Aku selalu hidup dari satu ke-tidak-mengerti-an ke
ke-tidak-mengertian yang lain. Ketika aku bahagia, aku tidak mengerti mengapa
hatiku bahagia. Ketika aku bersedih pun, aku tidak mengerti mengapa aku harus
bersedih. Dan ketika aku gagal berkali-kali, aku tidak mengerti mengapa aku
menjadi putus asa.
Aku sering merenungkan mengapa Tuhan menciptakan aku
menjadi aku. Mengapa aku harus diciptakan sebagai manusia? Apakah dengan adanya
aku sebagai manusia, akan berpengaruh bagi bumi? Apakah dengan tidak adanya aku
sebagai manusia, bumi akan kehilangan sedikit beban? Tujuh milyar manusia di
muka bumi ini. Dan aku menjadi salah satunya. Satu per tujuh milyar bagian,
maka kurasa bumi tidak akan merasakan ada maupun tidaknya aku.
Kembali lagi, mengapa Tuhan menciptakan aku sebagai
aku, bukan sebagai Kartini, Thomas Alfa Edison, atau Andrea Hirata? Jika saja
Tuhan menjadikanku Kartini, maka aku-lah wanita yang akhirnya bisa membuka
pintu pendidikan bagi wanita Indonesia. Jika saja Tuhan menjadikanku Thomas
Alfa Edison, maka aku-lah penyelamat bumi dari kegelapan malam. Jika saja Tuhan
menjadikanku Andrea Hirata, maka aku-lah penulis yang mampu menceritakan
kehidupanku dengan menarik dan berhasil menginspirasi banyak orang untuk terus
bermimpi.
Jika saja. . .
Aku tetap saja tidak mengerti mengapa aku diciptakan
menjadi aku.
Aku hanya manusia yang kebetulan saja berkesempatan
menjadi mahasiswa, mengenyam pendidikan yang sedikit lebih banyak daripada dua
belas tahun yang wajib. Awalnya, aku cukup bangga karena berhasil menembus
SNMPTN. Namun, toh, akhirnya aku mendapati banyak mahasiswa yang ujung-ujungnya
tetap tidak berguna. Selalu bergumam bahwa dirinya mahasiswa, tapi tidak
memiliki peran selayaknya mahasiswa.
Dan aku semakin tidak mengerti mengapa aku dilahirkan
sebagai wanita. Lihatlah para wanita itu, setelah menikah akhirnya harus
berhenti memperjuangkan pemikirannya, tunduk kepada suami, dan pendidikan
tingginya pun hanya berakhir dengan menyuapi anak-anaknya. Oh, ternyata ada
juga wanita yang sedikit beruntung, menikah dengan laki-laki pengertian yang
mengijinkannya untuk terus melanjutkan perjuangannya dengan tameng emansipasi.
Sangat banyak yang aku tidak mengerti tentang
kehidupanku. Ketika aku pulang larut malam, kulihat adik-adikku telah tidur
nyenyak. Satu lagi pertanyaan berhenti seenaknya di kepalaku, mengapa aku
menjadi anak pertama? Aku-lah yang harus mengerti bagaimana menjaga
adik-adikku, aku-lah yang harus memberi contoh bagaimana sejatinya bakti
seorang anak kepada orang tua mereka.
Semakin banyak lagi hal-hal yang tidak kumengerti
saat aku menghabiskan waktu bersama teman-temanku. Aku membatin, betapa enak
hidup mereka: memakai baju-baju keren, punya banyak waktu luang, tidak perlu
memikirkan perihal biaya kuliah, dan memiliki banyak celah untuk
bersenang-senang. Ah, seandainya...
Ya, seandainya aku menjadi seperti teman-temanku itu,
sepulang kuliah aku masih punya banyak waktu untuk belajar dan membaca, lalu
istirahat. Tapi kenyataannya aku adalah aku, yang sepulang sekolah masih harus
mengais rezeki demi tidak menjadi beban bagi orang tuaku. Setelahnya, aku harus
menempuh perjalanan dengan motor selama satu jam menuju rumah.
