Angin berhembus pelan. Membelai lembut
wajah setiap orang yang dilewatinya. Menelisik dedaunan di pohon-pohon yang
ditanam di sepanjang tepian jalan menimbulkan bunyi gemerisik. Daun-daun kuning
berguguran menutupi batu paving jalanan memberi kesan sedang berlangsung musim
gugur, padahal tempat itu berada di negara tropis dua musim.
Seorang Bapak tua, usianya mungkin sudah
memasuki kepala enam, tampak giat mengumpulkan daun-daun yang berguguran itu di
satu tempat. Tangannya memegang sapu lidi bergagang panjang. Srek. Srek. Srek.
Begitu bunyinya. Memecahkan senyap pagi itu.
Seorang gadis di sudut jalan diam-diam
mengamatinya. Melihat betapa Bapak tua itu adalah seorang pekerja keras. Gadis
itu membayangkan si Bapak tua bangun subuh-subuh, saat matahari masih belum
bangun. Lalu Bapak tua mandi, melawan dinginnya suhu air subuh, mengambil sapu
lidi bergagang panjangnya, lalu berangkat menuju jalanan ini dengan sepeda
pancalnya (yang juga tua). Sepada itu sekarang sedang diparkir di tepi jalan.
Sesampainya di jalanan ini, si Bapak tua segera menyapu jalanan dengan sapu
lidi bergagang panjangnya.
Si gadis tersenyum saja mengamati si
Bapak tua yang sekarang mulai berkeringat. Tampaknya sudah lelah. Si Bapak tua
lalu menghentikan sejenak aktivitasnya, beranjak ke sepeda pancalnya, dan
mengambil sebotol air. Dengan nikmat, si Bapak tua meneguk air dari dalam botol
minumnya. Saat itu lah, si Bapak tua melihat seorang gadis yang rupanya sedang
mengamatinya. Si Bapak tua tersenyum melihat gadis itu. Dengan agak canggung, si
gadis menghampiri Bapak tua.
“Minum, neng?” si Bapak tua berbasa-basi.
Si gadis hanya menggeleng dan tersenyum simpul.
“Pak, terimakasih ya, sudah menyapu
jalanan ini setiap hari,” kata si gadis.
Mendengar itu, si Bapak tua merasa...
Entahlah. Si Bapak tua tidak cukup pintar untuk mendefinisikan perasaannya saat
itu. Saat seseorang mengucapkan terimakasih karena pekerjaannya.
“Tidak perlu terimakasih, Neng, Bapak kan
digaji,” balas si Bapak tua.
“Tapi tidak semua orang, meskipun digaji,
bersedia menyapu jalanan ini, Pak,” kata si Gadis.
Demi mendengar itu, si Bapak tua
merasa... Ah, entahlah. Si Bapak tua masih saja belum bisa mendifinisikan
perasaannya. Setelah bertahun-tahun melakoni pekerjaannya sebagai tukang sapu
di tempat ini, baru sekarang seseorang mengucapkan terimakasih kepadanya.
“Bapak punya anak atau cucu?” tanya si
gadis. Si Bapak tua mengangguk, lalu meluncurlah cerita tentang anak-anak dan
cucunya yang sedang merantau ke kota yang amat jauh.
“Anak Bapak dua orang, neng, sudah sukses
semuanya. Mereka merantau ke kota yang sangaaaaaaaaat jauh. Pulang ke rumah
beberapa tahun sekali. Bapak juga punya cucu, emm, berapa ya? Aduh, Bapak lupa,
neng, saking jarangnya mereka pulang. Hehe.”
Si gadis tidak ingin bertanya-tanya lagi
tentang anak dan cucu si Bapak tua, karena dia tahu Si Bapak tua pasti akan
sangat sedih karena merindukan anak dan cucunya jika menceritakan mereka. Maka
si gadis, dengan senyumnya, menghantarkan selembar kertas gambar kepada si
Bapak tua. Kertas gambar itu tidak kosong, melainkan ada lukisan si Bapak tua
sedang menyapu jalanan.
“Ini buat Bapak. Tunjukkan kepada anak
dan cucu Bapak, bahwa Bapak adalah seorang pahlawan kebersihan di jalanan ini,”
kata Si gadis. Setelah itu, dia berjalan pergi. Si Bapak melihat gadis itu berjalan
semakin jauh. Ya Allah, baru kali ini ada seseorang yang mengucapkan
terimakasih dan menyebutnya pahlawan kebersihan. Si Bapak merasa sangat... Ah,
iya! Si Bapak tua ingat! Perasaan ini disebut tersanjung! Seperti judul
sinetron favoritnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih ^^