Rabu, 25 Desember 2013

TERSANJUNG



Angin berhembus pelan. Membelai lembut wajah setiap orang yang dilewatinya. Menelisik dedaunan di pohon-pohon yang ditanam di sepanjang tepian jalan menimbulkan bunyi gemerisik. Daun-daun kuning berguguran menutupi batu paving jalanan memberi kesan sedang berlangsung musim gugur, padahal tempat itu berada di negara tropis dua musim.
Seorang Bapak tua, usianya mungkin sudah memasuki kepala enam, tampak giat mengumpulkan daun-daun yang berguguran itu di satu tempat. Tangannya memegang sapu lidi bergagang panjang. Srek. Srek. Srek. Begitu bunyinya. Memecahkan senyap pagi itu.
Seorang gadis di sudut jalan diam-diam mengamatinya. Melihat betapa Bapak tua itu adalah seorang pekerja keras. Gadis itu membayangkan si Bapak tua bangun subuh-subuh, saat matahari masih belum bangun. Lalu Bapak tua mandi, melawan dinginnya suhu air subuh, mengambil sapu lidi bergagang panjangnya, lalu berangkat menuju jalanan ini dengan sepeda pancalnya (yang juga tua). Sepada itu sekarang sedang diparkir di tepi jalan. Sesampainya di jalanan ini, si Bapak tua segera menyapu jalanan dengan sapu lidi bergagang panjangnya.
Si gadis tersenyum saja mengamati si Bapak tua yang sekarang mulai berkeringat. Tampaknya sudah lelah. Si Bapak tua lalu menghentikan sejenak aktivitasnya, beranjak ke sepeda pancalnya, dan mengambil sebotol air. Dengan nikmat, si Bapak tua meneguk air dari dalam botol minumnya. Saat itu lah, si Bapak tua melihat seorang gadis yang rupanya sedang mengamatinya. Si Bapak tua tersenyum melihat gadis itu. Dengan agak canggung, si gadis menghampiri Bapak tua.
“Minum, neng?” si Bapak tua berbasa-basi. Si gadis hanya menggeleng dan tersenyum simpul.
“Pak, terimakasih ya, sudah menyapu jalanan ini setiap hari,” kata si gadis.
Mendengar itu, si Bapak tua merasa... Entahlah. Si Bapak tua tidak cukup pintar untuk mendefinisikan perasaannya saat itu. Saat seseorang mengucapkan terimakasih karena pekerjaannya.
“Tidak perlu terimakasih, Neng, Bapak kan digaji,” balas si Bapak tua.
“Tapi tidak semua orang, meskipun digaji, bersedia menyapu jalanan ini, Pak,” kata si Gadis.
Demi mendengar itu, si Bapak tua merasa... Ah, entahlah. Si Bapak tua masih saja belum bisa mendifinisikan perasaannya. Setelah bertahun-tahun melakoni pekerjaannya sebagai tukang sapu di tempat ini, baru sekarang seseorang mengucapkan terimakasih kepadanya.
“Bapak punya anak atau cucu?” tanya si gadis. Si Bapak tua mengangguk, lalu meluncurlah cerita tentang anak-anak dan cucunya yang sedang merantau ke kota yang amat jauh.
“Anak Bapak dua orang, neng, sudah sukses semuanya. Mereka merantau ke kota yang sangaaaaaaaaat jauh. Pulang ke rumah beberapa tahun sekali. Bapak juga punya cucu, emm, berapa ya? Aduh, Bapak lupa, neng, saking jarangnya mereka pulang. Hehe.”
Si gadis tidak ingin bertanya-tanya lagi tentang anak dan cucu si Bapak tua, karena dia tahu Si Bapak tua pasti akan sangat sedih karena merindukan anak dan cucunya jika menceritakan mereka. Maka si gadis, dengan senyumnya, menghantarkan selembar kertas gambar kepada si Bapak tua. Kertas gambar itu tidak kosong, melainkan ada lukisan si Bapak tua sedang menyapu jalanan.
“Ini buat Bapak. Tunjukkan kepada anak dan cucu Bapak, bahwa Bapak adalah seorang pahlawan kebersihan di jalanan ini,” kata Si gadis. Setelah itu, dia berjalan pergi. Si Bapak melihat gadis itu berjalan semakin jauh. Ya Allah, baru kali ini ada seseorang yang mengucapkan terimakasih dan menyebutnya pahlawan kebersihan. Si Bapak merasa sangat... Ah, iya! Si Bapak tua ingat! Perasaan ini disebut tersanjung! Seperti judul sinetron favoritnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih ^^