Bahasan mengenai kenaikan harga bahan bakar minyak
tampaknya sedang menjadi topik utama dalam banyak perbincangan saat ini.
Bagaimana tidak, banyak pihak yang pro, dan yang kontra juga tidak lebih
sedikit. Munculnya pro dan kontra dalam menanggapi suatu isu merupakan hal yang
sangat wajar, mengingat Indonesia adalah Negara dengan keberagaman sosial yang
tinggi. Berbagai pendapat muncul dari macam-macam sudut pandang. Namun, pada
akhirnya harus ada pihak yang legowo
terhadap kebijakan yang diambil.
Bahan bakar minyak memegang kendali yang sangat kuat
bagi pemenuhan kebutuhan rakyat. Manusia membutuhkan mobilitas, pangan,
sandang, dan papan yang memerlukan bahan bakar minyak dalam proses produksinya.
Maka, jika kita berbicara tentang kenaikan harga minyak, itu berarti kita
sedang berbicara tentang kenaikan harga terhadap pemenuhan kebutuhan pokok
tersebut. Lagi-lagi, rakyat kecil-lah yang paling merasakan pukulannya.
Hal yang harus diingat adalah bahan bakar minyak yang
harganya sedang panas diperdebatkan itu diproduksi dari energi fosil yang tak
terbarukan. Dewasa ini dan beberapa tahun ke depan, manusia masih akan
tergantung pada sumber energi fosil, karena sumber energi fosil inilah yang
mampu memenuhi kebutuhan energi dalam skala besar. Akan tetapi, menurut WEC (World Energy Council), cadangan minyak
bumi dunia akan habis pada tahun 2022. Sepuluh tahun lagi, dan dunia akan megap-megap karena kehabisan salah satu
sumber energi terbesar. Pihak akademisi memandang hal ini sebagai kesempatan
dan latar belakang untuk semakin menduniakan energi alternatif terbarukan.
Argumentasi yang sering dilupakan dalam perbincangan
kenaikan harga minyak adalah kondisi lingkungan yang kian memburuk. Seorang
teman bertanya, “apa hubungan antara kenaikan harga minyak bumi dan
lingkungan?”. Sebuah pertanyaan yang merupakan penanda kurangnya kesadaran, atau pengetahuan?, tentang penyebab
global warming.
Dewan Nasional Perubahan Iklim menyatakan karbondioksida
yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil adalah penyumbang terbesar
bagi gas-gas rumah kaca yang menyebabkan global warming. Dengan kenaikan harga
minyak, sangat dimungkinkan penggunaan bahan bakar fosil akan banyak berkurang,
sehingga dapat membantu minimalisasi global warming. Namun, di tengah-tengah
maraknya kampanye lingkungan, beberapa orang yang pro-lingkungan justru juga
turut meramaikan kontra terhadap kenaikan harga minyak. Apakah pengetahuan yang
bermasalah atau hati nurani telah berbicara?
Dalam sebuah diskusi, muncul pernyataan, “Setidaknya
dengan adanya kenaikan harga minyak, gaya hidup hijau bisa diterapkan.”
Pernyataan ini mengandung arti bahwa gaya hidup hijau
dilakukan dengan keterpaksaan karena adanya kenaikan harga minyak. Begitu juga
dengan persetujuan terhadap kenaikan harga minyak dinyatakan dengan terpaksa,
agar dapat menerapkan gaya hidup hijau. Maka, jika tidak ada kenaikan harga
minyak, tidak ada pula gaya hidup hijau. Dengan demikian, hubungan antara harga
minyak dan perbaikan lingkungan dapat dianalogikan sebagai suatu perbandingan
lurus. Mungkin setelah 1 April 2012 nanti angkutan massal semakin ramai dan
program bike to work semakin sukses.
Namun, apakah, lagi-lagi, rakyat kecil yang harus
menjadi korban bagi berjalannya perbandingan lurus tersebut? Dalam hal ini,
bagaimana jika memberi kesempatan lebih banyak dan lebih nyata bagi para
akademisi untuk membuktikan eksistensinya dalam hal inovasi bahan bakar
alternatif yang juga ramah lingkungan dan juga tidak mahal? Just give them chance, and time...
Bisakah 1 April 2012 ditunda, sampai semuanya teratasi?
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus