Sabtu, 26 Januari 2013

DINDA



Aku menatap jauh ke dalam matanya. Sudah beribu detik kami habiskan di tempat ini. Hanya duduk berhadapan, dan mencoba saling memahami, walau dalam diam.
Dia mengalihkan pandangannya. Dia menengadah ke langit. Sambil tersenyum, dia menunjuk bulan, seakan berkata, “hanya ada satu bulan yang mengelilingi bumi, hanya ada satu bulan yang selalu setia mendampingi bumi, hanya ada satu bulan yang tidak pernah lelah membantu bumi menjadi lebih bercahaya kala malam.”
Beberapa titik air mata membasahi kelopak matanya. Sepasang mata itu sungguh tidak pernah lelah melihatku dari sisi yang berbeda, yang tidak pernah dilihat oleh orang lain. Kuperintahkan ibu jariku untuk mengusap air mata itu. Hatiku nyeri melihat dia menangis.
Dia melanjutkan dialognya tentang bulan, melalui sepasang matanya, sementara bibirnya masih terkatup rapat, “hanya ada satu bulan, dan hanya ada satu aku, yang tidak pernah lelah menerangimu.”
Dia menatap mataku, membuka jendela hatiku, dan memasuki ruang hatiku. Hanya dia yang bisa mengerti, apa yang kupertanyakan. Sungguh tidak ada orang lain lagi, yang bisa memahamiku melalui sepasang mata, tanpa kata.
Sinar matanya terus menerobos lorong-lorong di hatiku, menemukan satu titik, dan menguak satu pertanyaan, “mengapa?”
Matanya basah oleh air mata, namun sinar matanya tetap kuat, dan menuntut jawaban atas pertanyaan yang sama, “mengapa?”
Mataku pun basah oleh butiran air mata. Hari itu Dinda barus aja bertemu dengan Ibuku. Pertemuan itu berakhir dengan kemarahan Ibu yang tidak mau menerima Dinda dengan keadaannya yang sekarang.
***
Terkadang, kita tidak bisa mendapatkan apa yang kita inginkan, sebab Tuhan memberikan apa yang sebenarnya kita butuhkan, bukan yang kita inginkan.
Aku membaca tulisan tangan Dinda yang rapih. Gadis itu baru saja memperlihatkan salah satu karyanya padaku, sebuah cerita pendek. Dinda ingin menjadi penulis.
“Mengapa?” tanyaku.
Dinda tersenyum, lalu menulis:
Karena Dinda hanya bisa bercerita melalui tulisan. Dinda akan menulis fiksi, karena melalui fiksi, Dinda bisa menceritakan sebuah dunia yang sempurna, dunia yang Dinda impikan.
“Dunia seperti apa yang Dinda inginkan?”
Dinda hanya tersenyum sambil mengangkat bahunya, menyimpan jawaban untuk dirinya sendiri. Aku membelai rambutnya yang tergerai, lalu Dinda menyandarkan kepalanya di bahuku. Sore itu sungguh indah.
***
Hari itu masih hari yang biasa, masih panas dan jalanan masih sibuk. Namun pagi itu, dalam perjalananku menuju kantor, ada satu kejadian yang merupakan permulaan dari kisah ini. Di tengah-tengah sibuknya jalanan, pandanganku secara tidak sengaja tertuju pada sesosok gadis di taman di seberang sana. Gadis itu berkulit putih, berambut hitam panjang, sepertinya keturunan China atau Jepang. Dia berbalut dress berwarna putih. Dia cantik, tapi bukan itu yang membuat pandanganku terus tertuju padanya hingga aku menoleh ke belakang setelah mobilku melewatinya --untung saja Pak Man yang menyetir mobil saat itu. Aku terpukau pada gadis itu, karena saat itu dia sedang menyuapi seorang kakek, yang tampaknya tuna netra. Aku sangat ingin mengenalnya.
