Aku menatap jauh
ke dalam matanya. Sudah beribu detik kami habiskan di tempat ini. Hanya duduk
berhadapan, dan mencoba saling memahami, walau dalam diam.
Dia
mengalihkan pandangannya. Dia menengadah ke langit. Sambil tersenyum, dia
menunjuk bulan, seakan berkata, “hanya ada satu bulan yang mengelilingi bumi,
hanya ada satu bulan yang selalu setia mendampingi bumi, hanya ada satu bulan
yang tidak pernah lelah membantu bumi menjadi lebih bercahaya kala malam.”
Beberapa titik air
mata membasahi kelopak matanya. Sepasang mata itu sungguh tidak pernah lelah
melihatku dari sisi yang berbeda, yang tidak pernah dilihat oleh orang lain.
Kuperintahkan ibu jariku untuk mengusap air mata itu. Hatiku nyeri melihat dia
menangis.
Dia melanjutkan
dialognya tentang bulan, melalui sepasang matanya, sementara bibirnya masih
terkatup rapat, “hanya ada satu bulan, dan hanya ada satu aku, yang tidak
pernah lelah menerangimu.”
Dia menatap
mataku, membuka jendela hatiku, dan memasuki ruang hatiku. Hanya dia yang bisa
mengerti, apa yang kupertanyakan. Sungguh tidak ada orang lain lagi, yang bisa
memahamiku melalui sepasang mata, tanpa kata.
Sinar matanya
terus menerobos lorong-lorong di hatiku, menemukan satu titik, dan menguak satu
pertanyaan, “mengapa?”
Matanya basah
oleh air mata, namun sinar matanya tetap kuat, dan menuntut jawaban atas
pertanyaan yang sama, “mengapa?”
Mataku pun basah
oleh butiran air mata. Hari itu Dinda barus aja bertemu dengan Ibuku. Pertemuan
itu berakhir dengan kemarahan Ibu yang tidak mau menerima Dinda dengan
keadaannya yang sekarang.
***
Terkadang,
kita tidak bisa mendapatkan apa yang kita inginkan, sebab Tuhan memberikan apa
yang sebenarnya kita butuhkan, bukan yang kita inginkan.
Aku membaca
tulisan tangan Dinda yang rapih. Gadis itu baru saja memperlihatkan salah satu
karyanya padaku, sebuah cerita pendek. Dinda ingin menjadi penulis.
“Mengapa?”
tanyaku.
Dinda tersenyum,
lalu menulis:
Karena Dinda hanya bisa bercerita melalui tulisan.
Dinda akan menulis fiksi, karena melalui fiksi, Dinda bisa menceritakan sebuah
dunia yang sempurna, dunia yang Dinda impikan.
“Dunia seperti
apa yang Dinda inginkan?”
Dinda hanya
tersenyum sambil mengangkat bahunya, menyimpan jawaban untuk dirinya sendiri.
Aku membelai rambutnya yang tergerai, lalu Dinda menyandarkan kepalanya di
bahuku. Sore itu sungguh indah.
***
Hari itu masih
hari yang biasa, masih panas dan jalanan masih sibuk. Namun pagi itu, dalam
perjalananku menuju kantor, ada satu kejadian yang merupakan permulaan dari
kisah ini. Di tengah-tengah sibuknya jalanan, pandanganku secara tidak sengaja
tertuju pada sesosok gadis di taman di seberang sana. Gadis itu berkulit putih,
berambut hitam panjang, sepertinya keturunan China atau Jepang. Dia berbalut dress berwarna putih. Dia cantik, tapi
bukan itu yang membuat pandanganku terus tertuju padanya hingga aku menoleh ke
belakang setelah mobilku melewatinya --untung saja Pak Man yang menyetir mobil
saat itu. Aku terpukau pada gadis itu, karena saat itu dia sedang menyuapi
seorang kakek, yang tampaknya tuna netra. Aku sangat ingin mengenalnya.
