Selasa, 06 Maret 2012

KE-TIDAK-MENGERTI-AN-KU


Aku selalu hidup dari satu ke-tidak-mengerti-an ke ke-tidak-mengertian yang lain. Ketika aku bahagia, aku tidak mengerti mengapa hatiku bahagia. Ketika aku bersedih pun, aku tidak mengerti mengapa aku harus bersedih. Dan ketika aku gagal berkali-kali, aku tidak mengerti mengapa aku menjadi putus asa.
Aku sering merenungkan mengapa Tuhan menciptakan aku menjadi aku. Mengapa aku harus diciptakan sebagai manusia? Apakah dengan adanya aku sebagai manusia, akan berpengaruh bagi bumi? Apakah dengan tidak adanya aku sebagai manusia, bumi akan kehilangan sedikit beban? Tujuh milyar manusia di muka bumi ini. Dan aku menjadi salah satunya. Satu per tujuh milyar bagian, maka kurasa bumi tidak akan merasakan ada maupun tidaknya aku.
Kembali lagi, mengapa Tuhan menciptakan aku sebagai aku, bukan sebagai Kartini, Thomas Alfa Edison, atau Andrea Hirata? Jika saja Tuhan menjadikanku Kartini, maka aku-lah wanita yang akhirnya bisa membuka pintu pendidikan bagi wanita Indonesia. Jika saja Tuhan menjadikanku Thomas Alfa Edison, maka aku-lah penyelamat bumi dari kegelapan malam. Jika saja Tuhan menjadikanku Andrea Hirata, maka aku-lah penulis yang mampu menceritakan kehidupanku dengan menarik dan berhasil menginspirasi banyak orang untuk terus bermimpi.
Jika saja. . .
Aku tetap saja tidak mengerti mengapa aku diciptakan menjadi aku.
Aku hanya manusia yang kebetulan saja berkesempatan menjadi mahasiswa, mengenyam pendidikan yang sedikit lebih banyak daripada dua belas tahun yang wajib. Awalnya, aku cukup bangga karena berhasil menembus SNMPTN. Namun, toh, akhirnya aku mendapati banyak mahasiswa yang ujung-ujungnya tetap tidak berguna. Selalu bergumam bahwa dirinya mahasiswa, tapi tidak memiliki peran selayaknya mahasiswa.
Dan aku semakin tidak mengerti mengapa aku dilahirkan sebagai wanita. Lihatlah para wanita itu, setelah menikah akhirnya harus berhenti memperjuangkan pemikirannya, tunduk kepada suami, dan pendidikan tingginya pun hanya berakhir dengan menyuapi anak-anaknya. Oh, ternyata ada juga wanita yang sedikit beruntung, menikah dengan laki-laki pengertian yang mengijinkannya untuk terus melanjutkan perjuangannya dengan tameng emansipasi.
Sangat banyak yang aku tidak mengerti tentang kehidupanku. Ketika aku pulang larut malam, kulihat adik-adikku telah tidur nyenyak. Satu lagi pertanyaan berhenti seenaknya di kepalaku, mengapa aku menjadi anak pertama? Aku-lah yang harus mengerti bagaimana menjaga adik-adikku, aku-lah yang harus memberi contoh bagaimana sejatinya bakti seorang anak kepada orang tua mereka.
Semakin banyak lagi hal-hal yang tidak kumengerti saat aku menghabiskan waktu bersama teman-temanku. Aku membatin, betapa enak hidup mereka: memakai baju-baju keren, punya banyak waktu luang, tidak perlu memikirkan perihal biaya kuliah, dan memiliki banyak celah untuk bersenang-senang. Ah, seandainya...
Ya, seandainya aku menjadi seperti teman-temanku itu, sepulang kuliah aku masih punya banyak waktu untuk belajar dan membaca, lalu istirahat. Tapi kenyataannya aku adalah aku, yang sepulang sekolah masih harus mengais rezeki demi tidak menjadi beban bagi orang tuaku. Setelahnya, aku harus menempuh perjalanan dengan motor selama satu jam menuju rumah.