Karena mobil kami sudah melewati taman tempat gadis itu berada, aku meminta Pak Man berbalik untuk menghampiri gadis itu. Pak Man kemudian berbelok dan berputar balik untuk kembali ke taman tempat gadis itu berada. Sampai di taman itu, kulihat si gadis sudah tidak ada, hanya ada si kakek tuna netra yang tadi disuapi oleh si gadis. Karena aku betul-betul ingin mengenalnya, aku pun turun dari mobil untuk menanyakan si gadis pada kakek itu.
“Permisi, Kek,” sapaku.
“Ya, nak?” jawab kakek itu sambil tersenyum.
“Saya lihat tadi Kakek disuapi oleh seorang gadis,” kataku, “kalau boleh, saya ingin mengenal dia.”
Kakek itu diam saja, tapi masih tersenyum. Sesaat aku mengira dia tidak mendengar kalimatku tadi. Tapi kemudian, kakek itu berkata, “Dia gadis yang cantik, ya?”
“Mmm, sebenarnya saya ingin mengenalnya bukan karena itu, tapi dia memang cantik.,” jawabku seadanya.
“Meskipun tidak bisa melihat, tapi Kakek yakin dia pasti seorang gadis yang sangat cantik.”
“Kakek tahu siapa dia?” tanyaku. Aku tidak bertanya apakah gadis itu cucunya, karena aku tahu pasti bukan. Kakek ini sama sekali tidak mirip dengan gadis itu.
Kakek itu tersenyum lagi, lalu menggelengkan kepalanya, dan menjawab, “Setiap pagi gadis itu datang kemari untuk menyuapi kakek. Tapi dia sama sekali tidak pernah berbicara pada kakek. Setiap kali kakek bertanya pun, dia tidak pernah menjawabnya.”
“Kenapa begitu, Kek?” tanyaku lagi. Saat itu, datang seorang anak laki-laki berwajah garang. Tampaknya dia adalah cucu kakek ini.
“Siapa kamu?” tanyanya.
“Jangan jahat begitu, kakak ini hanya ingin mengenal gadis yang setiap pagi membawakan makanan buat kita,” kata Kakek.
“Kami juga tidak tahu siapa dia, dia selalu diam, tidak pernah menjawab pertanyaan kami,” kata cucu kakek.
“Kenapa begitu?” pertanyaan yang sama seperti yang kulontarkan pada Kakek.
“Aku juga tidak tahu, tapi aku pernah membuntutinya dan aku lihat dia masuk ke rumah di ujung jalan sana, rumah berpagar hijau yang halamannya penuh dengan tanaman.”
“Terimakasih,” kataku singkat. Aku ingin secepatnya bertemu dengan gadis itu. Setelah berpamitan dan memberi beberapa lembar uang seratus ribuan, yang diterima dengan senang hati oleh si cucu, aku pun pergi untuk mencari rumah gadis itu.
***
Terlepas dari semuanya, aku sangat menyukai karya-karya Dinda. Tulisannya begitu mengalir dan apa adanya. Konflik yang dia buat dalam tulisannya adalah konflik sehari-hari yang sering terjadi dalam kehidupan. Tapi dia menulisnya dengan berbeda. Entahlah, hanya berbeda dari yang pernah ditulis oleh orang lain. Ini bukan pendapat subjektif, tetapi sangat objektif. Aku bahkan pernah memperlihatkan tulisan Dinda pada Ibuku yang sangat suka membaca. Ibu bilang tulisan Dinda memang bagus, dan Ibu sangat menyukainya.
“Kamu mengenal penulisnya?” tanya Ibu saat itu.
Aku tersenyum, mengangguk, lalu menjawab, “Dia seorang gadis, yang sangat cantik.”
“Hmm, sepertinya kamu bukan hanya berteman dengannya,” kata Ibu menggodaku, “kalau begitu, bawa dia ke rumah. Ibu ingin mengenal gadis yang telah merebut hati Ibu dengan tulisannya, dan yang telah merebut hati anak Ibu dengan kecantikannya.”
