Selasa, 29 Januari 2013

Hewan Kecil "nggilani"


Salah satu sifat burukku adalah menunda-nunda pekerjaan yang sebenarnya bisa dilakukan saat itu juga. Misalnya waktu mengerjakan tugas kuliah, meskipun aku sedang luang dan bisa mengerjakannya saat itu juga, tetapi aku akan lebih memilih mengerjakannya tepat di malam sebelum besok dikumpulkan. Ada satu kejadian ‘nggilani’ akibat sifat burukku ini.
Waktu itu aku masih kuliah di semester 2, dan sedang menjalani pola pembinaan Anggota Muda (AM) di PLH SIKLUS ITS (baca di sini). Salah satu kegiatan dalam pola pembinaan itu adalah praktek gunung hutan yang diadakan di gunung Semar, Pundak, dan sekitarnya. Karena tidak memiliki tas carrier, aku meminjam ke salah seorang teman sesama AM XXI yang tidak mengikuti kegiatan tersebut. Sedangkan untuk peralatan naik gunung lainnya, seperti nesting (semacam panci bersusun untuk memasak saat berkegiatan outdoor), kompor portabel, parang, matras, tenda dan lainnya, aku meminjam ke divisi logistik PLH SIKLUS ITS.
Kegiatan praktek gunung hutan berlangsung selama beberapa hari. Sepulang dari kegiatan tersebut, rasanya seluruh badanku pegal-pegal. Akhirnya begitu sampai di kos (di semester 2 kuliah aku masih ngekos), seluruh perlengkapan naik gunung yang masih tersimpan di dalam carrier yang kubawa, kuletakkan begitu saja di depan kamar kos, tanpa dibongkar. Setelah itu aku langsung mandi, dan menidurkan diri di kasur yang empuk. Hemm, nikmatnya dunia, sampai-sampai aku lupa soal harus membongkar dan membersihkan isi carrier.
Berhari-hari selanjutnya, rutinitasku berjalan seperti biasa: kuliah, SIKLUS, dan kos.
Sebenarnya di PLH SIKLUS ITS ada divisi logistik yang bertugas mengawasi perpustakaan dan logistik kepunyaan PLH SIKLUS ITS. Tapi, entah mengapa waktu itu aku tidak menerima warning dari divisi logistik untuk segera mengembalikan barang-barang yang kupinjam untuk mengikuti praktek gunung hutan. Jadilah, selama berminggu-minggu carrier dan seluruh isinya masih berada di depan kamar kosku secara “kemproh”.
Pada akhirnya, si empunya carrier akhirnya mengingatkanku untuk segera mengembalikan carriernya karena akan dibawa pergi naik gunung. Dengan jantung dag-dig-dug dan perasaan was-was, aku membuka carrier itu. Aku khawatir akan menemukan hal-hal yang tidak ingin kutemukan, misalnya hewan-hewan kecil yang bergerak dengan perutnya, yang menggeliat-geliat super “nggilani”. Hrrr.
Well done! Carrier sudah berhasil kubuka. Datanglah saatnya untuk membongkar barang-barang yang sudah dipacking di dalam carrier sejak berminggu-minggu yang lalu. Mula-mula aku mengucapkan Bismillah. Lalu dengan jantung yang masih dag-dig-dug dan perasaan was-was serta khawatir akan menemukan hewan-hewan kecil yang bergerak dengan perut dan menggeliat “nggilani”, aku mulai mengambil satu-persatu barang dari dalam carrier.
Barang pertama kuambil dengan selamat tanpa menemukan satu pun hewan kecil yang bergerak dengan perut dan menggeliat “nggilani”. Barang kedua selamat. Begitu juga dengan barang keempat dan seterusnya hingga seluruh barang berhasil kuambil dari dalam carrier.
Setelah isi carrier kosong, saatnya mencuci seluruh barang yang sejak berminggu-minggu itu tidak tersentuh. Coba bayangkan baunya. Hemm, “harum” sekali.
Aku membuat larutan sabun di dua bak berukuran sedang. Bak pertama kugunakan untuk merendam carrier, jas hujan, dan sepatu. Bak kedua untuk merendam baju-baju. Warna baju-bajuku sudah tidak jelas lagi karena sudah tercampur dengan lumpur dan dibiarkan di dalam tas carrier selama berminggu-minggu. Selanjutnya, sambil menunggu waktu merendam, aku mulai membongkar nesting. Nah, di bagian ini lah yang paling membutuhkan nyali. FYI, aku paling “nggilani” kalau melihat hewan kecil yang bergerak dengan perut dan menggeliat “nggilani”.