Karena mobil
kami sudah melewati taman tempat gadis itu berada, aku meminta Pak Man berbalik
untuk menghampiri gadis itu. Pak Man kemudian berbelok dan berputar balik untuk
kembali ke taman tempat gadis itu berada. Sampai di taman itu, kulihat si gadis
sudah tidak ada, hanya ada si kakek tuna netra yang tadi disuapi oleh si gadis.
Karena aku betul-betul ingin mengenalnya, aku pun turun dari mobil untuk
menanyakan si gadis pada kakek itu.
“Permisi, Kek,”
sapaku.
“Ya, nak?” jawab
kakek itu sambil tersenyum.
“Saya lihat tadi
Kakek disuapi oleh seorang gadis,” kataku, “kalau boleh, saya ingin mengenal
dia.”
Kakek itu diam
saja, tapi masih tersenyum. Sesaat aku mengira dia tidak mendengar kalimatku
tadi. Tapi kemudian, kakek itu berkata, “Dia gadis yang cantik, ya?”
“Mmm, sebenarnya
saya ingin mengenalnya bukan karena itu, tapi dia memang cantik.,” jawabku
seadanya.
“Meskipun tidak
bisa melihat, tapi Kakek yakin dia pasti seorang gadis yang sangat cantik.”
“Kakek tahu
siapa dia?” tanyaku. Aku tidak bertanya apakah gadis itu cucunya, karena aku
tahu pasti bukan. Kakek ini sama sekali tidak mirip dengan gadis itu.
Kakek itu
tersenyum lagi, lalu menggelengkan kepalanya, dan menjawab, “Setiap pagi gadis
itu datang kemari untuk menyuapi kakek. Tapi dia sama sekali tidak pernah
berbicara pada kakek. Setiap kali kakek bertanya pun, dia tidak pernah
menjawabnya.”
“Kenapa begitu,
Kek?” tanyaku lagi. Saat itu, datang seorang anak laki-laki berwajah garang.
Tampaknya dia adalah cucu kakek ini.
“Siapa kamu?”
tanyanya.
“Jangan jahat
begitu, kakak ini hanya ingin mengenal gadis yang setiap pagi membawakan
makanan buat kita,” kata Kakek.
“Kami juga tidak
tahu siapa dia, dia selalu diam, tidak pernah menjawab pertanyaan kami,” kata
cucu kakek.
“Kenapa begitu?”
pertanyaan yang sama seperti yang kulontarkan pada Kakek.
“Aku juga tidak
tahu, tapi aku pernah membuntutinya dan aku lihat dia masuk ke rumah di ujung
jalan sana, rumah berpagar hijau yang halamannya penuh dengan tanaman.”
“Terimakasih,”
kataku singkat. Aku ingin secepatnya bertemu dengan gadis itu. Setelah
berpamitan dan memberi beberapa lembar uang seratus ribuan, yang diterima
dengan senang hati oleh si cucu, aku pun pergi untuk mencari rumah gadis itu.
***
Terlepas dari semuanya,
aku sangat menyukai karya-karya Dinda. Tulisannya begitu mengalir dan apa
adanya. Konflik yang dia buat dalam tulisannya adalah konflik sehari-hari yang
sering terjadi dalam kehidupan. Tapi dia menulisnya dengan berbeda. Entahlah,
hanya berbeda dari yang pernah ditulis oleh orang lain. Ini bukan pendapat
subjektif, tetapi sangat objektif. Aku bahkan pernah memperlihatkan tulisan
Dinda pada Ibuku yang sangat suka membaca. Ibu bilang tulisan Dinda memang
bagus, dan Ibu sangat menyukainya.
“Kamu mengenal
penulisnya?” tanya Ibu saat itu.
Aku tersenyum,
mengangguk, lalu menjawab, “Dia seorang gadis, yang sangat cantik.”
“Hmm, sepertinya
kamu bukan hanya berteman dengannya,” kata Ibu menggodaku, “kalau begitu, bawa
dia ke rumah. Ibu ingin mengenal gadis yang telah merebut hati Ibu dengan
tulisannya, dan yang telah merebut hati anak Ibu dengan kecantikannya.”