Aku sangat bahagia mendengarnya. Memperkenalkan Dinda pada Ibu adalah hal yang paling kuinginkan saat itu. Aku mengiyakan permintaan Ibu. Sepanjang hari itu kuhabiskan sambil tersenyum membayangkan pertemuan Dinda dengan Ibu. Dinda juga pasti sangat senang mendengarnya, sudah lama dia merindukan sosok Ibu yang telah lama meninggalkannya.
***
Mawar merah itu tampak kontras dengan kulit Dinda yang putih. Dia semakin cantik dengan bunga mawar yang kusematkan di telinganya. Dia tersenyum malu, lalu melepas bunga itu dan menyematkannya ke telingaku. Dia tertawa melihat hasil perbuatannya. Tawanya begitu keras dan lepas, tapi tetap saja hening. Yang terdengar hanya suara tawaku.
Selanjutnya, kami hanya menghabiskan sore itu dengan diam. Sesekali sambil berpandangan dan tersenyum. Tapi saat-saat itulah yang paling membahagiakan dalam hari-hariku. Setiap hari aku mendapat tekanan kerja di kantor, rasanya sangat penat dan melelahkan. Namun, begitu bertemu Dinda, semua kepenatan dan rasa lelah itu mencair, pergi entah kemana. Lalu rasa penat dan lelah itu digantikan oleh aliran angin yang sejuk dan menenangkan.
Sejak perkenalan kami, Dinda telah menjadi rutinitas sehari-hariku. Setiap sore, setelah jam kantor usai, aku meminta Pak Man mengantarku ke rumah Dinda. Lalu aku memohon ijin pada Bibi Dinda untuk membawa Dinda pergi. Aku meminta Pak Man untuk tinggal di rumah Dinda. Sikapku memang sangat kekanakan saat itu, karena harus melibatkan Pak Man, tapi inilah yang bisa kulakukan agar Bibi Dinda mempercayaiku.
Aku dan Dinda pergi berjalan kaki ke pantai yang letaknya tidak jauh dari rumah Dinda. Pantai itu sangat indah, pasirnya halus dan menyenangkan saat tersentuh kaki. Lembayung senjanya sangat menkajubkan, apalagi sunset-nya. Semuanya sangat indah. Terlebih lagi dengan adanya Dinda seperti sekarang ini.
Pernah suatu kali kami ketiduran di pantai ini, dan mendapati betapa indahnya malam di pantai itu. Karena kami terlentang begitu saja di atas pasir pantai ini, begitu membuka mata, kami langsung melihat bintang-bintang di langit. Pantai ini begitu berbeda dari kota tempatku tinggal, seperti sisi lain dari kotaku. Begitu juga dengan Dinda yang menjadi sisi lain dalam hidupku. Dinda adalah penyejuk dalam hidupku yang penat.
***
Pertemuan Ibu dengan Dinda ternyata sama sekali berbeda dengan yang kubayangkan. Ibu sangat marah setelah mengetahui keadaan Dinda yang sebenarnya. Bahkan, pendapat Ibu tentang tulisan Dinda langsung berubah.
“Tulisan apa ini, hanya mengangkat tema-tema kecil yang sudah sering terjadi, jalan ceritanya pun gampang ditebak. Cerita yang sangat buruk!” kata Ibu saat itu, lalu dia memasuki kamarnya, dan tidak mau keluar sampai Dinda pulang.
Dinda menangis saat perjalanan pulang ke rumahnya. Aku membawanya ke pantai yang biasa, lalu menenangkannya disana.
***
Seminggu setelah pertemuan Ibu dengan Dinda, Ibu mengumumkan kepada semua orang di rumah kami, bahwa dua bulan lagi aku akan menikah dengan gadis pilihan Ibu.
“Gadis ini bernama Anisa. Dia lebih cantik dari gadis bisu itu, dan tentu saja normal,” kata Ibu sambil menunjukkan foto Anisa padaku. Aku tidak mempedulikan foto itu, aku sangat marah karena Ibu telah menyebut Dinda ‘gadis bisu’. Aku tidak ingin menjadi anak durhaka dengan membentak-bentak Ibu, maka dengan diam dan marah, aku pergi dari rumah. Aku mengambil kunci mobil, dan pergi tanpa Pak Man.