Bismillahirrohmanirrohiim..
Aku membongkar nesting yang sebelumnya terbungkus dengan rapat. Ohya, entah mengapa (aku lupa alasannya), nesting yang sudah digunakan untuk memasak dan makan di tempat kami camping, tidak kami cuci terlebih dahulu sebelum dibungkus dan dibawa pulang. Hemm, mungkin saja karena di sekitar tempat kami camping waktu itu tidak ada mata air, jadi kami memutuskan untuk membawa pulang nesting tanpa dicuci. Rencananya, nesting dan semua barang perlengkapan praktek gunung hutan akan kami cuci setibanya kami di kampus. Namun kenyataannya, aku malah langsung pulang ke kos. Hehe.
satu set nesting
Nah, karena tidak dicuci dan terbungkus selama berminggu-minggu, maka aku yakin 100% bahwa makanan sisa yang menempel di dinding nesting pasti sudah membusuk dan sangat ‘harum’. Hemm, dan tentu saja aku sangat yakin sudah terbentuk “kerajaan” baru di dalam sana. Well, apapun konsekuensinya ya harus dihadapi. Aku harus bertanggung jawab atas kelalaianku. Hhh. Di saat-saat seperti ini aku sangat menyesalkan sifat burukku yang suka menunda-nunda pekerjaan. Kalau saja aku tidak menunda-nunda untuk segera membongkar dan mencuci barang-barang ini, tentu aku tidak perlu menemui “kerajaan” baru tersebut. Huff.
Okelah, dengan jantung yang berkali-kali lebih keras ber-dag-dig-dug, aku membuka bungkus nesting. Hmm, tiba-tiba aku punya ide. Untuk berjaga-jaga, agar tangan dan kakiku tidak menyentuh atau kecipratan apa pun yang ada di dalam nesting itu, aku harus mengenakan sarung tangan dan sepatu boots. Eh, tapi aku kan tidak punya sepatu boots. Ah, baiklah. Tiada rotan akar pun jadi, tiada sepatu boots, tas kresek pun jadi. Maka aku mengambil tas kresek yang cukup besar dan membungkuskannya pada kakiku. Sedangkan untuk sarung tangan, aku menggunakan sarung tangan yang cukup tebal dan panjang yang biasa digunakan untuk membersihkan WC. Untung saja di kosku sedang sepi karena musim liburan. Kalau tidak, pasti aku akan jadi bulan-bulanan. Teman-teman kosku pasti bilang, “ngakunya anak Mapala, tapi kok takut sama #SENSOR#”
Dan mereka pasti tertawa. Lalu aku terpojok. Meringkuk di sudut kamar sambil menyesali nasib. ~~~
Aaah. Untunglah mereka tidak tahu.
Nah, setelah peralatan perang sudah lengkap, aku mengambil dengklek atau bangku kecil yang biasanya digunakan untuk duduk sambil mencuci. Kami, para anak kos di Mintil Kingdom (begitu kami menyebut kos-kosan kami), membutuhkan dengklek untuk mencuci baju atau piring sebab tempat cuci kami bukan tempat cuci berdiri.  Aku berjongkok di atas dengklek, tentu saja kakiku kunaikkan ke atas dengklek, sekedar berjaga-jaga kalau-kalau isi nesting itu tumpah. Oke, posisiku sudah aman.
Perlahan-lahan aku membongkar nesting. Ohya, satu set nesting ini terdiri dari tiga panci berbentuk balok tanpa tutup dan dipacking secara bersusun sedemikian rupa untuk menghemat ruang. Benar saja. Di dalam ketiga panci nesting, aku menemukan “kerajaan” baru yang tumbuh dengan makmurnya. Bagaimana tidak, bahan makanan tersedia secara melimpah di sana. Para penghuni “kerajaan” tersebut gendut-gendut dan beranak pinak dengan suburnya karena mendapat asupan gizi yang sangat banyak dari makanan di dalam nesting. Sumpah “nggilani” bener! Hewan-hewan kecil yang bergerak dengan perut itu terus menggeliat-geliat secara “nggilani”.
Aaaah!! Rasanya aku ingin berteriak saat itu juga, tetapi aku harus menahan diri demi harga diriku. Jangan sampai ada yang datang kemari karena mendengar teriakanku dan memergokiku sedang berjuang melawan “kerajaan” baru itu dengan wajah membiru karena ketakutan sekaligus “nggilani”. Aku males banget kalau ada yang menudingku sambil bilang, “anak mapala kok takut sama #SENSOR#”. Hrr, please deh, ya, memangnya anak mapala nggak boleh ya takut atau merasa “nggilani” sama hewan-hewan yang “nggilani” begitu?
