Halo para tetesan hujan sore ini, bagaimana langit? Apakah atmosfer
masih bersedia melindungi bumi? Apakah bulan masih setia menemani bumi? Apakah
para tetesan air masih mendapatkan cara untuk dapat meresap ke dalam tanah?
Sepertinya aku membutuhkan semacam meditasi. Aku selalu bingung
beberapa minggu terakhir ini. Bahkan aku melakukan sesuatu yang sebenarnya
tidak ingin kulakukan. Pikiranku selalu tidak stabil, selalu berubah. Aku masih
belum mantap dengan proposal hidupku.
Apalagi saat ini keluargaku sedang dilanda masalah yang cukup
serius. Aku jadi merasa egois jika harus tetap melanjutkan perjalanan mimpiku.
Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan seseorang dari empat
setengah tahun yang lalu. Can you guess
who? I won’t tell you the name! Semakin menambah sesuatu dalam pikiranku.
Dan malam ini aku baru saja selesai menonton film yang sangat bagus
berjudul “Freedom Writers”. Film ini diangkat dari buku harian yang ditulis
oleh murid-murid di kelas 203 Wodrow Wilson HS, Longbeach. Murid-murid dalam
kelas ini adalah ‘korban’ dari tindakan rasis yang membeda-bedakan warna kulit
dan suku. It’s a really nice film, yang membuka wawasan kita bahwa tidak semua
negara seperti negara kita, beloved Indonesia yang ‘aman’ ‘tentram’. Yah,
meskipun banyak hal buruk yang terjadi terhadap Indonesia, tetapi setidaknya
kita harus bersyukur bahwa Indonesia adalah negara yang aman tanpa orang-orang
yang membawa pistol di jalanan.
Dan, ada yang tahu buku Totto Chan’s Children? Buku ini juga buku yang sangat bagus dan membuka wawasan.
Buku ini membuatku bersyukur bahwa aku hidup di negara yang ‘cukup’ damai. Oh
please, jangan mengajakku berdiskusi tentang negara, karena aku tidak tahu
apa-apa. Aku hanya merasa perlu bersyukur bahwa aku tidak perlu khawatir akan
menginjak ranjau darat bekas perang saudara. Aku juga merasa perlu bersyukur
bahwa aku dan banyak orang lainnya di Indonesia tidak perlu mengalami
kekeringan panjang sampai-sampai kehabisan air untuk sekedar diminum.
Ohya, ohya, satu lagi, aku juga baru saja selesai membaca buku
“Sadako and A Thousand Cranes”. Cerita tentang seorang anak Jepang yang divonis
Leukimia akibat radiasi nuklir dari bom yang menghancurkan Hiroshima dan
Nagasaki. Buku ini tidak tebal, tetapi sangat menyentuh dan membuka wawasan.
Serta, lagi-lagi membuatku bersyukur bahwa Indonesia tidak pernah dijatuhi bom
nuklir sedahsyat itu. Atau, apakah Indonesia bakal jadi lebih baik kalau saja
dijatuhi bom nuklir? Mengerti maksudku kan? Jepang tidak tiba-tiba menjadi
negara yang maju. Jepang membutuhkan perjuangan untuk mencapai semuanya. Apakah
suatu saat Indonesia bisa menjadi jauh lebih maju daripada hari ini?
Para tetesan air hujan sore ini, tolong bagikan aku doa-doa
terbaikmu, agar aku mampu untuk segera memutuskan kemana arahku.
Love,
AnotherWaterDrop
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih ^^