Satu jam inilah yang perlahan-lahan memberi jawaban bagi semua pertanyaan yang tertampung dalam otakku. Aku seringkali mendapati pengemis, pengamen atau orang-orang gila di pinggir jalan. Aku sangat simpati kepada mereka, tapi diam-diam aku bersyukur karena aku masih memiliki kehidupan yang lebih baik. Aku masih bisa berlindung ketika hujan, aku masih bisa menutupi auratku, dan perutku hanya merasakan lapar saat sedang berpuasa. Aku pun memiliki celah waktu untuk menghibur diri dengan melihat indahnya ciptaan Tuhan di puncak gunung, celah waktu untuk memberi makan otakku dengan rangkaian kalimat yang menarik, serta celah waktu untuk menikmati hari-hari bersama orang-orang yang kukasihi.
Rombongan pertanyaan pun mendadak memenuhi otakku, mengapa orang-orang itu yang harus menjadi pengemis, pengamen atau orang gila di tepi jalan? Mengapa bukan aku? Mengapa Albert Einstein tidak menjadi orang gila? Mengapa Iwan Fals tidak menjadi pengamen? Mengapa Bill Gates tidak menjadi pengemis?
Aku menghembuskan napas, dan berpikir dengan tenang. Yes, I found the answer of these questions.
Tuhan tidak pernah menciptakan Kartini sebagai pejuang emansipasi, Albert Einstein sebagai ilmuwan, Andrea Hirata sebagai penulis dan Bill Gates sebagai jutawan. Pada mulanya, Tuhan menciptakan orang-orang hebat itu sama seperti ku, yaitu sebagai manusia biasa. Tuhan menciptakan para pengemis, pengamen, dan orang gila itu pun dengan cara yang sama seperti menciptakan aku dan Albert Einstein. Tuhan memberi kesempatan yang sama untuk makhluk ciptaannya. Tuhan itu adil, dan aku sangat percaya itu.
Yang menentukan siapa diri kita adalah diri kita sendiri. Thomas Alfa Edison mungkin tidak akan dikenal sebagai penemu bohlam jika dia berhenti pada percobaan ke-999. Lihatlah, Tuhan tidak memberi catatan di kening Thomas bahwa dia akan menjadi penemu bohlam. Jika ingin menjadi penulis, maka menulislah. Jika ingin menjadi ilmuwan, maka belajarlah.
Tuhan telah menciptakan manusia dengan berbagai macam potensi. Kekurangan dan kelebihan adalah hal yang wajar dimiliki oleh manusia, maka jangan terlalu mengurangkan kekurangan dan jangan terlalu melebihkan kelebihan. Bahkan Helen Keller yang tuna rungu dan tuna netra pun bisa menjadi penulis. Bahkan seorang penderita glaucoma pun bisa menjadi seorang pengajar bahasa Inggris.
Dan sekarang aku tahu mengapa aku harus menjadi aku. Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang semuanya wanita, ber-Ayah-kan Ayah juara satu di dunia, dan ber-Ibu-kan dengan kasih sepanjang masa. Aku harus bersyukur menjadi aku, karena tidak ada yang bisa menjadi aku selain aku. Aku harus menjadi aku, karena hanya aku yang bisa menjadi aku. Terdengar seperti ucapan yang sangat sombong, tapi itu hanya sekedar ucapan syukur karena Tuhan telah menciptakanku lengkap dengan kapasitasku yang cukup untuk menampung semua masalah yang harus kuhadapi. Seperti flashdisk, si pemilik flashdisk tentu tidak akan menyimpan data dengan ukuran yang melebihi kapasitas memorinya.
Ohya, dan meskipun keberadaanku tidak banyak berpengaruh bagi bumi, setidaknya orang-orang di sekitarku bisa merasakan keberadaanku dan aku bisa memberi pengaruh positif bagi mereka. Aku pun sangat bersyukur menjadi wanita, karena Tuhan ternyata memberikan banyak keistimewaan bagi wanita J.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih ^^