneh itu khusus buat jualan rul, hehe
lho muntah2nya gara2 si dedek yaa? hehe