***
Dalam kemarahanku, aku benar-benar lupa bahwa aku trauma mengemudikan mobil yang membuatku selalu diantarkan Pak Man kemana pun aku pergi. Dua tahun yang lalu, aku masih baik-baik saja mengemudikan mobil, sampai akhirnya mobil yang kukemudikan mengalami kecelakaan dan kakakku meninggal dunia karenanya.
Setelah berhenti di lampu merah pertama, aku mengingat trauma itu. Aku ingin berhenti, tapi kendaraan lain di belakangku sudah ramai memperingatkanku dengan bunyi bel yang memekakkan telinga. Dengan keberanian yang sangat tipis, aku melajukan mobil dengan pelan. Sekitar lima menit kemudian, traumaku benar-benar kembali, tanganku menjadi kaku, dan aku tidak bisa mengemudikan mobil dengan benar. Mobilku oleng, dan menabrak mobil lain. Semua terjadi begitu cepat. Aku merasakan tubuhku terguling-guling bersama mobil, sampai semuanya menjadi gelap.
***
Tubuhku sakit. Semuanya sakit. Aku mencoba membuka mataku, tapi tidak bisa. Aku mencobanya lagi, dan samar-samar kulihat ruangan serba putih. Segera saja aku mengingat kecelakaan yang menimpaku tadi. Rupanya aku masih hidup, dan sekarang berada di rumah sakit. Pandanganku semakin jelas, ketika Ibu memasuki ruangan dan mendapatiku sudah sadar.
“Oh, Dimas, kamu sudah sadar, Nak?” kata Ibuku sambil menangis, “kamu tahu, Ibu sangat khawatir menungguimu selama lima hari.”
“Lima hari?” tanyaku lemah.
“Kamu telah tidak sadar selama lima hari, dan Ibu sangat bersyukur kamu bisa sadar hari ini.” kata Ibu masih menangis, “Maafkan Ibu, Nak. Ibu terlalu egois karena tidak mau menerima Dinda yang amat kamu cintai.”
Aku diam saja. Aku masih sangat marah dengan Ibu.
“Ibu tidak akan melarangmu bertemu dengan Dinda lagi. Setelah sehat, carilah dia, bawa dia ke rumah, dan dua bulan lagi kita akan mengadakan pernikahanmu dengan Dinda, bukan dengan Anisa.”
Aku... Aku terharu mendengar itu. Aku sangat senang mendengar ucapan Ibu. Aku ingin segera sembuh...
***
Setelah sehat, aku pergi ke rumah Dinda. Bibi Dinda membukakan pintu untukku, dia bilang Dinda tidak ingin bertemu denganku. Aku tidak percaya, dan berontak masuk ke dalam rumah. Aku berharap dapat menemui Dinda di kamarnya, namun yang kutemukan hanya ruangan kosong yang rapi. Aku menatap Bibi Dinda dengan tegang, “Dimana Dinda?”
Akhirnya setelah melewati beberapa menit yang sunyi, Bibi Dinda menceritakan semuanya. Sambil terisak dia berkata, “Setelah mendengar kabar dari Pak Man bahwa kamu mengalami kecelakaan, Dinda pergi untuk menemuimu. Dia begitu kacau saat mendengar kabar itu, dia berlari dan tidak memedulikan apa-apa, sampai di tikungan jalan, dia tertabrak truk. Dinda meninggal dunia.”
Aku hancur.
***
Aku menikmati pantai sendirian malam ini. Tanpa Dinda. Aku menengadah ke langit, melihat bulan dan bintang yang begitu indah. Dinda telah menjadi salah satu dari mereka.
Aku memang sendirian malam ini. Tapi kurasakan kehadiran Dinda menyelimutiku begitu hangat.  Aku masih menengadah ke langit. Aku mengamati bulan. Memang hanya ada satu bulan yang mengelilingi bumi. Begitu juga dengan Dinda yang hanya ada satu... Dinda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih ^^