Aku sangat
bahagia mendengarnya. Memperkenalkan Dinda pada Ibu adalah hal yang paling
kuinginkan saat itu. Aku mengiyakan permintaan Ibu. Sepanjang hari itu
kuhabiskan sambil tersenyum membayangkan pertemuan Dinda dengan Ibu. Dinda juga
pasti sangat senang mendengarnya, sudah lama dia merindukan sosok Ibu yang
telah lama meninggalkannya.
***
Mawar merah itu
tampak kontras dengan kulit Dinda yang putih. Dia semakin cantik dengan bunga
mawar yang kusematkan di telinganya. Dia tersenyum malu, lalu melepas bunga itu
dan menyematkannya ke telingaku. Dia tertawa melihat hasil perbuatannya.
Tawanya begitu keras dan lepas, tapi tetap saja hening. Yang terdengar hanya
suara tawaku.
Selanjutnya,
kami hanya menghabiskan sore itu dengan diam. Sesekali sambil berpandangan dan
tersenyum. Tapi saat-saat itulah yang paling membahagiakan dalam hari-hariku.
Setiap hari aku mendapat tekanan kerja di kantor, rasanya sangat penat dan
melelahkan. Namun, begitu bertemu Dinda, semua kepenatan dan rasa lelah itu
mencair, pergi entah kemana. Lalu rasa penat dan lelah itu digantikan oleh
aliran angin yang sejuk dan menenangkan.
Sejak perkenalan
kami, Dinda telah menjadi rutinitas sehari-hariku. Setiap sore, setelah jam
kantor usai, aku meminta Pak Man mengantarku ke rumah Dinda. Lalu aku memohon
ijin pada Bibi Dinda untuk membawa Dinda pergi. Aku meminta Pak Man untuk
tinggal di rumah Dinda. Sikapku memang sangat kekanakan saat itu, karena harus
melibatkan Pak Man, tapi inilah yang bisa kulakukan agar Bibi Dinda
mempercayaiku.
Aku dan Dinda
pergi berjalan kaki ke pantai yang letaknya tidak jauh dari rumah Dinda. Pantai
itu sangat indah, pasirnya halus dan menyenangkan saat tersentuh kaki.
Lembayung senjanya sangat menkajubkan, apalagi sunset-nya. Semuanya sangat indah. Terlebih lagi dengan adanya
Dinda seperti sekarang ini.
Pernah suatu
kali kami ketiduran di pantai ini, dan mendapati betapa indahnya malam di
pantai itu. Karena kami terlentang begitu saja di atas pasir pantai ini, begitu
membuka mata, kami langsung melihat bintang-bintang di langit. Pantai ini
begitu berbeda dari kota tempatku tinggal, seperti sisi lain dari kotaku.
Begitu juga dengan Dinda yang menjadi sisi lain dalam hidupku. Dinda adalah
penyejuk dalam hidupku yang penat.
***
Pertemuan Ibu
dengan Dinda ternyata sama sekali berbeda dengan yang kubayangkan. Ibu sangat
marah setelah mengetahui keadaan Dinda yang sebenarnya. Bahkan, pendapat Ibu
tentang tulisan Dinda langsung berubah.
“Tulisan apa
ini, hanya mengangkat tema-tema kecil yang sudah sering terjadi, jalan
ceritanya pun gampang ditebak. Cerita yang sangat buruk!” kata Ibu saat itu,
lalu dia memasuki kamarnya, dan tidak mau keluar sampai Dinda pulang.
Dinda menangis
saat perjalanan pulang ke rumahnya. Aku membawanya ke pantai yang biasa, lalu
menenangkannya disana.
***
Seminggu setelah
pertemuan Ibu dengan Dinda, Ibu mengumumkan kepada semua orang di rumah kami,
bahwa dua bulan lagi aku akan menikah dengan gadis pilihan Ibu.
“Gadis ini
bernama Anisa. Dia lebih cantik dari gadis bisu itu, dan tentu saja normal,”
kata Ibu sambil menunjukkan foto Anisa padaku. Aku tidak mempedulikan foto itu,
aku sangat marah karena Ibu telah menyebut Dinda ‘gadis bisu’. Aku tidak ingin
menjadi anak durhaka dengan membentak-bentak Ibu, maka dengan diam dan marah,
aku pergi dari rumah. Aku mengambil kunci mobil, dan pergi tanpa Pak Man.