Sampai mana tadi? Ohya, setelah berhasil membongkar nesting, aku mengambil baskom, mengisinya dengan air secukupnya dan menambahkan beberapa genggam sabun cuci bubuk. Aku mau memusnahkan “kerajaan” itu dengan larutan sabun. Biar mereka mati seketika. Salah sendiri kenapa membentuk “kerajaan” di tempat yang salah! Dengan geram, aku menuangkan larutan sabun yang kental itu ke masing-masing panci nesting. Selanjutnya, kudiamkan dulu ketiga panci nesting itu agar larutan sabun bisa menghancurkan “kerajaan” dengan sukses tak bersisa.
Aku beralih kepada baju, jas hujan, sepatu, dan carrier. Untung lah, aku tidak menemukan sama sekali hewan-hewan yang bergerak dengan perut dan menggeliat “nggilani” di sana. Setelah beres, aku menyadari sesuatu, bahwa ternyata carrier nya berbau kurang sedap. Hemm. Karena aku orang yang cerdas (kata gue sendiri sih yaa, haha), maka aku merendam carrier itu di dalam pewangi pakaian (sebenarnya tindakan ini bisa dibilang cerdas gak ya? hemm ~~~).
Setelah itu, aku beralih lagi pada ketiga panci nesting yang sudah berubah menjadi habitat “kerajaan”. Sepertinya tidak ada yang berubah dengan larutan sabun di dalam panci nesting. Warnanya tetap putih. Tidak ada warna merah darah atau warna lainnya. Juga tidak ada mayat-mayat yang mengambang di permukaan larutan. Jangan-jangan “kerajaan” itu masih bisa bertahan di dalam larutan sabun? Aduuuh.
Ah tidak peduli lah! Yang penting pekerjaan ini cepat selesai. Aku mengambil batang lidi yang cukup kuat untuk mengaduk isi panci nesting. Lalu, sambil menutup mata, aku menumpahkan isi nesting (larutan sabun + “kerajaan”) ke tempat pembuangan air.  Setelah membuang seluruh isinya, aku membuka mata, dan... Huff. Untunglah, seluruh penghuni “kerajaan” itu sudah musnah tak bersisa. Yang tersisa hanya sisa makanan yang sudah membusuk dan menempel keras di dinding nesting. Ah, kalau makanan busuk begini sih gak masalah. Hehe. Dengan bantuan pisau dan sabun cuci piring, beberapa menit kemudian, aku berhasil membuat nesting itu kinclong kembali. Akhirnyaaa.. Badai telah berlalu.
Kejadian tersebut adalah pelajaran berharga. Sejak saat itu, setiap pulang dari kegiatan outdoor, aku akan segera membongkar dan mencuci seluruh perlengkapan yang sudah digunakan agar tidak lagi mendapati “kerajaan” seperti yang kuceritakan barusan. Aku juga berjanji harus membuang jauh-jauh sifat burukku yang suka menunda-nunda pekerjaan. Sekarang sudah mendingan sih, tapi masih ada sedikit. Iya, sedikit. Hmm... Oh, baiklah, aku masih suka bekerja mepet deadline. Hemmm. Sepertinya aku butuh terapi khusus untuk menghilangkan sifat burukku yang satu ini.. ~~~


NB:
1. “nggilani” adalah bahasa Jawa yang berarti jijik.
2. Hewan-hewan kecil yang bergerak dengan perut dan menggeliat “nggilani” itu adalah belat#ng. Tahu, kan maksudku? Itu lho, hewan yang suka ada di tempat sampah basah.
3. Bagian yang kena #SENSOR# itu karena aku sedang berusaha untuk menyebut hewan-hewan kecil yang bergerak dengan perut dan menggeliat “nggilani”, seperti belat#ng, c#c#ng, ul#t, lint#h, dan hewan-hewan sejenis lainnya.

2 komentar:

  1. Untungnya kamu bukan tipe orang kayak aku yang baru bau nasi basi aja bisa muntah2, gimana kalo lihat kerajaan nggilanimu itu... ga jadi nyuci nesting deh, haha..
    Hey.. blog yg sering aku apdet yg http://nurulaneh.blogspot.com kalo yg dunia kata jaraanggg bgt, dah lama juga ga kuisi :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waah, nurul sampai ke sini hehe, makasih yaa :D
      oualah, kirain yg blog nurulaneh itu khusus buat jualan rul, hehe
      lho muntah2nya gara2 si dedek yaa? hehe

      Hapus

terimakasih ^^