Rabu, 25 Desember 2013

Percakapan Imajiner



Percakapan imajiner ini saya buat lama sebelum bulan oktober 2013.

Percakapan imajiner

Aku             :    Apa yang menurutmu aku lebih istimewa dari mbak-mbak cantikmu?
Kamu          :    Kamu mau menerimaku
Aku             :    Tapi itu bukan keistimewaan
Kamu          : Maksudnya?
Aku             : Kalau ternyata ada mbak cantik yang mau menerimamu, berarti aku sudah tidak istimewa
Kamu          : Benarkah?
Aku             : Ya, bisa saja kalau ada mbak cantik yang bisa menerimamu, kamu akan lebih memilih dia daripada aku
Kamu          : Oh ya?
Aku             : (mengangguk) Kalau begitu, sebenarnya aku tidak punya keistimewaan buat kamu. Jadi kalau aku pergi, itu justru lebih baik buat kamu karena kamu bisa mencari seseorang yang punya keistimewaan, yang tidak bisa digantikan oleh orang lain, bahkan oleh mbak-mbak cantikmu.
Kamu          : Aku nggak ngerti. Apa itu berarti kamu mau pergi? Kamu ingin kita berpisah?
Aku             : (menggeleng) Sebenarnya menurutku kamu yang menginginkan kita berpisah. Lagipula aku tidak merasa kamu menyayangiku.
Kamu          : Kok bisa?
Aku             : Kamu tidak pernah ingin bertemu denganku. Aku harus marah-marah dulu, baru kamu bilang ingin, pasti dengan terpaksa biar aku nggak marah-marah lagi. Kamu tidak menjaga komunikasi kita, bahkan saat kamu sedang tidak sibuk. Dan aku juga harus marah-marah dulu, baru kamu kadang-kadang menelepon.
Kamu          : Lalu?
Aku             : Aku juga punya banyak kekurangan di mata kamu. Ingat kan? Kamu sendiri yang bilang.
Kamu          : Itu kan cuma bercanda.
Aku             : Ya, tapi di sisi lain aku merasa kamu sedang membandingkan aku dengan mbak-mbak cantikmu.
Kamu          : Kamu sensitif sekali. Dulu aku kira kamu suka bercanda.
Aku             : Semuanya menjadi berbeda setelah ada perasaan sayang.
Kamu          : Kalau sayang, kenapa kamu mau pergi?
Aku             : Aku kan sudah bilang, bukan aku yang menginginkannya, tapi kamu.
Kamu          : Aku tidak pernah bilang begitu, kan?
Aku             : Mulutmu memang tidak pernah bilang, tapi sikapmu yang mencerminkannya.
Kamu          : Sikapku yang mana?
Aku             : Aku juga sudah bilang kan. Bahkan kamu pun tidak mendengarku dengan cermat. Baiklah, akan aku ulangi dengan alasan yang lebih banyak. Pertama, kamu tidak ingin bertemu denganku bahkan setelah kita tidak bertemu selama berbulan-bulan. Aku harus marah-marah dulu, baru kamu mengajakku ‘bertemu dan berbicara’. Kedua, kamu tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menjaga komunikasi denganku. Selalu ada alasan untuk tidak berkomunikasi. Ketiga, kamu bahkan lupa dengan hari ulang tahunku, kamu cuma mengingatnya dengan bantuan reminder di HP mu. Berhubung HP mu hilang, maka hari ulang tahunku juga hilang dari ingatanmu. Keempat, kamu tidak ingin datang ke rumahku. Aku yang datang ke rumahmu. Kurasa alasannya bukan sekedar kamu tidak ada kendaraan pribadi atau jauhnya jarak rumah kita. Alasan sebenarnya adalah karena kamu tidak ingin meluangkan waktu untuk datang ke rumahku. Kamu tidak mau banyak berkorban buatku, karena aku tidak istimewa buat kamu. Kelima, kamu pernah mengatakan dengan enteng, “kalau tidak mau menunggu, kamu pergi saja.” Keenam, kamu bahkan tidak ingin menunjukkan bahwa kamu sudah punya pacar, entah karena kamu malu atau bagaimana, tapi kamu lebih suka dianggap tidak punya pacar agar leluasa menggoda mbak-mbak cantikmu. Mungkin karena aku tidak secantik mbak-mbak cantikmu itu. Ketujuh, aku rasa kamu lebih menikmati saat-saat bersama salah satu mbak cantikmu. Saat kamu membicarakan dia, kamu lebih bersemangat. Sudah tujuh alasan, kamu ingin aku menyebutkan lebih banyak alasan lagi?
Kamu          : (hanya diaaaaaaam, tanpa ekspresi)
Aku             : Jadi memang begitu? Sudah aku duga, aku cuma menjadi sekedar pelengkap buat kamu.
Kamu          : Jadi sebenarnya apa yang kamu inginkan?
Aku             : Aku ingin memiliki arti, bukan sekedar pelengkap. Aku ingin menjadi tepung terigu untuk membuat donat, sebab tanpa tepung terigu, donat tidak akan bisa dibuat. Aku tidak ingin hanya menjadi topping di atas donat, karena sebuah topping bisa digantikan oleh topping lainnya.
Kamu          : Kamu selalu bicara tentang apa yang kamu rasakan. Kamu tidak ingin tahu bagaimana perasaanku?
Aku             : Bagaimana aku tahu kalau kamu tidak pernah mengatakannya secara gamblang.
Kamu          : Aku menginginkan hubungan yang sehat, yang ceria, yang tidak melulu terisi dengan omelan-omelan dan acara ngambek mu.
Aku             : Apa yang menurutmu membuatku sering ngomel-ngomel dan ngambek?
Kamu          : (mengangkat bahu)
Aku             : Haha. Kamu pura-pura tidak tahu. Tentu saja semua omelan dan acara ngambek ku itu karena kamu, karena sikapmu. Kalau kamu bersikap manis, aku juga bisa bersikap manis. Coba kamu ingat, seberapa sering kamu bersikap manis? Hanya beberapa kali. Dan coba kamu ingat, seberapa sering kamu bersikap menjengkelkan? Berkali-kali.