***
Dalam
kemarahanku, aku benar-benar lupa bahwa aku trauma mengemudikan mobil yang
membuatku selalu diantarkan Pak Man kemana pun aku pergi. Dua tahun yang lalu,
aku masih baik-baik saja mengemudikan mobil, sampai akhirnya mobil yang
kukemudikan mengalami kecelakaan dan kakakku meninggal dunia karenanya.
Setelah berhenti
di lampu merah pertama, aku mengingat trauma itu. Aku ingin berhenti, tapi
kendaraan lain di belakangku sudah ramai memperingatkanku dengan bunyi bel yang
memekakkan telinga. Dengan keberanian yang sangat tipis, aku melajukan mobil
dengan pelan. Sekitar lima menit kemudian, traumaku benar-benar kembali,
tanganku menjadi kaku, dan aku tidak bisa mengemudikan mobil dengan benar.
Mobilku oleng, dan menabrak mobil lain. Semua terjadi begitu cepat. Aku
merasakan tubuhku terguling-guling bersama mobil, sampai semuanya menjadi
gelap.
***
Tubuhku sakit.
Semuanya sakit. Aku mencoba membuka mataku, tapi tidak bisa. Aku mencobanya
lagi, dan samar-samar kulihat ruangan serba putih. Segera saja aku mengingat
kecelakaan yang menimpaku tadi. Rupanya aku masih hidup, dan sekarang berada di
rumah sakit. Pandanganku semakin jelas, ketika Ibu memasuki ruangan dan
mendapatiku sudah sadar.
“Oh, Dimas, kamu
sudah sadar, Nak?” kata Ibuku sambil menangis, “kamu tahu, Ibu sangat khawatir
menungguimu selama lima hari.”
“Lima hari?”
tanyaku lemah.
“Kamu telah
tidak sadar selama lima hari, dan Ibu sangat bersyukur kamu bisa sadar hari
ini.” kata Ibu masih menangis, “Maafkan Ibu, Nak. Ibu terlalu egois karena
tidak mau menerima Dinda yang amat kamu cintai.”
Aku diam saja.
Aku masih sangat marah dengan Ibu.
“Ibu tidak akan
melarangmu bertemu dengan Dinda lagi. Setelah sehat, carilah dia, bawa dia ke
rumah, dan dua bulan lagi kita akan mengadakan pernikahanmu dengan Dinda, bukan
dengan Anisa.”
Aku... Aku
terharu mendengar itu. Aku sangat senang mendengar ucapan Ibu. Aku ingin segera
sembuh...
***
Setelah sehat,
aku pergi ke rumah Dinda. Bibi Dinda membukakan pintu untukku, dia bilang Dinda
tidak ingin bertemu denganku. Aku tidak percaya, dan berontak masuk ke dalam
rumah. Aku berharap dapat menemui Dinda di kamarnya, namun yang kutemukan hanya
ruangan kosong yang rapi. Aku menatap Bibi Dinda dengan tegang, “Dimana Dinda?”
Akhirnya setelah
melewati beberapa menit yang sunyi, Bibi Dinda menceritakan semuanya. Sambil
terisak dia berkata, “Setelah mendengar kabar dari Pak Man bahwa kamu mengalami
kecelakaan, Dinda pergi untuk menemuimu. Dia begitu kacau saat mendengar kabar
itu, dia berlari dan tidak memedulikan apa-apa, sampai di tikungan jalan, dia
tertabrak truk. Dinda meninggal dunia.”
Aku hancur.
***
Aku menikmati
pantai sendirian malam ini. Tanpa Dinda. Aku menengadah ke langit, melihat
bulan dan bintang yang begitu indah. Dinda telah menjadi salah satu dari
mereka.
Aku memang
sendirian malam ini. Tapi kurasakan kehadiran Dinda menyelimutiku begitu
hangat. Aku masih menengadah ke langit.
Aku mengamati bulan. Memang hanya ada satu bulan yang mengelilingi bumi. Begitu
juga dengan Dinda yang hanya ada satu... Dinda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih ^^