Satu jam inilah yang perlahan-lahan memberi jawaban
bagi semua pertanyaan yang tertampung dalam otakku. Aku seringkali mendapati
pengemis, pengamen atau orang-orang gila di pinggir jalan. Aku sangat simpati
kepada mereka, tapi diam-diam aku bersyukur karena aku masih memiliki kehidupan
yang lebih baik. Aku masih bisa berlindung ketika hujan, aku masih bisa menutupi
auratku, dan perutku hanya merasakan lapar saat sedang berpuasa. Aku pun
memiliki celah waktu untuk menghibur diri dengan melihat indahnya ciptaan Tuhan
di puncak gunung, celah waktu untuk memberi makan otakku dengan rangkaian
kalimat yang menarik, serta celah waktu untuk menikmati hari-hari bersama
orang-orang yang kukasihi.
Rombongan pertanyaan pun mendadak memenuhi otakku,
mengapa orang-orang itu yang harus menjadi pengemis, pengamen atau orang gila
di tepi jalan? Mengapa bukan aku? Mengapa Albert Einstein tidak menjadi orang
gila? Mengapa Iwan Fals tidak menjadi pengamen? Mengapa Bill Gates tidak
menjadi pengemis?
Aku menghembuskan napas, dan berpikir dengan tenang. Yes,
I found the answer of these questions.
Tuhan tidak pernah menciptakan Kartini sebagai
pejuang emansipasi, Albert Einstein sebagai ilmuwan, Andrea Hirata sebagai
penulis dan Bill Gates sebagai jutawan. Pada mulanya, Tuhan menciptakan
orang-orang hebat itu sama seperti ku, yaitu sebagai manusia biasa. Tuhan
menciptakan para pengemis, pengamen, dan orang gila itu pun dengan cara yang
sama seperti menciptakan aku dan Albert Einstein. Tuhan memberi kesempatan yang
sama untuk makhluk ciptaannya. Tuhan itu adil, dan aku sangat percaya itu.
Yang menentukan siapa diri kita adalah diri kita
sendiri. Thomas Alfa Edison mungkin tidak akan dikenal sebagai penemu bohlam
jika dia berhenti pada percobaan ke-999. Lihatlah, Tuhan tidak memberi catatan
di kening Thomas bahwa dia akan menjadi penemu bohlam. Jika ingin menjadi
penulis, maka menulislah. Jika ingin menjadi ilmuwan, maka belajarlah.
Tuhan telah menciptakan manusia dengan berbagai macam
potensi. Kekurangan dan kelebihan adalah hal yang wajar dimiliki oleh manusia,
maka jangan terlalu mengurangkan kekurangan dan jangan terlalu melebihkan kelebihan.
Bahkan Helen Keller yang tuna rungu dan tuna netra pun bisa menjadi penulis.
Bahkan seorang penderita glaucoma pun bisa menjadi seorang pengajar bahasa
Inggris.
Dan sekarang aku tahu mengapa aku harus menjadi aku.
Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang semuanya wanita, ber-Ayah-kan
Ayah juara satu di dunia, dan ber-Ibu-kan dengan kasih sepanjang masa. Aku
harus bersyukur menjadi aku, karena tidak ada yang bisa menjadi aku selain aku.
Aku harus menjadi aku, karena hanya aku yang bisa menjadi aku. Terdengar
seperti ucapan yang sangat sombong, tapi itu hanya sekedar ucapan syukur karena
Tuhan telah menciptakanku lengkap dengan kapasitasku yang cukup untuk menampung
semua masalah yang harus kuhadapi. Seperti flashdisk, si pemilik flashdisk tentu
tidak akan menyimpan data dengan ukuran yang melebihi kapasitas memorinya.
Ohya, dan meskipun keberadaanku tidak banyak
berpengaruh bagi bumi, setidaknya orang-orang di sekitarku bisa merasakan
keberadaanku dan aku bisa memberi pengaruh positif bagi mereka. Aku pun sangat
bersyukur menjadi wanita, karena Tuhan ternyata memberikan banyak keistimewaan
bagi wanita J.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih ^^