Akhirnya kami putus pada bulan Oktober 2013.
Aku mengatakan seluruh alasan yang ada pada percakapan imajiner tersebut kepadanya, yang dia respon dengan kalimat, “kalau begitu, mari kita menjalani jalan yang dipilih masing-masing. Jika sampai saatnya aku akan melamarmu nanti, ternyata pintu mu sudah tertutup, maka kita benar-benar selesai.”
Melalui tulisan ini, seandainya dia membacanya, aku ingin meminta maaf kepadanya. Bahwa aku tidak bisa menunggunya lagi. Aku lelah dengan kepura-puraan bahwa aku tetap menyayanginya. Aku ingin terus berjalan dalam kehidupanku. Aku ingin mencari kebahagiaanku dengan bertemu dengan ‘orang baru’ yang dapat menghargai arti sebuah hubungan dan kasih sayang.
Maafkan aku, selama ini membohongi diriku sendiri. Aku berusaha berbahagia dengannya, tetapi tidak bisa. Aku sudah lelah berpura-pura bahagia, berpura-pura tetap bisa menerimanya meskipun dia tidak pernah menunjukkan itikad baiknya dalam hubungan kami. Maafkan aku, aku tidak bisa menunggunya. Maafkan aku, aku telah mengkhianati kata-kataku kepadanya bahwa aku akan menunggunya sampai dia siap menuju hubungan yang lebih matang. Maafkan aku, aku harus tetap berjalan maju dalam kehidupanku dan menghabiskan waktu bersama ‘orang baru’ yang lebih mampu menghargai kasih sayangku.

Semoga dengan tulisan ini, seandainya dia membacanya, dia sanggup mengerti bahwa kasih sayang yang diberikan secara searah tidak akan menghasilkan cinta yang kuat. Dan, bahwa cinta selalu menuntut perjuangan. Cinta akan tetap bernilai nol tanpa perjuangan. Meskipun nol adalah awal dari segalanya, namun segalanya akan tetap bernilai nol tanpa perjuangan.

Untuk dia yang dulu pernah menjadi bagian dari hidupku:

I’m sorry goodbye. Ternyata aku dan kamu tidak bisa menjadi kita. Semoga kamu segera menemukan ‘orang baru’ yang lebih mampu mengasihimu.



Regards,


Ekky

November 2013

TERSANJUNG



Angin berhembus pelan. Membelai lembut wajah setiap orang yang dilewatinya. Menelisik dedaunan di pohon-pohon yang ditanam di sepanjang tepian jalan menimbulkan bunyi gemerisik. Daun-daun kuning berguguran menutupi batu paving jalanan memberi kesan sedang berlangsung musim gugur, padahal tempat itu berada di negara tropis dua musim.
Seorang Bapak tua, usianya mungkin sudah memasuki kepala enam, tampak giat mengumpulkan daun-daun yang berguguran itu di satu tempat. Tangannya memegang sapu lidi bergagang panjang. Srek. Srek. Srek. Begitu bunyinya. Memecahkan senyap pagi itu.
Seorang gadis di sudut jalan diam-diam mengamatinya. Melihat betapa Bapak tua itu adalah seorang pekerja keras. Gadis itu membayangkan si Bapak tua bangun subuh-subuh, saat matahari masih belum bangun. Lalu Bapak tua mandi, melawan dinginnya suhu air subuh, mengambil sapu lidi bergagang panjangnya, lalu berangkat menuju jalanan ini dengan sepeda pancalnya (yang juga tua). Sepada itu sekarang sedang diparkir di tepi jalan. Sesampainya di jalanan ini, si Bapak tua segera menyapu jalanan dengan sapu lidi bergagang panjangnya.
Si gadis tersenyum saja mengamati si Bapak tua yang sekarang mulai berkeringat. Tampaknya sudah lelah. Si Bapak tua lalu menghentikan sejenak aktivitasnya, beranjak ke sepeda pancalnya, dan mengambil sebotol air. Dengan nikmat, si Bapak tua meneguk air dari dalam botol minumnya. Saat itu lah, si Bapak tua melihat seorang gadis yang rupanya sedang mengamatinya. Si Bapak tua tersenyum melihat gadis itu. Dengan agak canggung, si gadis menghampiri Bapak tua.
“Minum, neng?” si Bapak tua berbasa-basi. Si gadis hanya menggeleng dan tersenyum simpul.
“Pak, terimakasih ya, sudah menyapu jalanan ini setiap hari,” kata si gadis.
Mendengar itu, si Bapak tua merasa... Entahlah. Si Bapak tua tidak cukup pintar untuk mendefinisikan perasaannya saat itu. Saat seseorang mengucapkan terimakasih karena pekerjaannya.
“Tidak perlu terimakasih, Neng, Bapak kan digaji,” balas si Bapak tua.
“Tapi tidak semua orang, meskipun digaji, bersedia menyapu jalanan ini, Pak,” kata si Gadis.
Demi mendengar itu, si Bapak tua merasa... Ah, entahlah. Si Bapak tua masih saja belum bisa mendifinisikan perasaannya. Setelah bertahun-tahun melakoni pekerjaannya sebagai tukang sapu di tempat ini, baru sekarang seseorang mengucapkan terimakasih kepadanya.
“Bapak punya anak atau cucu?” tanya si gadis. Si Bapak tua mengangguk, lalu meluncurlah cerita tentang anak-anak dan cucunya yang sedang merantau ke kota yang amat jauh.
“Anak Bapak dua orang, neng, sudah sukses semuanya. Mereka merantau ke kota yang sangaaaaaaaaat jauh. Pulang ke rumah beberapa tahun sekali. Bapak juga punya cucu, emm, berapa ya? Aduh, Bapak lupa, neng, saking jarangnya mereka pulang. Hehe.”
Si gadis tidak ingin bertanya-tanya lagi tentang anak dan cucu si Bapak tua, karena dia tahu Si Bapak tua pasti akan sangat sedih karena merindukan anak dan cucunya jika menceritakan mereka. Maka si gadis, dengan senyumnya, menghantarkan selembar kertas gambar kepada si Bapak tua. Kertas gambar itu tidak kosong, melainkan ada lukisan si Bapak tua sedang menyapu jalanan.
“Ini buat Bapak. Tunjukkan kepada anak dan cucu Bapak, bahwa Bapak adalah seorang pahlawan kebersihan di jalanan ini,” kata Si gadis. Setelah itu, dia berjalan pergi. Si Bapak melihat gadis itu berjalan semakin jauh. Ya Allah, baru kali ini ada seseorang yang mengucapkan terimakasih dan menyebutnya pahlawan kebersihan. Si Bapak merasa sangat... Ah, iya! Si Bapak tua ingat! Perasaan ini disebut tersanjung! Seperti judul sinetron favoritnya.

Senin, 26 Agustus 2013

hmmmm



Halo para tetesan air hujan,
Aku ingin menghubungi kalian secara pribadi, saling berbicara dan mendengarkan. Maka aku menuliskan ini sebagai my disguise.
Ada banyak hal yang belum aku ceritakan di sini. Salah satunya tentang mimpiku. Di salah satu posting, aku berjanji hanya akan menceritakan mimpi itu jika sudah terwujud. Tapiiii... Aku sedang membutuhkan seseorang untuk mendengarku. Dan aku pikir kalian lah pendengar terbaik, para tetesan air hujan.

Hemmm...
Gak jadi deh. Next time lah ya.